BerandaUlumul QuranMenjawab Tuduhan Regis Blachere atas Kodifikasi Alquran

Menjawab Tuduhan Regis Blachere atas Kodifikasi Alquran

Salah satu dari orientalis yang mengkaji atau lebih tepatnya mengkritisi kajian tentang kesejarahan Alquran adalah Regis Blachere (1900-1973). Kali ini dia mengkritisi keaslian Alquran dari sisi sejarah kodifikasinya, tepatnya ketika Alquran menjadi sebuah mushaf resmi, yang kemudian dikenal dengan mushaf Usmani.

Secara singkat, tokoh utama yang dicurigai dan dijadikan ‘kambing hitam’ oleh Blachere atas tuduhannya ini adalah khalifah yang bertanggung jawab atas kodifikasi Alquran, yaitu Usman bin Affan. Kodifikasi Alquran yang dilakukan oleh khalifah ketiga ini dianggap sebagai agenda pribadi untuk mengokohkan kepemimpinannya, sehingga menurutnya akan banyak berpengaruh terhadap autentisitas mushaf Usmani.

Tuduhan Blachere kali ini akan dihadapkan pada data-data historis dari Al-Asqalani dan Subhi Salih, khususnya pada bagian dua klaim Blachere yang dianggap sebagai biang permasalahn kodifikasi Alquran.

Baca Juga: Alquran di Mata Orientalis Abad Renaisans

Profil Regis Blachere

David Cohen dalam Regis Blachère (1900-1973) menerangkan bahwa Regis Blachere dilahirkan pada awal abad ke-20, tepatnya 30 juni 1900, di kota Paris, Prancis. Tahun 1915, dia pindah ke Maroko karena ayahnya yang dimutasikan dari pekerjaannya. Setelah tamat di sekolah tingkat keduanya di Casablanca, dia bekerja sebagai seorang penerjemah. Dia sempat menjadi tenaga pengajar di Madrasah Maula Yusuf di Rabat sebelum meneruskan pendidikan tingginya di Universitas Aljazair dan meraih gelar sarjananya tahun 1922.

Pada tahun 1935, dia menyelesaikan magister dan doktoralnya di Universitas Sorbonne, Paris. Gelarnya diraih setelah dia mampu merampungkan dua kajiannya. Pertama mengkaji Abu Thayyib Al-Mutanabbi, penyair kenamaan Syiria abad 11 H dan yang kedua menerjemahkan kitab Tabaqat al-Umam karya Sa’id Al-Andalusi dari bahasa Arab ke bahasa Prancis.

Keahliannya dalam bahasa Arab, membuatnya dinobatkan sebagai Guru Besar Filologi dan Sastra Arab Abad Pertengahan di Universitas Sorbonne di tahun 1950. Blachere juga pernah menjabat sebagai direktur Institute des Etudes Islamiques di Académie de Paris sejak 1956 sampai 1965, menjadi anggota Akademi Kairo dan Damaskus.

Setahun sebelum dia meninggal pada 7 Agustus 1973, dia terpilih sebagai anggota Institute de France pada 1972. Ia juga pernah menjabat sebagai direktur pada Centre de Lexicographie Arabe dan wakil presiden asosiasi bagi perkembangan kajian-kajian Islam. Dia meninggal pada tanggal 7 Agustus 1973.

Blachere dikenal sebagai tokoh yang sangat aktif menulis.  Karyanya antara lain, Histoire de la Literature à la Fin du XVe Siecle yang bisa dibilang instrument penting dalam dunia sastra, Grammaire de l’Arabe Classique (1937), dan Dictionnaire Arabe-Français-Anglais dalam bidang linguistik. Le Problème de Mahomet (1952) Dans Les Pas de Mahomet yang bercerita mengenai Nabi Muhammad, Le Coran: Que Je Sais? Introduction au Coran terbit tahun 1949 dan 1959, menyajikan metode kritik yang sangat tegas terhadap seluruh sumber—historis, filologis, literer—tentang Mushaf Alquran dan latar belakang penetapannya menjadi sebuah textus receptus, teks yang diakui secara resmi.

Baca Juga: Perdebatan Orientalis tentang Historisitas Alquran

Pandangan Regis Blachere terhadap Mushaf Usmani

Dalam hal pengumpulan (kodifikasi) Alquran yang dilakukan Usman bin Affan, Blachere mengklaim adanya unsur ketegangan, motivasi politik, dan proyek etnisisme di balik peristiwa tersebut. Klaimnya lebih tertuju pada wilayah eksternal teks. Hal tersebut tentu berbeda dengan para sarjana sebelumnya yang lebih terpusat pada analisis internal, yang menggugat dokumen-dokumen berkenaan dengan kodifikasi tersebut.

