Salah satu pemikir progresif Indonesia yang aktif menyampaikan gagasannya, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan adalah Aksin Wijaya. Ia mengemukakan tiga tipologi penafsiran Al-Qur’an berdasarkan pada data penafsiran. Tiga model tersebut adalah tafsir tahlili, tafsir maudhui, dan tafsir nuzuli.
Paparan mengenai tiga tipologi tersebut penulis peroleh dari diskusi yang disampaikan oleh Aksin Wijaya yang berjudul “Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah” yang diadakan serta dipublikasikan oleh International Qur’anic Studies Association (IQSA) bekerja sama dengan Asosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia, Rabu, 04 November 2020, pukul 20.00-21.00 WIB. Di sini, tiga tipologi tersebut penting diangkat terutama dalam kaitannya melihat interaksi penafsir dan Al-Qur’an.
Mengenal Aksin Wijaya dan Tipologi Tafsir Al-Qur’an
Aksin Wijaya, lahir 01 Juli 1974 di Sumenep-Madura, merupakan sarjana yang sejak kecil hingga saat ini sangat akrab dengan dunia pesantren, tafsir, studi Islam, dan lainnya. Pendidikan S1 berfokus pada hukum di Universitas Islam Jember (1996-2001), dan Ahwal Syakhrsyiah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jember (1997-2001), pendidikan S2 berfokus pada Filsafat Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002-2004), dan pendidikan S3 juga di UIN Sunan Kalijaga (2004-2008).
Saat ini ia aktif mengajar di Pascasarjana IAIN Ponorogo Pascasarjana STAIN Kediri. Selain itu, beberapa jabatan penting pernah didudukunya seperti Kepala P3M di STAIN Ponorogo (2015-2016), hingga Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo (2017-sekarang). Di tengah-tengah kesibukannya, Aksin Wijaya terbilang sarjana yang sangat produktif menghasilkan karya tulis, terutama terkait kajian Al-Qur’an. Di antara karyanya yang terkenal adalah (1) Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan (2) Arab Baru Studi Al-Qur’an, (3) Sejarah Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah, dan lainnya.
Dari berbagai karya tersebut, kajian tentang tipologi tafsir Al-Qur’an ditemukan dalam buku Sejarah Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah, yang ia sampaikan dalam forum IQSA dan AIAT, sebagaimana telah dibahas terdahulu. Sebelum mendiskusikan Sejarah Kenabian veris Izzat Darwazah, Aksin Wijaya terlebih dahulu memaparkan tafsir tahlili, tafsir maudhui, dan tafsir nuzuli dalam sebagai pengantar diskusi tafsir nuzuli yang digunakan untuk membaca Sejarah Kenabian tersebut.
Dalam pemaparannya, ia mengakui bahwa tipologi yang ia tawarkan berangkat dari tipologi yang ditawarkan oleh Muhammad Baqir Ash-Shadr dalam bukunya Madrasatul Qur’aniyyah (2013). Di dalam buku tersebut, Baqir Ash-Shadr menawarkan dua tipologi penafsiran Al-Qur’an, yaitu tafsir tajzini dan tafsir maudhui. Adapun tafsir tajzini oleh Aksin Wijaya disebut lebih dikenal dengan nama tafsir tahlili oleh sarjana Indonesia.
Mengenai tafsir tahlili, ia mengatakan bahwa adanya tafsir tahlili didasari asumsi bahwa pesan Ilahi telah termuat di dalam mushaf. Ini mengindikasikan bahwa manusia sebagai penafsir bersifat Pasif, yang tidak dapat menentukan makna Al-Qur’an melainkan hanya menyingkap makna yang sudah ada dalam Al-Qur’an. Upaya menyingkap makna dan kandungan Al-Qur’an ini dilakukan dengan mengacu pada urutan bacaan Al-Qur’an berbasis mushafi: dari surah Al-Fatihah hingga surah Al-Nas.
Mengenai tafsir maudhu’i, Aksin Wijaya mengatakan bahwa adanya tafsir maudhu’i didasari asumsi bahwa pesan Ilahi termuat pada interaksi atau dialog teks (Al-Qur’an) dengan konteks penafsir, sehingga posisi penafsir selalu bersifat aktif. Sehingga penafsir memulai interaksinya dengan teks Al-Qur’an dengan terlebih dahulu memerhatikan (baca: mencari kasus) yang penafsir sedang hadapi.
