BerandaTafsir TematikTafsir Ahkam: Hati-Hati Terhadap Qadzaf!

Tafsir Ahkam: Hati-Hati Terhadap Qadzaf!

Zina adalah suatu pelanggaran syariat yang menyebabkan pelakunya terkena hukuman (had). Namun tidak hanya pelaku zina, orang yang menuduh zina juga bisa mendapatkan hukuman. Dalam literatur fiqih, penuduhan zina tersebut dikenal dengan istilah qadzaf. Lebih lengkapnya, mari kita bahas di bawah ini.

Jika seseorang menuduh orang lain berbuat zina, maka ia berpotensi terkena hukuman qadzaf, kecuali jika ia mampu mendatangkan empat orang saksi mata dari perbuatan zina yang dituduhkan. Apa hukuman yang dijatuhkan pada pelaku qadzaf? yaitu cambukan sebanyak 80 kali. Ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi:

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ  ۙ اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ وَاَصْلَحُوْاۚ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik lalu mereka tidak mampu mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka sebanyak 80 kali dan janganlah kalian terima kesaksian mereka selamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasiq. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur [24]: 4-5)

Qadzaf berasal dari ar-ramyu bil hijarah yakni lemparan menggunakan batu. Kemudian istilah ini digunakan untuk lemparan menggunakan lisan, karena baik lemparan menggunakan batu atau lisan efeknya sama-sama menyakitkan. Seperti perkataan an-Nabighah yang dikutip oleh As-Shabuni dalam Rawai’ul Bayan:

وَجَرْحُ اللِّسَانِ كَجَرْحِ الْيَدِ

Artinya: “luka yang disebabkan lisan seperti halnya luka yang dibuat oleh tangan.”

Baca Juga: Tafsir Surat al-Maidah 44: Maksud Hukum Allah

Kemudian secara istilah, qadzaf berarti menuduh zina atas dasar pencemaran nama baik. Siapakah pemilik nama baik yang dimaksud? Pada ayat di atas, orang tersebut adalah al-muhshanat, perempuan yang dikategorikan terhormat menurut syariat. As-Shabuni melanjutkan, kriteria wanita yang bersifat al-ihshan (terhormat) adalah sebagai berikut:

  1. Al-‘Iffah yakni menjaga kehormatan. Hal ini berdasarkan firman Allah surat al-Maidah ayat 5.
  2. Al-Hurriyyah yang berarti merdeka, bukan budak. Dalil yang digunakan adalah an-Nisa’ ayat 25.
  3. At-Tazawwuj atau berstatus menikah seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 23.
  4. Al-Islam yakni beragama Islam.

Mengingat diksi pada redaksi ayat di atas berbentuk jamak muannas (al-muhshanat), menunjuk pada jenis kelamin perempuan. Lantas apakah yang tertuduh harus perempuan dan hukum ini tidak berlaku bagi laki-laki?

Ibnu Katsir dalam tafsirnya memberikan tanggapan bahwa dalam ayat ini berlaku hukum aghlabiyah atau representatif. Artinya, meskipun diksi yang digunakan adalah bentuk muannas (perempuan), namun hal itu juga mewakili laki-laki. Sehingga, hukum tersebut ditujukan pada siapa saja baik laki-laki atau perempuan yang memenuhi kriteria terhormat. Inilah pendapat yang disepakati oleh konsensus ulama.

Lalu mengapa tuduhan dalam ayat tersebut hanya disebutkan untuk perempuan? Melalui tafsirnya yang berjudul Fathul Qadir, as-Syaukani menjelaskan bahwa hal itu memang dikarenakan perempuan yang selalu menjadi korban, padahal agama telah mengangkat kedudukan perempuan. Menuduh zina kepada perempuan yang terhormat adalah tindakan hina yang menyinggung agama. Maka, ini adalah bentuk pembelaan dari Islam untuk kaum perempuan yang menjadi korban tuduhan tersebut.

Baca Juga: Sabab Nuzul, Perempuan dan Respon al-Qur’an

Melanjutkan penjelasan ayat di atas, hukuman yang diterima oleh pelaku penuduhan tidak hanya dipidana 80 cambukan, ia juga mendapat hukuman sosial, yaitu kesaksiannya tidak lagi mendapatkan pengakuan serta memperoleh gelar fasik dari Allah swt. Ia kehilangan kepercayaan dari manusia dan dianggap sebagai pelaku maksiat. Tentunya, Allah Sang Maha Pengampun memberikan pengecualian bagi orang yang bertaubat dan memperbaiki dirinya seperti lanjutan bunyi ayat lima. Pertanyaannya, jika seseorang tersebut bertaubat, maka bagaimana hukuman sosial yang diterimanya?

At-Thabari menuturkan, para ahli tafsir berselisih pendapat mengenai hukum kesaksian seseorang yang telah bertaubat dari dosa qadzafnya. Namun, pendapat yang diambil adalah kebolehan orang tersebut dalam memberi kesaksian, artinya kesaksiannya atas suatu hal bisa kembali diterima sebab ia telah bertaubat. Demikianlah yang dikutipnya dari Sa’id bin al-Musayyab, az-Zuhri, as-Sya’bi, dan masih banyak lagi.

Baca Juga: Doa Al-Quran: Doa Taubat Nasuha, Tafsir Surat Hud Ayat 3: Raih Kebahagiaan dengan Beristighfar, Istighfar Seperti Apa yang Dimaksud Dalam Dua Ayat Ini? Tafsir Surat An-Nisa Ayat 110 dan 64

Terlepas dari beragam penafsiran di atas, ayat tentang qadzaf ini mengajarkan pada kita semua untuk selalu hati-hati dan tidak sembarangan menuduh siapapun, terlebih tuduhan yang diajukan adalah zina, pelanggaran agama dan pelanggaran sosial yang sangat berat.

Wallahu A’lam.

Lutfiyah
Lutfiyah
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir Institut Pesantren KH. Abdul Chalim (IKHAC) Mojokerto
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...