BerandaTokoh TafsirTokoh Tafsir IndonesiaMetode Penafsiran Alquran Kiai Ihsan Jampes

Metode Penafsiran Alquran Kiai Ihsan Jampes

Telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya bahwa Kiai Ihsan Jampes adalah seorang mufasir yang mempunyai karya tafsir berjudul Nūr al-Iḥsān fī Tafsīr al-Qur’ān. Tafsir ini masih berbentuk manuskrip dan sampai sekarang belum diketahui keberadaannya.

Ketidakjelasan tempat di mana tafsir Nūr al-Iḥsān fī Tafsīr al-Qur’ān ini berada, sama sekali tidak meredupkan niat saya untuk menyelisik manhaj atau metodologi penafsiran Alquran Kiai Ihsan. Sebab, sebagai ulama yang mempunyai lebih dari satu karya, tentu akan sangat mudah untuk mendeteksi kerangka penafsirannya melalui karya-karyanya yang lain.

Sirāj al-Ṭālibīn misalnya, sebuah kitab yang ditulis Kiai Ihsan untuk mengomentari Minhāj al-‘Ābidīn karya al-Ghazālī ini di dalamnya terdapat penggalan-penggalan ayat Alquran yang ditafsirkan oleh Kiai Ihsan. Kitab ber-genre sufistik yang telah beredar di seluruh dunia ini akan menjadi bukti bahwa Kiai Ihsan adalah benar-benar seorang mufasir. Melalui Sirāj al-Ṭālibīn inilah saya berupaya menilik manhaj penafsiran Alquran Kiai Ihsan.

Metodologi Penafsiran Alquran Kiai Ihsan Jampes

Menjadikan Sirāj al-Ṭālibīn—kitab tasawuf—sebagai objek kajian tafsir merupakan suatu langkah yang absah secara akademik. Asep Nahrul Musadad mengatakan bahwa penafsiran Alquran tidak harus termaktub dalam kitab-kitab tafsir, melainkan bisa di kitab-kitab nontafsir, seperti kitab tasawuf dan lainnya. Jika di situ terdapat penafsiran ayat Alquran, maka hal itu bisa dijadikan sebagai data dari bagian penelitian tafsir (“Tafsir Sufistik dalam Tradisi Penafsiran Alquran”, Farabi, Vol. 12, No. 1, 2015, 115).

Sebagai upaya awal untuk membedah manhaj penafsiran Alquran Kiai Ihsan, di sini saya menggunakan Sirāj al-Ṭālibīn sebagai data primernya. Mengingat tafsir Nūr al-Iḥsān fī Tafsīr al-Qur’ān juga belum ditemukan hingga sekarang. Oleh karena itu, upaya ini semoga dapat memberikan informasi yang representatif mengenai bangunan penafsiran Alquran Kiai Ihsan.

Baca juga: Kiai Ihsan Jampes dan Tafsirnya

Sepanjang pembacaan saya terhadap kitab Sirāj al-Ṭālibīn dari halaman awal hingga akhir, di sana ditemukan penggalan ayat-ayat Alquran yang kerap kali ditafsirkan oleh Kiai Ihsan. Saya kemudian menganalisis dan menemukan bahwa untuk menafsirkan potongan ayat-ayat Alquran yang dituangkan di dalam kitab Sirāj al-Ṭālibīn, Kiai Ihsan merujuk sejumlah kitab tafsir dan non-tafsir untuk dijadikan sebagai sumber referensi penafsiran.

Ini tampaknya sejalan dengan apa yang dituturkan Kiai Ihsan dalam mukadimahnya bahwa proses penulisan Sirāj al-Ṭālibīn tidak terlepas dari kutipan-kutipan dari karya kitab ulama terdahulu (Sirāj al-Ṭālibīn, I, 3).

Terdapat sembilan belas kitab, baik tafsir maupun nontafsir, yang dijadikan sumber referensi oleh Kiai Ihsan untuk menafsirkan potongan ayat-ayat Alquran yang terdapat pada Minhāj al-‘Ābidīn karya al-Ghazālī. Berikut sembilan belas kitab yang dijadikan sumber penafsiran Kiai Ihsan:

► Kitab-kitab tafsir

  1. Tafsīr al-Jalālayn karya Jalāluddin al-Maḥallī dan Jalāluddin al-Suyūṭī
  2. Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta`wīl karya ‘Abdullah bin ‘Umar al-Bayḍāwī
  3. Lubāb al-Ta`wīl fī Ma’ānī al-Tanzīl karya ‘Alī bin Muḥammad al-Khāzin
  4. Madārik al-Tanzīl wa Ḥaqāiq al-Ta`wīl karya ‘Abdullah al-Nasafī
  5. Tanwīr al-Miqbās karya Abī Ṭāhir bin Ya’qūb al-Fayrūz Ābādī
  6. Sirāj al-Munīr karya Muḥammad bin Aḥmad al-Khaṭīb al-Sharbīnī
  7. Irshād al-‘Aql ilā Mazāyā al-Qur`an al-Karīm karya Abī al-Su’ūd al-‘Īmādī
  8. al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`an karya Muḥammad bin Aḥmad al-Qurṭubī
  9. Mafātīḥ al-Gayb karya Fakhruddin Muḥammad bin ‘Amr al-Tamīmī al-Rāzī
  10. Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl karya Jalāluddin al-Suyūṭī