Mengenai tafsir nuzuli, Aksin Wijaya mengatakan bahwa adanya tafsir nuzuli muncul sebagai upaya memahami Al-Qur’an dengan kembali ke konteks pewahyuannya. Sehingga, ketika penafsir hendak memahami Al-Qur’an berdasarkan konteksnya, maka ia terlebih dahulu diminta untuk kembali dan memahami konteks pewahyuan Al-Qur’an. Di sinilah, tafsir nuzuli dipahami penafsiran Al-Qur’an berbasis nuzuli-nya: urutan Al-Qur’an berdasarkan proses pewahyuannya, mulai dari QS. Al-Alaq: 1-5, hingga seterusnya.
Tafsir Nuzuli: Upaya Aksin Wijaya Merangkul Tipologi Tafsir Lainnya
Di antara tiga tipologi tafsir Al-Qur’an di atas, Aksin Wijaya memberi kritikan terhadap dua tipologi terdahulu. Aksin Wijaya, dengan merujuk pendapat Baqir Ash-Shadur, mengatakan bahwa model tafsir tahlili bermuara ‘dari teks ke teks’. Dalam artian, ketika penafsir tidak memahami sebuah ungkapan Al-Qur’an, maka ia mencari pemahaman ayat tersebut pada ayat lainnya.
Dalam konteks ini, Aksin Wijaya menilai tipologi yang ini sejalan dengan kaidah ushul fiqh yang mengatakan Al-Ibrah bi Umum Al-Lafdz, yang menghasilkan kebenaran tekstual. Tetapi, menurut Aksin Wijaya, tafsir tahlili ini cenderung mengabaikan peran penting konteks pewahyuan dan konteks penafsirnya.
Adapun mengenai tafsir maudhu’i, Aksin Wijaya, dengan merujuk pendapat Baqir Ash-Shadr, mengatakan bahwa model tafsir ini bermuara ‘dari konteks ke teks’. Dalam konteks ini, Aksin Wijaya menilai tipologi ini sejalan dengan kaidah ushul fiqh yang mengatakan Al-Hukmu Yaduru ma’a Illatihi, yang menghasilkan kebenaran kontekstual.
Tetapi, menurutnya, tafsir maudhui ini cenderung mengabaikan pesan teks dan konteks pewahyuan sekaligus, atau dikenal dekontekstualisasi. Sehingga, yang muncul dari tafsir maudhui ini adalah apa yang diinginkan oleh penafsir. Berangkat dari berbagai kritikannya tersebut, Aksin Wijaya tafsir nuzuli yang cocok digunakan dalam memahami Al-Qur’an.
Di dalam tawarannya tersebut, ia tidak lepas diri dari dua tipologi sebelumnya, bahkan Aksin Wijaya memasukkan keduanya ke dalam tafsir nuzuli. Dalam hal ini, Aksin Wijaya menyebutnya sebagai tafsir nuzuli tahlili, dan tafsir nuzuli maudhu’i.
Di sini, tafsir nuzuli tahlili dapat dipahami sebagai memahami Al-Qur’an berdasarkan susunan mushafi tetapi melibatkan konteks pewahyuan dan konteks penafsir secara bersamaan. Sementara tafsir nuzuli maudhu’i dapat dipahami sebagai memahami Al-Qur’an berdasarkan tematik ayat atau surah dengan memerhatikan konteks pewahyuan dan penafsirnya.
Di sini, terlihat upaya ‘mendamaikan’ tipologi yang sudah ada, sebagaimana yang ditawarkan Baqir Ash-Shadur. Sehingga, secara tidak langsung ia sebenarnya mengakui dan menyetujui adanya tafsir tahlili dan tafsir maudhu’i dengan catatan adanya perhatian pada nuzuli Al-Qur’an.
Sampai di sini, penggunaan tafsir nuzuli dalam memahami Al-Qur’an dapat dipahami sebagai upaya mengarahkan penafsir Al-Qur’an untuk lebih menyadari dua sisi Al-Qur’an: (1) fakta proses turunnya (nuzuli) Al-Qur’an yang memiliki wacana pemahaman Al-Qur’an tersendiri, selain fakta susunan Al-Qur’an yang ditemui dalam bentuk mushafi. (2) penafsiran Al-Qur’an berbasis tafsir nuzuli mengantarkan penafsir kembali ke konteks awal Al-Qur’an sekaligus konteks yang dihadapinya sebagai penafsir. [] Wallahu A’lam.