BerandaTafsir TematikMeramahkan Metode Hikmah Kepada Peserta Didik

Meramahkan Metode Hikmah Kepada Peserta Didik

Meramahkan metode hikmah kepada peserta didik merupakan sarana yang tepat. Sudah jamak bahwa metode hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan. Namun, metode hikmah terlalu sempit untuk diartikan kebijaksanaan. Sebab ia berkelindan dengan apa yang disebut qaulan layyinan (perkataan yang lembut). Ia juga mensyaratkan argumen kebenaran yang disampaikan haruslah valid, tidak menimbulkan keraguan apalagi kekaburan agar memudahkan peserta didik untuk mencerna, mengolah, memahami, dan menginternalisasikan materi pelajaran dengan penuh kesadaran diri.

Sehingga diharapkan dari metode hikmah ini menghasilkann outcome yang akram dan shalih. Penegasan metode hikmah sendiri telah disitir oleh Allah swt dalam firman-Nya surat an-Nahl ayat 125;

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (Q.S. al-Nahl [16]: 125)


Baca juga: Mufasir-Mufasir Modern: Biografi Muhammad Al-Ghazali


Tafsir Surat an-Nahl Ayat 125

Di berbagai literatur ayat ini sering dihubungkan dengan metode dakwah, namun pada tulisan ini akan dikaji dari sudut tarbawi (aspek pendidikan). Ayat ini menerangkan tiga metode yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran pendidikan Islam yakni bil hikmah (ilmu), mauidzah hasanah (pengajaran yang baik), dan mujadalah (berdebat dengan yang baik pula).

Penafsiran kali ini difokuskan pada metode yang pertama saja, yakni bil hikmah. Para ulama tafsir berbeda pendapat akan penafsiran bil hikmah. Ibnu Katsir misalnya, bil hikmah ia tafsirkan dengan cara yang bijaksana. Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang diserukan kepada manusia adalah wahyu yang diturunkan kepadanya berupa Alquran dan sunnah.

Sedangkan ‘Ali al-Shabuny dalam Shafwah at-Tafasir menafsirkan bil hikmah dan mauidzah hasanah secara satu kesatuan, yakni hendaknya engkau Muhammad mengajak manusia kepada agama Allah dengan bil uslubi al-hakim (dengan diksi yang bijaksana). Diksi yang dimaksudkan adalah lembut dan halus, berkesan dan bermanfaat, bukan dengan kebengisan, kekerasan, cacian, makian dan tekanan.

Kata al-hikmah dalam Kamus al-Munawwir karangan KH. Ahmad Warson Munawwir diartikan kebijaksanaan. Memang kata hikmah sering diasosiasikan dengan filsafat. Sejatinya, makna hikmah lebih mendalam dibanding filsafat.

Jika filsafat hanya dapat dipahamkan kepada mereka yang sudah terlatih fikiran dan logikanya, akan tetapi hikmah dapat menarik orang yang belum mapan secara kecerdasan dan tidak dapat dibantah oleh orang yang lebih pintar.

Maka, hikmah dapat diartikan sebagai mengajak kepada agama Allah (al-din al-Islam) melalui ilmu, keadilan, falsafah, kebijaksanaan dan penjelasan yang benar. Dalam konteks pendidikan, metode hikmah ini hendaknya selalu mempertimbangkan konteks yang menyelimutinya seperti faktor subjek peserta didik, sarana belajar, media pembelajaran, dan lingkungan pembelajaran.

Sehingga pernak-pernik yang ada dapat disikapi dengan arif dan bijaksana guna mencapai pendidikan yang kondusif (menyenangkan dan tepat sasaran). Al-Qurthuby sendiri lebih memaknai kata al-hikmah dengan lemah lembut atau qaulan layyinan. Hal ini senada dengan firman Allah Q.S. Thaha [20]: 44, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”

Sementara itu, Quraish Shihab menjelaskan kata hikmah lebih utama ketimbang segala sesuatu. Dia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan dan atau kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan atau diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar, serta menghalangi timbulnya madharat yang lebih besar.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Hati-Hati Terhadap Qadzaf!


Adapun Ibnu Asyur dalam at-Tahrir wa at-Tanwir menguraikan hikmah dengan nama himpunan segala ucapan atau pengetahuan yang menjurus kepada perbaikan keadaan dan kepercayaan manusia secara seimbang. Lebih lanjut, ia menukil pendapat Raghib al-Asfahani bahwa hikmah adalah sesuatu yang mengarah kepada kebenaran berdasarkan ilmu dan akal.

Selaras dengan penafsiran di atas, Thabathaba’i memaparkan hikmah adalah argumen yang menghasilkan kebenaran yang valid, tidak diragukan lagi dan tidak mengandung kelemahan apalagi kekaburan.

Penafsiran serupa juga disumbangkan oleh al-Naisaburi dalam Tafsir Gharaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan bahwa hikmah adalah tanda atau metode yang mengandung argumentasi yang kuat (qath’i) sehingga bermanfaat bagi keyakinan.

Ahmad Shiddiq mengutip Tafsir al-Khazin menjelaskan secara detail yang dimaksud hikmah adalah memberi keterangan yang mantap, kokoh dan benar. Atau menggunakan dalil yang benar-benar tervalidasi kebenarannya sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekaburan.


baca juga: Inilah Empat Keutamaan Surat Al Ikhlas


Meramahkan Metode Hikmah Kepada Peserta Didik

Meramahkan metode hikmah kepada peserta didik tentu harus dilakukan oleh setiap pendidik. Sebab melalui metode ini peserta didik dapat memahami dengan mudah materi pelajaran dan mendapatkan kebenaran atau ilmu yang valid, tanpa berbelit-belit.

Tentunya semua ini memerlukan interaksi yang kondusif antara pendidik dan peserta didik agar proses belajar mengajar (PBM) dapat berjalan efektif dan efisien. Satu hal lagi yang perlu digarisbawahi adalah penyampaian metode harus dilakukan secara qaulan layyinan (penyampaian yang lembut, halus, sejuk dan mendamaikan). Sehingga mampu mengetuk pintu kalbu sehingga mampu menerima cahaya ilahi berupa ilmu yang bermanfaat.

Kemudian diharapkan dari proses ini para peserta didik memiliki keyakinan dan kemantapan dalam menerima materi pelajaran sebagai bekal dan pedoman untuk memperoleh ilmu yang lebih luas lagi, tidak terbatas dalam ruang kelas dan waktu serta dapat mengembangkan apa yang telah dipahaminya sesuai dengan kebutuhan, kemajuan dan tuntutan zaman. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...