► Kitab syarah tafsir

  1. al-Futūḥāt al-Ilahiyyah karya Sulaymān bin ‘Amr al-‘Ujaylī
  2. al-Iklīl ‘alā Madārik al-Tanzīl karya Muḥammad ‘Abdul Ḥaq al-Makkī

► Kitab-kitab nontafsir

  1. Iḥyā` ‘Ulūm al-Dīn karya Muḥammad al-Ghazālī
  2. Ittiḥāf al-Sādah karya Sayyid Muḥammad al-Ḥusaynī al-Zabīdī
  3. al-Risālah al-Qusyayriyyah karsa Abū al-Qāsim al-Qusyarī
  4. Mukhtār al-Ṣiḥḥāḥ karya Muḥammad bin Abī Bakr al-Rāzī
  5. Miṣbāḥ al-Munīr karya Aḥmad bin Muḥammad al-Fayyūmī

► Sumber tidak terlacak

  1. Muḥammad Sa’īd Bābaṣīl
  2. al-Ḥaddādī

Baca juga: Menelisik Epistemologi Tafsir Susfistik Abu Hamid al-Ghazali

Sembilan belas sumber referensi penafsiran di atas oleh Kiai Ihsan digunakan sesuai dengan kebutuhannya untuk menafsirkan suatu ayat. Namun, yang paling dominan dirujuk adalah Lubāb al-Ta`wīl fī Ma’ānī al-Tanzīl karya ‘Alī bin Muḥammad al-Khāzin. Pengutipan yang diterapkan Kiai Ihsan bentuknya beragam. Ada yang berbentuk kutipan langsung, ada pula berupa kutipan tidak langsung. Ada yang disebutkan nama kitab atau penulisnya, ada pula yang tidak sama sekali.

Semua kutipan penafsiran yang dilakukan oleh  Kiai Ihsan di dalam kitab Sirāj al-Ṭālibīn bisa saya lacak dengan mudah di sumber aslinya, kecuali dua; Muḥammad Sa’īd Bābaṣīl dan al-Ḥaddādī. Saya belum menemukan judul kitab yang ditulis oleh dua ulama ini, sehingga proses identifikasi menjadi sukar dan terhambat. Namun, kendala ini tampaknya tidak mengakibatkan problem yang serius, sebab sebagian besar penafsiran Kiai Ihsan terhadap penggalan ayat-ayat Alquran yang terdapat pada Minhāj al-‘Ābidīn karya al-Ghazālī adalah hasil pengutipan dari karya-karya kitab ulama terdahulu.

Walhasil, wajah penafsiran Alquran yang dipraktikkan Kiai Ihsan di dalam Sirāj al-Ṭālibīn merupakan gambaran awal bahwa manhaj penafsiran Kiai Ihsan secara riil berkiblat pada hasil penafsiran ulama terdahulu, tanpa sedikit pun mengubah substansinya. Manhaj semacam ini kemungkinan besar juga diaplikasikan dalam karya tafsirnya, Nūr al-Iḥsān fī Tafsīr al-Qur’ān. Apa yang dilakukan Kiai Ihsan ini merupakan suatu langkah serta paradigma yang sahih dalam dunia penafsiran. Sebab, menafsirkan Alquran bukan soal “keren-kerenan” atau agar tampak paling berbeda dari yang lain.

Mufasir Alquran harus menjauhkan diri dari mengikuti hawa nafsu. Sebab, Alquran yang ditafsirkan adalah kalam Allah yang suci. Jika seseorang tidak mampu menafsirkan Alquran dan mengharuskannya untuk mengutip hasil penafsiran yang unggul (tarjīḥ) dari para mufasir terdahulu, maka tidak perlu gengsi. Sebab, hal itu sama sekali tidak menyalahi kode etik penafsiran Alquran.

Sebagai seorang kiai yang allamah (sangat alim), Kiai Ihsan Jampes masih saja mengutip pendapat mufasir terdahulu untuk menafsirkan suatu ayat. Kita yang ilmunya masih pas-pasan sangat tidak laik jika memberanikan diri menafsirkan Alquran secara mandiri tanpa melibatkan sedikit pun pendapat mufasir terdahulu.  Apa yang dilakukan Kiai Ihsan di atas sangatlah pantas untuk kita teladani. Sebab, sangat disayangkan jika warisan ulama salaf saleh kita yang sangatlah kaya itu tidak ada yang mewarisi, apalagi meneruskan dan melestarikannya. Wa Allahu a’lam []

Baca juga: Dua Cara Ulama Menafsirkan Al Quran: dengan Riwayat dan Rasio

Moch Arifin
Moch Arifin
Alumni Pascasarjana UIN Walisongo Semarang dan PP. Nurul Anwar Sarang; penulis buku 10 Tema Fenomenal dalam Ilmu Alquran. Minat kajian pada literatur tafsir Alquran di Nusantara.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...