Dewasa ini, pendekatan hermeneutik, semantik dan semiotik menjadi arah baru penafsiran kontemporer, bahkan banyak pendekatan tafsir lainnya yang up to date, lahir sebagai upaya merespons fenomena-fenomena di era digital ini. Namun pendekatan yang kita kenal dengan metode maudhu’i tak kalah peran, metode ini rupanya tetap fresh berperan menjadi salah satu sarana yang merelevansi pesan Allah dalam ayat-ayat Al-Quran dengan kondisi dan perkembangannya di zaman ini.
Bagaimana tidak, Ahmad Sayyid Al-Kumy pun mengatakan, bahwa hidup pada zaman modern ini sangat memerlukan kehadiran corak maudhu’i, sebab dengan metode penafsiran yang demikian akan memungkinkan seseorang penafsir memahami masalah yang dibahas dan akan sampai pada hakikat masalah dengan jelas, singkat, praktis dan mudah. Hal ini senada dengan minat masyarakat belakangan ini yang segalanya ingin serba dipenuhi dengan waktu yang ringkas, tidak bertele-tele, tak terkecuali dalam upaya mereka untuk memahami teks-teks suci Al-Quran.
Arah penafsiran motode ini turut dijelaskan oleh Abdul Hayyi al-Farmawi, beliau memandang metode maudhu’i sebagai pendekatan dengan cara menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang memiliki maksud yang sama. Dalam artian, membicarakan satu topik tertentu (tematik) lalu menyusunnya berdasarkan kronologi dan sebab turunnya ayat tersebut, sehingga penafsir dapat menyajikan penjelasan ayat yang berkaitan dengan topik yang dikaji dengan runtut.
Baca juga: Kepada Semua yang Ingin Mempelajari Al Quran….
Tafsir maudhu’i sekilas terlihat kehadirannya melalui Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syatiby, saat menafsirkan surah al-Mu’minun. Namun mulai mekar dan berdiri sebagai suatu ilmu metode penafsiran sejak Abad ke-14 Hijriyah, ketika Al-Kumy yang merupakan Ketua Jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, Mesir, mempopulerkan metode ini dengan cara menjadikannya sebagai meteri kuliah di Al-Azhar. Dan semakin terlihat jelas bentuknya pada tahun 1977, ketika al-Farmawi yang juga merupakan guru besar Fakultas Ushuluddin Al-Azhar menuangkan pemikirannya tentang metode ini dalam karyanya yang bertajuk al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i.
Berpijak pada keterangan terkait tafsir maudhu’i di atas, para Ulama tafsir mempetakan beberapa tahapan yang hendaknya diaktualisasikan ketika menggunakan metode maudu’i, demikian tahapan-tahapan tersebut:
Baca juga: Apakah Nabi Menafsirkan Ayat Al-Quran Seluruhnya dan Telah Menyampaikannya Kepada Para Sahabat?
- Menentukan tema masalah yang akan dikaji.
- Mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan tema.
- Meneliti sekuensial ayat tersebut sesuai dengan kronologis turunnya dan pengetahuan tentang asbab an-nuzul
- Mengetahui korelasi munasabah ayat dalam surahnya masing-masing.
- Memperkaya uraian pembahasan dengan hadist-hadist pendukung yang relevan.
- Menyusun kerangka pembahasan dengan pandangan yang menyeluruh dan tuntas.
- Meneliti konteks ayat secara keseluruhan dengan cara menghimpun ayat-ayat yang memiliki pengertian serupa, baik mengompromikan yang ‘am dan yang khash, mutlak dan muqoyyad tanpa adanya perbedaan dan pemaksaaan.
Mustafa Muslim menjelaskan urgensi metode maudhu’i di era modern sebagai berikut;
Pertama, memberikan solusi Qurani terhadap aneka problema masyarakat muslim kontemporer.
Kedua, memberikan pengetahuan kepada masyarakat muslim tentang ayat-ayat Al-Quran dengan tema yang relevan ditengah kondisi zaman yang praktis.
Ketiga, memudahkan seseorang untuk mengkaji tema-tema dalam Al-Quran.
Keempat, menampakkan sisi lain dari kemukjizatan Al-Quran.
Tidak terlewatkan, M. Quraish Shihab, dalam Kaidah Tafsirnya memberikan rambu-rambu dalam praktik mengaplikasikannya, hendaknya para penafsir maudhu’i harus pandai-pandai memilih tema yang akan dikaji, pilihlah yang renewal dan menyentuh, sehingga penafsiran yang dihidangkan benar-benar dirasakan dan memang dibutukan oleh mereka. Wallahu A’lam.