Ramadhan telah datang menemui kita. Sungguh betapa suka citanya kita sebagai umat Islam masih dipertemukan kembali dengan ramadhan (syahr al-shiyam dan syahrullah). Karenanya, sebagai rasa syukur kepada-Nya, menjalankan kewajiban berpuasa dengan penuh ikhlas lillahi ta’ala adalah keniscayaan bagi kita. Sungguh, kewajiban berpuasa beserta segala keutamannya menanti kita sebagimana difirmankan-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 183,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S. al-Baqarah [2]: 183)
Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183
Dalam Jami’ al-Bayan, al-Tabari menafsrikan redaksi ya ayyuhal ladzina amanu dalam ayat di atas adalah orang beriman yang bersaksi atas keesaan Allah swt dan kebenaran risalah Nabi Muhammad saw, serta mereka yang membenarkan dan mengakuinya. Selain itu, al-Tabari menjelaskan makna puasa dengan kata as-shiyam yang berupa masdar (kata asli). Namun ada pendapat yang mengatakan shumtu ‘an kadza wa kadza (berhentilah berbicara ini itu). Maksudnya adalah berhentilah atau tahanlah lisanmu dari berkata buruk, menggunjing dan semacamnya.
Lebih dari itu, al-Tabari juga menafsiri kata shiyam dengan al-kaffu ‘amma amrullahi bil kaffi ‘anhu (menyerahkan diri atas perintah Allah swt dengan sepenuh hati). Dalam pendapat lain dianalogikan dengan shamat al-khailu idza kaffta ‘an al-sairi (kuda itu dapat diam jika ia berhenti berjalan). Artinya selama manusia tidak berusaha agar dirinya mampu menahan, maka nafsu itu terus meronta-ronta.
Baca juga: Hikmah Puasa Dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183
Terkait objek (mukhathab) yang dituju oleh ayat itu, para ulama ahli takwil terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat). Mujahid misalnya, mengatakan objek ayat itu ditujukan kepada ahlul kitab. Lalu sebagian ulama mengatakan seluruh manusia, demikian pula Qatadah. Kemudian, al-Mawardi dalam al-Nukat wa al-Uyun menambahkan satu lagi, yaitu orang Nasrani sebagaimana pendapatnya al-Sya’bi, al-Rabith dan al-Asbath.
Tidak hanya itu, penafsiran redaksi la’allakum tattaqun pun ulama juga berbeda pendapat. Ahli takwil memaknainya dengan litattaqu aklu al-tha’am wa syurbi al-syarabi wa jima’i al-nisa (supaya kamu sekalian mampu mencegah diri atau menjauhkan diri dari makan, minum dan jima’ dengan perempuan). Hal senada juga disampaikan Asbath dari al-Saddi, hanya saja al-Saddi menambahkan bahwa tujuan puasa agar bertakwa seperti yang dikemukakan ulama ahli takwil juga dilakukan oleh orang Nasrani sebelum Islam datang.
Tidak jauh berbeda dengan al-Tabari, al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf, yang dimaksud umat terdahulu ialah para nabi beserta umatnya mulai dari Nabi Adam hingga umat Nabi Muhammad saw. Hal ini juga diamini oleh Sayyidina Ali. Jika al-Tabari menggunakan term shiyam, maka al-Zamakhsyari mengistilahkannya dengan shaum. Shaum (puasa ramadhan) bernilai ibadah sebagaimana yang dilakukan umat terdahulu.
Baca juga: Sejarah Puasa dan Rahasia Dipilihnya Bulan Ramadhan Menurut Para Tokoh Tafsir
Sementara itu, makna takwa menurut al-Zamakhsyari adalah menahan diri dari keinginan hawa nafsu serta menghindari jima’ di siang hari. Nabi saw bersabda, fa’alaihi bis shaumi fa inna al-shaumu lahu wija-un (maka hendaknya kaliah berpuasa, sebab puasa itu hakikatnya sebagai benteng diri baginya dari perbuatan yang buruk).
Penafsiran selanjutnya datang dari al-Qurtuby, dalam tafsirnya ia mengatakan puasa (shaum) yang ada pada Surah Al-Baqarah ayat 183 di atas secara literal bermakna imsak (menahan). Imsak menurutnya ialah tarku al-tanaqquli min haalin ila haalin (meninggalkan sesuatu yang dilarang selama bulan ramadhan dari perbuatan satu ke perbuatan yang lain). Al-Zujaj sebagaimana dikutip al-Mawardi dalam al-Nukat wa al-‘Uyun menambahkan bahwa puasa (shaum) bermakna pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs), mengendalikan atau menaklukkan syahwat (kasru al-syahwat) dan hilangnya perilaku yang terlewat batas (idzhab al-‘asyar).
