Meningkatkan Literasi Keuangan sebagai Bentuk Syukur

0
263
Meningkatkan Literasi Keuangan sebagai Bentuk Syukur
Meningkatkan Literasi Keuangan sebagai Bentuk Syukur (sumber: pixabay)

Setiap kali mendapat rezeki—gaji, hadiah, hasil jualan, atau sekadar uang jajan—banyak orang yang terbiasa mengucap “Alhamdulillah.” Namun, muncul pertanyaan penting: apakah ucapan syukur itu cukup? Dalam Islam, syukur bukan sekadar kata-kata. Ia adalah bentuk kesadaran yang dalam yang seharusnya tercermin dalam perbuatan. Salah satu bentuk paling nyata dari rasa syukur kepada Allah atas rezeki-Nya adalah dengan mempelajari literasi keuangan, yaitu memahami cara mengelola, membelanjakan, dan mengembangkan uang secara bijak dan bertanggung jawab.

Al-Qur’an menyampaikan pesan yang sangat jelas tentang pentingnya bersyukur. Dalam surah Ibrahim ayat 7, Allah berfirman, “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Ayat ini bukan hanya janji tentang bertambahnya rezeki, tapi juga peringatan bahwa mengabaikan amanah rezeki bisa membawa pada kerugian. Maka, mengelola uang secara bijak adalah bentuk nyata dari rasa terima kasih kepada Allah, Sang Pemberi Rezeki. Namun, bagaimana sebetulnya bimbingan Al-Qur’an dalam mengelola keuangan?

Keseimbangan dalam Membelanjakan Harta

Pertama-tama, Al-Qur’an menanamkan prinsip keseimbangan dalam membelanjakan harta. Dalam surah Al-Furqan ayat 67, Allah menyebutkan bahwa hamba-hamba-Nya yang baik adalah mereka yang tidak boros, tidak pula kikir, melainkan berada di tengah-tengah.

وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا ۝٦٧

Dan orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. (Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya.

Buya Hamka saat menafsirkan ayat ini pada Tafsir Al-Azhar menulis bahwa “dua sikap itu, royal dan bakhil, terhadap harta benda adalah alamat jiwa yang tidak ‘stabil’.” Ia menegaskan bahwa sifat boros mencerminkan kurangnya pertimbangan dan ketidakmampuan memikirkan masa depan, sementara kebakhilan adalah penyakit yang membuat seseorang tidak memanfaatkan hartanya sebagaimana mestinya.

Harta, menurutnya, harus diperlakukan sebagai “pemagar maruah, penjaga kehormatan diri,” bukan untuk diperbudak. Prinsip ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan pengelolaan keuangan secara bijak, proporsional, dan bertanggung jawab—bukan hanya demi kelangsungan hidup pribadi, tetapi juga demi menjaga keseimbangan sosial dan kehormatan diri.

Memberikan Hak Orang Lain

Salah satu indikator bahwa seseorang memahami literasi keuangan dengan baik adalah kemampuannya untuk tidak hanya mengelola uang untuk dirinya sendiri, tetapi juga memahami tanggung jawab sosialnya. Dalam Islam, harta bukan sepenuhnya milik pribadi. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Isra ayat 26-27 agar manusia memberikan hak kepada kerabatnya dan orang miskin serta menghindari pemborosan.

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيراً ﴿٢٦﴾ إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُواْ إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوراً ﴿٢٧﴾

Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, (juga kepada) orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.

Baca juga: Tawakal dan Rezeki: Menyeimbangkan Kepasrahan dan Usaha

Buya Hamka menafsirkan dua ayat ini dengan menekankan pentingnya berbagi kepada keluarga yang membutuhkan sebagai bentuk penguatan ikatan kekeluargaan. Ia menyebut bahwa rezeki tidak terbuka merata, “berhaklah keluarga itu mendapat bantuan dari kamu yang mampu.” Namun, di sisi lain, ia mengingatkan agar tidak terjebak dalam pemborosan.

Ia memilih kata “boros” sebagai padanan dari mubazzir, dan mengutip Imam Syafi’i bahwa mubazir adalah “membelanjakan harta tidak pada jalannya.” Sikap boros ini, menurut Hamka, bukan hanya soal jumlah, tetapi juga soal kesesuaian tujuan dan cara, karena bahkan pengeluaran yang sedikit pun bisa jadi mubazir jika tidak pada tempatnya.

Dalam surah Al-Baqarah ayat 261, Allah bahkan mengumpamakan infak di jalan-Nya seperti biji yang tumbuh menjadi tujuh tangkai, dengan setiap tangkai menghasilkan seratus biji. Ini adalah gambaran betapa besar balasan bagi mereka yang bersedekah. Maka, mengelola keuangan dengan menyisihkan untuk kebaikan bukanlah kerugian, justru itu adalah investasi abadi.

Bekerja, Bersungguh-sungguh, dan Merasa Cukup

Meningkatkan literasi keuangan juga berarti memahami pentingnya usaha yang halal dan mengelola pendapatan. Dalam surah Al-Jumu’ah ayat 10, Allah mendorong umat Islam untuk mencari karunia-Nya setelah menunaikan salat Jumat.

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ۝١٠

Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.

Ayat ini menjadi motivasi agar umat Islam tidak pasif, tetapi aktif mencari nafkah. Literasi keuangan yang sehat harus dimulai dari kesadaran akan pentingnya bekerja dan menghasilkan pendapatan secara jujur. Namun, semua itu perlu dibarengi dengan sikap merasa cukup—tidak berlebihan dalam konsumsi dan tidak selalu merasa kekurangan. Rasa cukup ini pula yang ditekankan dalam surah Al-Baqarah ayat 172:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ ۝١٧٢

Wahai orang-orang yang beriman, makanlah apa-apa yang baik yang Kami anugerahkan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu benar-benar hanya menyembah kepada-Nya.

Makan dari yang baik tidak hanya berarti halal dan sehat, tetapi juga dalam batas yang wajar dan penuh kesyukuran. Inilah nilai utama dalam literasi keuangan dalam Islam, yaitu mengelola uang bukan semata untuk memperkaya diri, tetapi agar bisa hidup layak, berbagi, dan tetap rendah hati.

Baca juga: Sejarah Legalitas Pungutan Pajak dalam Islam

Bayangkan dua orang. Yang pertama selalu mengucap “Alhamdulillah” saat menerima gaji, tetapi langsung menghabiskannya tanpa perencanaan, membeli barang tak penting, lupa sedekah, dan tak punya simpanan masa depan. Yang kedua, juga mengucap “Alhamdulillah,” namun ia membuat anggaran bulanan, menyisihkan untuk orang tuanya, rutin bersedekah, dan menabung.

Yang pertama mengandalkan syukur lisan, yang kedua mengamalkan syukur dengan literasi keuangan. Di situlah bedanya, syukur sejati tidak berhenti di mulut, tapi tercermin dalam kebiasaan mengelola harta yang bijak dan bertanggung jawab.

Akhirnya, perlu kesadaran bahwa setiap keputusan keuangan—apakah akan membeli, memberi, atau menyimpan—adalah bagian dari bentuk ibadah dan rasa syukur. Literasi keuangan bukan sekadar keterampilan, tetapi juga cermin dari kedewasaan diri dalam memperlakukan rezeki yang Allah berikan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini