Dari sederet tokoh mufasir Indonesia terselip salah satu nama mufasir yang nyaris amat sangat jarang diketahui bahkan terlewatkan, yaitu KH. Thaifur Ali Wafa Al-Muduri. Beliau merupakan ulama cum mufasir asal Madura yang berdarah biru. Beliau mempunyai satu kitab tafsir berjudul “Firdaus An-Na’im”.
Tafsir Firdaus An-Naim ini jarang diketahui oleh orang sebab hampir tidak disebutkan oleh beberapa penelitian tentang perkembangan tafsir di Indonesia. Padahal jika ditilik dari masa penulisannya, tafsir ini menempati periode abad ke-20 ditinjau dalam pemetaan literatur tafsir Indonesia. Berikut kami ulas biografi, pendidikan dan karya KH. Thaifur Ali Wafa al-Muduri.
Biografi KH. Thaifur Ali Wafa Al-Muduri
Beliau bernama lengkap Thaifur bin Ali Wafa Muharrar al-Muduri. Marga Ali Wafa sendiri dinisbahkan kepada nama ayahnya, seorang ulama masyhur paling berpengaruh di Madura. Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi Islam di Indonesia menyebutkan bahwa KH. Thaifur Ali Wafa al-Muduri memiliki reputasi yang cukup diperhitungkan dalam jagat penafsiran baik dilihat secara personal sebagai seorang ulama maupun kapasitas keilmuannya (Tarekat Naqsyabandiyah).
Secara nasab, Thaifur Ali Wafa berasal dari Syaikh Abdul Qudus yang terkenal dengan jinahar sebagaimana dijelaskan dalam Manar al-Wafa fi Nabdhah min Tarjamah al-Faqir ‘Afwa Allah Thaifur Ali Wafa, buku otobiografi atas permintaan keponakannya Junaid Muhammad Imam. Sedangkan ibunya bernama Muthmainnah binti Dhilhajja, merupakan keturunan salah satu kesultanan di Sumenep, Madura. Thaifur Ali Wafa lahir pada Selasa 20 Sya’bam 1384 H di Ambunten, suatu desa yang terletak di bagian timur Sumenep, Madura.
Baca juga: Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Mahfudz At Tarmasi
Pendidikan Thaifur Ali Wafa
Thaifur Ali Wafa mewarisi intelektualitas ayahnya. Dalam pengakuannya sebagaimana termaktub dalam Manar al-Wafa fi Nabdhah min Tarjamah al-Faqir ‘Afwa Allah Thaifur Ali Wafa, ia menyebut sosok ayah sangat berperan besar dalam mengkonstruksi pemikirannya.
Semasa kecil beliau sudah mengenyam pendidikan agama dari ayahnya, Ali Wafa Al-Muharrar berbagai macam keilmuan seperti ushul al-aqa’id, tauhid, fiqih, nahwu, Al-Quran dan sebagainya melalui sorogan. Bahkan istimewanya, tidak hanya melalui pendidikan indoktrinasi, akan tetapi ayahnya sudah menjaga kewira’iannya sejak usia 6 tahun, seperti dilarang makan ikan dan memakan makanan yang ada di pasar.
Sayangnya, sebelum akil baligh ayah beliau wafat dan ibunya menitipkan Thaifur Ali Wafa pada Syaikh Ali Hisyam. Di dalam asuhan sang guru inilah ia mereguk samudera keilmuan yang lebih luas lagi. Berbagai syarh kitab disodorkan kepada beliau seperti Syarh Safinah, Syarah Bidayah, dan seterusnya. Menginjak usia 14 tahun, beliau ikut gurunya ke Mekkah untuk pertama kalinya. Akan tetapi, pada kesempatan ini beliau hanya untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad saw saja.
Di usia remaja ini pula beliau telah mengkhitbah seorang putri Syaikh Abdullah Salil al-Khalil. Lalu di usia 15 tahun beliau kedatangan tamu Syaikh Ahmad Zainy bin Miftahul Arifin dari Jakarta. Kemudian, sang guru memintanya untuk nyantri kepada tamu tersebut karena Syaikh Ahmad Zainy merupakan salah satu orang yang sangat ‘alim dan masyhur dalam bidang akhlak dan tasawuf.
Setelah nyantri beberapa tahun, beliau lalu berangkat ke Mekkah untuk kedua kalinya dalam usia 18 tahun bersama Sayyid Fadhil Muhammad bin Shalih al-Muhdlar. Kali ini beliau tidak hanya sekadar berhaji dan berziarah, namun juga menimba ilmu sampai pada tahun 1406 Hijriyah beliau baru pulang, saat itu usianya baru 23 tahun.
