Pada tulisan yang lalu berjudul Problematika Tanda Waqaf dalam Mushaf Al-Qur’an, penulis telah menyinggung bahwa berdasar dhawuh Ibn al-Jazariy, tidak ada satu pun waqaf yang bersifat wajib dan mengikat.
وَلَيْسَ فِي الْقُرآنِ مِنْ وَقْفٍ وَجَبْ * وَلَا حَرَامٌ غَيْرَ مَا لَهُ سَبَبْ
“Tiada satu pun waqaf dalam Al-Qur’an yang wajib. Dan tiada pula satu pun waqaf yang haram, kecuali jika ada sebab tertentu yang mengharuskannya.”
Hal ini kemudian memancing pertanyaan terkait status waqaf lazim dalam mushaf Al-Qur’an yang oleh banyak para pembaca Al-Qur’an dipahami sebagai wajibnya waqaf (berhenti). Dua hal yang dalam pandangan sekilas tampak saling menafikan satu sama lain. Untuk itu, dalam tulisan kali ini penulis bermaksud mengetengahkan problematika waqaf lazim dalam mushaf Al-Qur’an.
Waqaf dalam Mushaf Al-Qur’an dan Literatur Tajwid
Seperti yang telah penulis sebutkan pada tulisan sebelumnya, ada begitu banyak ragam tanda waqaf yang digunakan dalam mushaf Al-Qur’an. Tanda-tanda ini dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia (selanjutnya disingkat MASI) telah disederhanakan menjadi 7 macam: al-waqf al-lazim atau harus berhenti, ‘adam al-waqf atau tidak boleh berhenti, al-waqf ja’iz atau boleh berhenti, al-waqf aula atau lebih baik berhenti, al-washl aula atau lebih baik tidak berhenti, saktah yang berarti berhenti sejenak tanpa mengambil nafas, serta mu‘anaqah yang berarti berhenti pada salah satu tanda.
Penulis sendiri belum menjumpai referensi yang menjelaskan sumber pembagian tanda-tanda waqaf tersebut ke dalam 7 macam. MASI cetakan tahun 1986, yang menjadi salah satu rujukan Zainal Arifin dalam Mengenal Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani Indonesia, yang penulis rujuk secara langsung juga tidak menyebutkan dengan pasti rujukan terkait pembagian tanda waqaf ini.
Beberapa petunjuk yang mengarah pada penjelasan pembagian ini adalah redaksi yang menyebutkan bahwa tanda waqaf ini dirumuskan sesuai keputusan musyawarah ulama Al-Qur’an, “Hasil keputusan musyawarah ulama Al-Qur’an” dan redaksi yang menjelaskan bahwa MASI mengikuti mushaf terbitan Makkah dan Mesir yang juga menggunakan pembagian yang sama, “sesuai dengan tanda-tanda waqaf Al-Qur’an terbitan Makkah dan Mesir”.
Setelah memeriksa secara langsung mushaf Makkah yang dimaksud, penulis juga tidak mendapati literatur Al-Qur’an yang dijadikan sebagai pedoman dalam penentuan dan pembagian tanda waqaf ini. Mushaf terbitan Makkah hanya mencantumkan tanda-tanda waqaf yang digunakan berikut contoh-contoh penerapannya tanpa disertai referensi yang menjadi rujukan.
Sementara itu dalam disiplin ilmu tajwid, waqaf hanya dibagi menjadi 4 macam, yakni al-waqf al-ikhtiyariy, al-waqf al-idlthirariy, al-waqf al-intizhariy, dan al-waqf al-ikhtibariy. Waqaf yang pertama, yakni al-ikhtiyariy, kemudian dibagi lagi menjadi empat bagian, al-waqf al-tam, al-waqf al-kafiy, al-waqf al-hasan, dan al-waqf al-qabih. Pendapat yang lain membaginya ke dalam 5 bagian, dengan penambahan al-waqf al-lazim. Dari sini, terlihat ada masalah yang timbul di mana ditemukan perbedaan antara pembagian waqaf dalam ilmu tajwid dan aplikasinya dalam mushaf Al-Qur’an.