Kepribadian perawi, kondisi sosio-historis masyakarat, bukti-bukti historis dan situasi tertentu di balik penyusunan sebuah teks menjadi asas dari kritikannya ini. Hasilnya, dia memperoleh sebuah kesimpulan bahwa adanya motif aristokrasi politik dalam diri Usman bin Affan di balik agenda pengkodifikasian mushaf.

Penunjukkan kerabat atau loyalisnya dalam mengumpulkan mushaf dan dijadikannya mushaf Abu Bakar sebagai basis tekstual menjadi bukti kuat bagi Blachere tentang adanya motif tersebut. Dua hal ini menjadi poin penting tuduhan Blachere atas mushaf Usmani.

Dalam Introduction au Coran, Blachere tidak menganggap karya-karya kuno sebagai sumber otentik. Keraguannya semakin jelas jika dalam penulisan rentetan karya tersebut tak diketahui identitas penulisnya, bagaimana teks itu lahir, dan seperti apa kondisi sosio masyarakat yang mengitari munculnya teks tersebut. Di sinilah peran besar Blacehere dengan kritik historis eksternalnya yang berusaha mendalami permasalahan tersebut.

Dengan metode tersebut, Blachere merekam kondisi-sosio politik kultural yang terjadi di masa khulafa ar-rasyidin ketiga tersebut sebagai indikasi akan kelemahan figur khalifah sendiri. Meskipun Usman dianggap sebagai seorang yang salih dan mulia, dia sangat mudah terpengaruh dengan orang sekelilingnya.

Maka, bagi Blachere wajar saja jika segala tindakan Usman akan lebih cenderung ekslusif pada perlindungan orang di sekitarnya. Apalagi, dirinya berasal dari kaum aristokrat Makkah, yakni keluarga Umayyah yang begitu disegani oleh masyarakat Arab kala itu.

Lagi-lagi, Blachere menganggap sikap Usman ini berdampak pada pemilihan panitia pengkodifikasian mushaf Aquran. Komposisi anggota yang terdiri dari Sa’id bin Zaid (w. 59 H), Abd Al-Rahman bin Al-Harits (w. 43 H), dan Ibnu Al-Zubair (w. 73 H) yang merupakan orang asli Makkah menjadi dugaan kuat adanya manifestasi kepentingan aristokrat Usman dalam kekuasaannya. Ditambah lagi ketiganya masih menjalin hubungan kekerabatan dengan khalifah sepertinya menjadi “lahan subur” bagi Blachere dalam mengkritik Mushaf Usmani.

Introduction au coran
Introduction au coran

Adapun ketuanya, Zaid bin Tsabit (w. 45 H) meski berasal dari Madinah/Ansar tidak menghalangi aristokrasi khalifah. Blachere beralasan bahwa sosok Zaid sendiri merupakan orang yang sangat loyalis dengan Khalifah Usman dan menolak keberpihakan ke sahabat lainnya, termasuk kepada ‘Ali bin Abi Talib. Dari sini, agak wajar jika yang diangkat oleh khalifah dalam tugas ini mengindikasikan adanya keinginan ‘Utsman untuk melindungi sekaligus menanamkan pengaruh faksi Makkah dalam masyarakat Islam.

Selanjutnya, dalam hal menjadikan Mushaf Abu Bakar sebagai basis pengkodifikasian mushaf juga tak lepas dari motif aristokrasi Usman. Bagi Blachere, mushaf Abu Bakar merupakan mushaf pribadi yang memang dibuat untuk menghilangkan rasa inferior dalam diri khalifah terhadap mushaf-mushaf pribadi yang juga dimiliki oleh para sahabat lain. Sosok Abu Bakar yang dikenal sebagai khalifah yang suci dan dipilih melalui konsensus menjadi alasan di balik pengatribusian mushaf Usman pada mushaf Abu Bakar. Tentunya, ini sebagai upaya peredaman munculnya api konflik dalam pemerintahan Usman dan misi standarisasi teks agar dapat diterima.

