Cita-cita yang diharapkan oleh Al-Quran adalah keseimbangan dalam menjalani kehidupan. Kesimbangan yang dimaksud yaitu keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani, serta seimbang dalam antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Allah merekam konsep umat yang berkeseimbangan atau yang disebut ummatan wasatha dalam Al-Quran QS. al-Baqarah [2]: 143,
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (Q.S. al-Baqarah [2]: 143)
Asbab an-Nuzul
Mayoritas ulama berpendapat bahwa turunnya ayat 143 pada surah al-Baqarah di atas berawal dari penantian Rasulullah akan turunnya perintah untuk memindahkan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Quran al-‘Adhim, juz 1, 458, menyatakan bahwa:
قال علي بن أبي طلحة عن ابن عباس: كان أول ما نُسخ من القرآن القبلة، وذلك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما هاجر إلى المدينة، وكان أكثر أهلها اليهود، فأمره الله أن يستقبل بيت المقدس، ففرحت اليهود، فاستقبلها رسول الله صلى الله عليه وسلم بضَعةَ َ عشَر ً شهرا
Peristiwa pemindahan kiblat shalat merupakan hukum pertama yang dinasakh dalam Al-Quran. Ketika Rasulullah hijrah ke kota Madinah, saat itu mayoritas penduduk Madinah masih beragama Yahudi. Allah SWT memerintahkan beliau untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis untuk menarik simpati penduduk Madinah yang merasa senang dengan hal tersebut. Maka, pada masa awal di Madinah Rasulullah menghadap ke Baitul Maqdis selama beberapa puluh bulan. Setelah itu turunlah QS. al-Baqarah[2]: 144.
Baca juga: Inilah Tinjauan Tafsir Ummatan Wasatha Menurut M. Thalibi
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (QS. al-Baqarah [2]: 144)
Kemudian ada seorang muslim berkata “kami ingin tahu tentang orang-orang muslim yang meninggal sebelum kiblat kita berubah dan bagaimana shalat kita ketika msih menghadap ke baitul maqdis?” lalu Allah swt menurunkan QS. al-Baqarah[2]: 143.
Makna ummatan wasatan dari ragam penafsiran
Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam karya tafsirnya al-Maraghi juz 2: 93 menjelaskan bahwa ummatan wasaṭha merupakan sikap umat Islam yang berada di tengah-tengah atau sebagai penengah di antara dua kubu. Pertama, orang-orang yang selalu cenderung pada kepentingan dunia, seperti kaum Yahudi dan Musyrikin.
Kedua, orang-orang yang membelenggu diri dengan adat kebiasaan dan kepentingan rohaniah, sehingga meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawiyah, termasuk kebutuhan jasmani mereka. Di antara mereka adalah kaum Nasrani dan Sabi’in.
Pandangan al-Maraghi tersebut tidak jauh berbeda dengan pendapat ath-Thabari yang memahami kata al-wasaṭ dengan keadilan atau proporsional. Dan kata ini pun semakna dengan kata al-khiyār yang disebut sebelumnya. Sebab hanya orang-orang adil (bersikap seimbang) yang disebut orang-orang terpilih di antara manusia.
Selanjutnya, ath-Thabari mengemukakan empat belas riwayat yang menjelaskan mengenai makna al-wasaṭ. Tiga belas riwayat sama-sama mengartikannya dengan keadilan. Berikut salah satu riwayatnya sebagimana dalam Tafsir al-Maraghi, terjemahan dari K. Anshori Umar Sitanggal, Hery Noer Aly, Bahrun Abu Bakar, Cet. 2.
عن أبي صالح، عن أبي سعيد، عن النبي صلى الله عليه وسلام في قوله: (وكذالك جعلناكم أمة وسطا) قال: عدول
Pengertian kedua mufassir tersebut dapat dipahami bahwa konsep ummatan wasaṭha merupakan masyarakat yang seimbang, yang berdiri di tengah tengah antara dua kelompok ekstrem, yaitu kecenderungan berlebihan kepada kepentingan dunia dan kebutuhan jasmani seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, dan kecenderungan membelenggu diri secara total dari hal-hal yang bersifat duniawi seperti yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani.