Secara istilah (syara’), al-Qurtuby mendefinisikannya,
وَالصَّوْمُ فِي الشَّرْعِ: الإِمْسَاكِ عَنِ الْمُفْطِرَاتِ مَعَ ٱقْتِرَانِ النِّيَّةِ بِهِ مِنْ طُلُوْعِ اْلفَجْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ، وَتَمَامُهُ وَكَمَالُهُ بِٱجْتِنَابِ الْمَحْظُوْرَاتِ وَعَدَمِ الْوُقُوْعِ فِي الْمُحَرَّمَاتِ لِقُوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهُ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Puasa (shaum) secara syara’ adalah menahan diri dari berbuka puasa dengan dibarengi niat mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Puasa dengan segala kesempurnaan dan keindahannya hendaknya menjauhkan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa. Sebagaimana sabda Nabi saw, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.”
Senada dengan itu, Ibnu Katsir lebih mendefinisikan puasa dengan istilah shiyam. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa kewajiban puasa itu ditujukan kepada orang mukmin dalam konteks ayat tersebut. Kembali kepada shiyam (puasa), kata Ibnu Katsir, shiyam adalah
وَهُوَ الْإِمْسَاكُ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالْوِقَاعِ، بِنِيَّةِ خَالِصَةِ للهِ عَزَّ وَجَلَّ لِمَا فِيْهِ مِنْ زَكَاةِ النُّفُوْسِ وَطَهَارَتِهَا وَتَنَقِّيَتِهَا مِنَ الْأَخْلاَطِ الرَّدِئِيَّةِ وَاْلأَخْلَاقِ الرَّذِيْلَةِ
“Shiyam adalah menahan diri dari makan-minum dan bersetubuh (jima’) dibarengi dengan niat yang ikhlas kepada Allah swt dengan tujuan membersihkan, menyucikan dan memurnikan jiwa dari perbuatan yang buruk serta hina”
Pakar tafsir cum fuqaha klasik kenamaan, Abu Laits al-Samarqandi dalam Bahr al-‘Ulum–nya, turut andil dalam pemaknaan la’allakum tattaqun. Takwa dalam konteks ayat ini menurutnya adalah mampu menahan diri dari makan-minum, dan bersetubuh mulai dari waktu isya yang terakhir (terbitnya fajar) hingga tidur lagi (terbenamnya matahari).
Adapun Al-Baidhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, puasa diistilahkannya dengan shaum. Shaum menurutnya, menahan diri dari perdebatan antar manusia (al-imsak ‘amma tanaza’u ilaihi al-nafsi). Secara istilah, puasa adalah menahan diri dari perbuatan yang menyebabkann batalnya puasa sepanjang siang hari karena waktu itu merupakan hal yang sangat diinginkan oleh syahwat (mu’adzam maa tasytahihi al-nafs).
Makna Puasa Ramadhan
Dari paparan di atas, sejatinya puasa bagi manusia merupakan terapi diri untuk memurnikan dan menyucikan jiwa manusia agar mampu berperilaku sesuai koridor agama sehingga manusia hidup dan menjalankan kewajibannya dalam naungan ridha-Nya.
Selama ini, jiwa manusia telah ternodai oleh bintik-bintik dosa kecil maupun besar yang dilakukannya. Apakah dari matanya, telinganya, lisannya, tangannya dan kakinya ia bermaksiat, ataukah terbesit dalam hatinya untuk berbuat buruk. Maka, dalam konteks ini, bulan ramadhan semacam menjadi kawah candradimuka atau madrasah penempaan diri untuk menempa dan mendidik manusia agar ia mampu mencapai derajat yang tinggi yaitu bertakwa kepada-Nya (inna akramakum ‘indallahi atqakum).
Dalam pandangan Islam, hidup manusia tidak diukur dari kuantitas ibadah, melainkan kualitas ibadah. Ibadah puasa sangat tepat bagi manusia untuk mengukur seberapa kualitas dirinya dihadapan Allah swt. Ibadah puasa merupakan ibadah privat, sangat personal sehingga hanya dirinya dan Allah swt yang mengetahui.
Betapa istimewanya ibadah puasa Ramadhan sampai-sampai Allah swt langsung yang ngendikan (berfirman),
الصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي وَالصَّوْمُ جُنَّةٌ وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّهُ وَلَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Allah Swt berfirman, puasa itu untukku dan Aku langsung yang akan mengganjarnya. Hamba-Ku sampai rela mengabaikan syahwat, keinginannya untuk makan dan minum hanya karena Aku. Puasa merupakan tameng. Ada dua kebahagiaan orang yang berpuasa, yaitu kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu Tuhannya. Aroma mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dibandingkan wangi minyak Misik.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam hadits qudsi di atas, eksklusifitas Allah swt dalam memberi pahala kepada ham-Nya membuktikan bahwa puasa di bulan Ramahan merupakan ibadah yang amat spesial. Lebih dari itu, menunjukkan bahwa Allah swt sangat memuliakan hamba-Nya yang berpuasa dan memberinya segala keutamaan. Ini juga menjadi targhib (motivasi) bahwa dibalik perintah berpuasa ternyata menyimpan segudang keutamaan dan kemuliaan, termasuk kesehatan di dalamnya.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengqadha Puasa Sunnah
Semoga kita semua mampu menjalankan ibadah berpuasa dengan khusyu’ dan ikhlas lillahi ta’ala. Wallahu a’lam.