Baca Juga: Inilah Beberapa Argumentasi Orientalis dalam Mematahkan Autentisitas Al-Quran

Menjawab Tuduhan Blachere

Dua klaim yang diutarakan Blachere ini setidaknya bisa direspon dengan menggunakan data historis dari dua cendekiawan muslim. Ketika mengomentari panitia komisi, Blachere alpa tentang kapabilitas dan integritas dari keempat orang tersebut. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani (w. 1449 M.) dalam Al-Ishabah fi Tamziz al-Shahabah, Zaid bin Tsabit yang menjadi ketua komisi merupakan seorang pemuda yang cerdas, alim, hafiz, dan juga mendapat mandat langsung dari Nabi saw. sebagai penulis wahyu. Lebih lagi, dia juga ditunjuk oleh Abu Bakar dalam pengumpulan Alquran di eranya.

Abdullah bin Zubair merupakan seseorang yang dikenal akan kedalaman ilmunya sehingga dia dijuluki abadillah. Demikian halnya dengan Sa’id bin Al-Ash, dia merupakan seorang yang terfasih lisannya dan paling dekat lahjah dengan Nabi saw. Sedangkan, Abdurrahman Al-Harits adalah seorang sahabat yang mulia dari kalangan Quraisy yang menikahi putri khalifah Usman.

Klaim Blachere ini juga semakin jelas tak berdasar jika melihat asal dari panitia tersebut. Sebagaimana ditulis oleh Subhi Salih (w. 1407 H.) dalam Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, h. 79, dari keempat orang yang ada, Zaid bin Tsabit dan Ibnu Zubair, mereka berasal dari Madinah, bukan lahir di Makkah. Hal lain yang juga semakin memperkuat ialah adanya keterlibatan para sahabat lain selain empat orang tersebut seperti Ubay bin Ka’ab, Anas bin Malik, Kutsayir bin Aflah, dan Ibnu Abbas. Tak semua dari mereka orang Muhajirun, melainkan juga Ansar.

al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah
al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah

Adapun penggunaan mushaf Abu Bakar sebagai basis tektsual dinilai sebagai bentuk aristokrasi politik sang khalifah juga merupakan rekasaya dan hasil imajinasi Blachere. Keberadaan mushaf Abu Bakar merupakan mushaf yang disepakati berdasarkan consensus, berbeda dengan mushaf para sahabat lainnya. Mushaf Abu Bakar yang ditulis oleh Zaid bin Tsabit yang disaksikan dan berada dalam bimbingan langsung oleh Nabi saw. Artinya, tulisan Zaid merupakan representasi dari Nabi saw.

Sedangkan mushaf para sahabat lain tak mendapat koreksian dari Nabi. Ketika wahyu turun, mereka mendengar dan mencatatnya tapi tidak disodorkan kepada Nabi. Mashahif tersebut hanya menjadi koleksi pribadi mereka.

Oleh karenanya, kita akan mendapati banyak dalam tulisan mereka yang bukan bagian dari ayat tapi merupakan penafsiran dari Nabi. Masih tercantumnya ayat-ayat yang sudah dinaskh (diganti/dihapus). Begitu pula, dengan tartib susunannya yang masih menggunakan tartib nuzul (berdasarkan kronologi/asbab an-nuzul) atau ijtihad mereka sendiri agar lebih mudah menghafalkannya.

Tambah lagi dengan peran Zaid bin Tsabit, dia menjadi sahabat penulis wahyu di zaman Nabi kemudian diangkat menjadi ketua komisi di era Abu Bakar. Pun, demikian halnya di era Usman, dia mendapat tugas yang sama (sebagai ketua). Sederhananya, apa yang ditulis dan dikerjakan Zaid semuanya berada dalam satu jalur, tidak berbeda dan berlainan dari yang sebelumnya.

Dari sini jelas bahwa upaya Usman mengkodifikasi mushaf tidak mengatasnamakan kepentingan pribadi sebagai penguasa. Melainkan untuk kemaslahatan umat Islam bersama dan penyatuan umat Islam di bawah cara baca yang standar. Bukan sebagaimana yang diklaim oleh Regis Blachere. Selain itu, juga menghilangkan elemen-elemen yang non-Qur’an yang tertulis dalam mushaf-mushaf koleksi pribadi para sahabat yang biasanya mereka gunakan sebagai penjelasan teks yang didapat dari syarh Nabi Muhammad saw. Wallah a’lam.

Muhammad Izharuddin
Muhammad Izharuddin
Mahasiswa Prodi Ulumul Qur’an dan Tafsir STKQ Al-Hikam, Depok
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Peran Alquran dalam Melestarikan Bahasa Arab

Peran Alquran dalam Melestarikan Bahasa Arab

0
Bahasa Arab telah berkembang ratusan tahun sebelum Nabi Muhammad saw. lahir. Meski telah berusia lama, bahasa ini masih digunakan hingga hari ini. Bahasa Arab...