Baca juga: Inilah 3 Syarat Utama Implementasi Islam Wasathiyah Menurut Quraish Shihab
Dalam At-Tafsîr al-Munîr juz 2, 102, Wahbah az-Zuhayli menjelaskan bahwa wasath merupakan sesuatu yang berada ditengah-tengah atau intisari sesuatu, kemudian makna tersebut digunakan juga untuk sifat atau perbuatan yang terpuji. Karena semua sifat yang terpuji adalah selalu bermuara pada sikap pertengahan, seperti contoh, keberanian merupakan sikap pertengahan dari sifat pengecut dan nekad. Tetapi ia juga menambahkan bahwa disebut juga sebagai al-khiyar (terbaik) karena ia mampu memadukan antara ilmu (teori) dan amal (praktek)
Demikian pula, M. Quraish shihab dalam tafsirnya al-Misbah juz 2, 98. Beliau menambahkan bahwa konsep ummatan wasatha. Selain kalimat ummatan wasatha, Al-Qur‟an juga menyebutkan sebuah istilah untuk sebuah kelompok masyarakat yang memiliki makna kurang lebih sama yaitu; ummatan muqtashidah. Kalimat tersebut terdapat dalam QS. al-Ma’idah [5]: 66 sebagai berikut:
وَلَوْ اَنَّهُمْ اَقَامُوا التَّوْرٰىةَ وَالْاِنْجِيْلَ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِمْ مِّنْ رَّبِّهِمْ لَاَكَلُوْا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ اَرْجُلِهِمْۗ مِنْهُمْ اُمَّةٌ مُّقْتَصِدَةٌ ۗ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ سَاۤءَ مَا يَعْمَلُوْنَ ࣖ
Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada sekelompok yang jujur dan taat. Dan banyak di antara mereka sangat buruk apa yang mereka kerjakan. (Q.S. al-Maidah [5]: 66)
Menurut al-Maraghi, kelihatan bahwa makna ummah muqtashidah ini hampir identik dengan ummatan wasata karena keduanya mengandung makna moderat dan ketidakterjebakan pada titik ekstrim. Keduanya juga berfungsi memelihara konsistensi penerapan nilai-nilai utama di tengah-tengah berbagai komunitas di sekitarnya yang telah menyimpang.
Bedanya, cakupan ummah muqtashidah adalah sub komunitas seagama (Yahudi atau Nashrani), yang berprilaku pertengahan dalam melakukan ajaran agamanya, dan kelompok pertengahan itulah yang cepat menerima kebenaran dan menyambut upaya-upaya perbaikan atau pembaharuan.
Sedangkan ummatan wasatha adalah komunitas seagama itu sendiri, yakni Islam yang berada di antara dua komunitas Yahudi dan Nashrani. (Al-Maraghi, Jami’ al-Bayan, Juz 2, 102)
Demikian pemaknaan ummatan wasatha yang dilihat dari ragam penafsiran. Dari sini, setidaknya ada dua poin penting yang bisa ditarik sebagai kesimpulan. Pertama, Allah swt. menyebut umat Nabi Muhammad saw. sebagai Ummatan Wasatha karena konsep keseimbangan mereka dalam beragama, tidak cenderung kepihak kanan seperti orang-orang Yahudi maupun pihak kiri sebagaimana umat Nasrani.
Kedua, Ummatan Wasatha adalah potret masyarakat yang seimbang, masyarakat ideal yang berada di tengah-tengah dua kutub ekstrem, yaitu kecenderungan berlebihan kepada kepentingan dunia (kebutuhan jasmani) dan kecenderungan berlebihan membelenggu diri secara total dari hal-hal yang bersifat duniawi. Wallahu A’lam.