Sehingga kendati sama-sama ditemukan informasi mengenai keberadaan waqaf lazim, patut dipertanyakan apakah keduanya merujuk pada hakikat yang sama, antara ilmu tajwid dan aplikasinya dalam mushaf Al-Qur’an, atau tidak. Akan tetapi jika melihat poin-poin klasifikasi yang diberikan, pertimbangan yang digunakan dalam klasifikasi ini agaknya berbeda.
Dalam ilmu tajwid, waqaf lazim disejajarkan dengan 4 waqaf lainnya yang menekankan kesempurnaan struktur dan pemaknaan. Sedangkan dalam mushaf, waqaf lazim disejajarkan dengan 6 waqaf lain yang penulis sendiri belum mendapati aspek pertimbangan pembagiannya.
Baca juga: Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dalam Diskursus Rasm Mushaf Indonesia
Konteks Kelaziman Waqaf Lazim
Waqaf lazim didefinisikan sebagai waqaf pada kalimat sempurna yang jika tidak dilakukan akan menimbulkan kesalahpahaman pada makna semestinya yang dikehendaki. Adanya potensi kekeliruan makna yang timbul menjadikan hukum waqaf ini ialah luzum atau wujub (harus) yang lantas diadopsi sebagai sebuah nama menjadi al-waqf al-lazim atau al-waqf al-wajib.
Apabila mengamati definisi dan implikasi hukum dari waqaf lazim ini, dapat dipahami bahwa kelaziman waqaf sejatinya tidak murni berdasar pada sudut pandang keilmuan Al-Qur’an, yang dalam masalah waqaf ini adalah ilmu tajwid, melainkan lebih menekankan aspek pemaknaan dan pemahaman terhadap teks Al-Qur’an yang dibaca.
Hal ini berarti bahwa konteks yang mendasari kelaziman waqaf merupakan faktor eksternal yang berkaitan dengan keserasian bacaan yang dalam Al-Raudlah al-Niddiyyah syarah Matn al-Jazariyyah disebut dengan jaudah al-qira’ah dan jamal al-tartil.
Untuk lebih jelasnya, lihat ayat 145-146 dari Surah Al-Baqarah di bawah ini.
وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ (145) الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (146)
Waqaf lazim dalam potongan ayat di atas terletak setelah kata al-zhalimin, akhir ayat 145. Kelaziman waqaf pada kata ini disebabkan adanya potensi kesalahpahaman makna yang timbul jika dibaca washal. Dimana rangkaian struktur alladzina yang menjadi awal ayat 146 akan diposisikan sebagai sifat (klausa adjektiva) dari kata al-zhalimin. Padahal dua ayat di atas menjelaskan dua hal berbeda yang saling berkebalikan.
Dalam penjelasan sederhana Gus Baha’, waqaf dan ibtida’ semacam ini merupakan unsur yang berkaitan dengan aspek pemaknaan dan pemahaman terhadap teks. Jika dianalogikan dengan sebuah percakapan, ia mirip dengan jeda yang diberikan supaya lawan bicara dapat dengan sempurna memahami maksud dan tujuan yang ingin disampaikan oleh mutakallim.
Kesimpulan
Dari ulasan ini terlihat bahwa kelaziman waqaf lazim menyimpan beberapa problematika berkaitan dengan aspek cantolan rujukan yang dimiliki dan konteks yang mendasari kelazimannya untuk berhenti (waqaf). Poin kedua yang menjelaskan konteks kelaziman waqaf, sekaligus menjawab pandangan sekilas yang menyiratkan adanya unsur kontradiksi dalam dhawuh Ibn al-Jazariy yang penulis sebutkan pada bagian awal tulisan ini. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []
Baca juga: Faktor Terjadinya Inkonsistensi Penggunaan Kaidah Rasm dalam Manuskrip Mushaf Al-Qur’an di Nusantara