Ketika di Mekkah beliau sangat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Di saat senggang, ia muthala’ah serta menulis apa saja materi dari gurunya. Alhasil setelah menimba ilmu dari Mekah, beliau menelurkan banyak karya sekitar 42 kitab. Selang 3 tahun kemudian, yakni 1409 Hijriyah beliau kembali lagi ke Mekkah atas permintaan Syaikh Usman.
Untuk ketiga kalinya ini, beliau lebih banyak menghabuskan berkhidmah dengan mengajar santri yang lain, meskipun juga terkadang masih nyantri dirasah Syaikh Usman. Hingga pada tahyn 1413, ibunya berangkat ke Mekkah untuk menunaikan haji dan umrah. Di samping itu, beliau juga meminta kepada Syaikh Usman untuk membawa anaknya kembali ke rumah, dan Syaikh Usman mengizinkannya.
Rihlah intelektualnya telah membawa Thaifur Ali Wafa sebagai salah satu guru Tarekat Nasqsyabandiyah Mudzahriyah. Ia menerima ijazah dari KH. Lathifi Baidhawi, Ulama asal Malang, yang juga merupakan murid dari ayahnya. Thaifur mengaku ia menerima ijazah tersebut saat berusia 33 tahun. Di bawah pimpinan Thaifur, pengikut Tarekat Naqsyabandiyahh memiliki ribuan jama’ah yang tersebar di beberapa kecamatan di Sumenep, seperti Ambunten, Gapura, Batang-batang, dan lain sebagainya. Bahkan konon tersebar hingga Kalimantan. Sewaktu masih hidup, kegiatan tarekat ini biasa diselenggarakan setiap jumat pagi. Kegiatan tersebut diberi nama Khatmil Khawajakan atau oleh orang Madura disebut hojhegen.
Baca juga: Mufasir Indonesia: Hasbi Ash-Shiddieqy, Pelopor Khazanah Kitab Tafsir Kontemporer di Indonesia
Karya-karya
Thaifur Ali Wafa dapat dikatakan termasuk ulama yang produktif. Ia mempunyai banyak karya yang berbahasa Arab dan Indonesia. Adapun magnum opus-nya adalah Tafsir Firdaus An-Na’im yang terdiri 6 jilid. Berikut karya lengkapnya,
Kitab fiqih seperti Riyadhah Al-Muhibbin, Tuhfah al-Raki’ wa al-Sajid, Kasy al-Auham, Mazil al-‘Ina, Al-Badr al-Munir, Kasyf al-Khafa, At-Tadrib, Tasywidh al-Afkar, Nadzam Ghayah al-Ikhtishar, Miftah al-Ghawamidh, Dar al-Taj.
Kitab qawa’id al-Lughah misalnya Al-Qatuf al-Dunyah (membahas kaidah-kaidah bahasa Arab untuk pemula), Al-Manahil Asy-Syafi’i (membahas ilmu ‘arudh), Al-Furqad al-Rafi’, ilmu balaghal (ma’ani, bayan dan badi’), Al-Riyadh al-Bahiyyah (berisi nadzam ilmu Nahwu).
Kitab aqidah atau tasawuf seperti Sallam al-Qashidin (membahas isi-isi dalam kitab Ihya’ Ulumiddin), Jawahir al-Qalaid fi Nazm al-‘Aqaid (Nazm berisi ilmu akidah).
Kitab sirah seperti Masyakkah al-Anwar fi Ikhtisar Sirah Sayyid al-Abrar, Nur al-Zalam fi Bayan Wujud Ismah Sayyidina Adam A.S. wa ‘ala Nabiyyina saw, Nayl al-‘Arb: Syarh Maulid al’Azb, Alfiyah bin Ali Wafa: fi Sirah wa Syamail wa Khasaish al-Naby al-Mustafa saw.
Kitab tafsir seperti Al-Raud al-Nadhir Syarh Qaul al-Munir (berisi ulumut tafsir), Ar-Rijal Al-Nasim (membahas kalimat basmalah), Tafsir Firdaus An-Na’im (kitab tafsir Al-Quran 30 juz lengkap, terdiri 6 jilid kitab).
Demikian pengenalan kita kepada Thaifur Ali Wafa, begawan tafsir Al-Quran asal Madura. Wallahu A’lam.