Apabila di Jawa terdapat tradisi ruwah yakni acara selametan dimana orang-orang akan berziarah kubur, melaksanakan tahlilan, doa bersama untuk para arwah dan diakhiri dengan makan bersama. Di Aceh juga terdapat tradisi serupa yang dilaksanakan setiap sebelum puasa Ramadhan, serta ketika lebaran Idul Fitri dan lebaran Idul Adha. Tradisi tersebut dinamakan makmeugang atau meugang, dimana masyarakat Aceh akan berkumpul dan memakan daging bersama. Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas mengenai tradisi meugang serta bagaimana penafsiran agama terhadap budaya tersebut.
Pengertian Tafsir Agama terhadap Budaya
Budaya dan agama merupakan dua hal yang saling berkaitan, bahkan terdapat agama yang muncul hasil dari suatu kebudayaan. Oleh karena itu, agama terbagi menjadi dua yakni agama hasil dari budaya (ardhi) dan agama samawi. Meskipun agama samawi bukan hasil dari kebudayaan, namun pada akhirnya agama samawi tetap tumbuh, berkembang bahkan ikut membaur dengan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat.
Islam merupakan agama samawi. Namun dalam penyebaran dan perkembangannya di Indonesia, menurut Koentjaraningrat dalam Sejarah Teori Antropologi, Islam memiliki keterkaitan dengan budaya yang terbagi menjadi dua jenis yakni Islam sebagai konsepsi budaya (tradisi besar) dan Islam sebagai realitas budaya (tradisi kecil). Tradisi besar dalam Islam meliputi hukum syariat serta doktrin tentang keimanan, sementara tradisi kecil mencakup unsur-unsur yang terdapat dalam budaya seperti norma serta karya yang dihasilkan masayarakat.
Baca Juga: Bentuk-Bentuk Resepsi Masyarakat Terhadap Fungsi Penyembuhan Al-Qur’an
Islam bukanlah agama yang tercipta dari budaya, meskipun begitu hadirnya Islam membawa kebudayaan baru yang disebut sebagai budaya Islam. Budaya Islam terjadi akibat proses akulturasi maupun asimilasi yang melibatkan tafsir agama terhadap budaya. Pengertian tafsir agama terhadap budaya yakni hasil pemahaman dari ajaran agama baik yang berasal dari al-Quran maupun hadis yang diinterpretasikan dalam perilaku kehidupan sehari-hari atau budaya lainnya, yang dahulu digunakan para ulama untuk menyebarkan agama Islam di Nusantara melalui tafsir dalam budaya.
Sejarah dan Pelaksanaan Tradisi Meugang oleh Masyarakat Aceh
Sejarah tradisi meugang tidak diketahui secara pasti, meski begitu dalam Perayaan Makmeugang dalam Perspektif Hukum Islam karya Iskandar disebutkan bahwa tradisi meugang telah diaksanakan sejak masa kerajaan Aceh Darussalam. Dimana kegiatan tersebut dihadiri oleh para sultan, pembesar kerajaan, menteri, ulama, dan seluruh lapisan masyarakat baik yang berada di perkotaan maupun di pedesaan, serta yang kaya maupun yang miskin. Sementara itu, dalam Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda karya Denys Lombard dijelaskan bahwa dalam tradisi Meugang terdapat kegiatan meletakkan karangan bunga pada makam para sultan.
Tradisi Meugang dilaksanakan pada satu hari sebelum bulan Ramadhan. Adapun pelaksanaannya dibagi menjadi beberapa jenis yakni:
Pertama, meuripee. Dimana masyarakat akan mengumpulkan uang kemudian hasil pengumpulan tersebut digunakan untuk membeli hewan sembelihan, yang nanti dagingnya akan dibagikan kepada orang-orang yang ikut mengumpulkan uang. Model ini dilakukan oleh mereka yang telah berpenghasilan tetap atau mapan. Kedua, mereka yang membeli pada agen yang akan menyembelih di hari meugang. Model ini dilakukan dengan cara sang penyembelih akan berkeliling ke rumah-rumah untuk mencatat orang-orang yang akan mengambil daging, menentukan tempat penyembelihan dan jumlah lembu yang akan disembelih.
Ketiga, mereka yang membeli di pasar pada pedagang daging dua hari sebelum Ramadhan. Biasanya harga daging akan naik 50% mendekati hari meugang, namun masyarakat tetap membelinya demi berlangsungnya tradisi meugang. Keempat, mereka yang lebih memilih untuk menyembelih bebek atau ayam peliharaan sendiri daripada sapi atau lembu. Mereka yang termasuk dalam golongan ini biasanya adalah orang-orang yang kurang mampu.
Setelah mendapatkan daging untuk tradisi meugang, pelaksanaan memasak biasanya dimulai dua hari sebelum bulan puasa. Adapun jenis masakan yang akan dimasak tergantung pada kebiasaan daerahnya masing-masing, misalnya di kabupaten Aceh Besar terkenal dengan masakannya Sie Ruboh dan Asam Keueng. Adapula di kabupaten Bireun, Aceh Utara, dan Lheoksumawe yang akan memasak kari pada hari meugang. Sementara di kabupaten Aceh Barat akan memasak daging menjadi gulai merah.
Selain dilaksanakan guna menyambut bulan Ramadhan, tradisi ini juga berfungsi sebagai acara untuk rekreasi ke laut ataupun ke sungai bersama warga dengan membawa makanan yang telah dimasak. Fungsi lainnya dari tradisi meugang adalah sebagai ajang kumpul keluarga.
Tradisi Meugang dalam Perspektif Tafsir Agama
Tradisi Meugang bukanlah tradisi murni yang berasal dari Islam. Akan tetapi, seperti yang disebutkan dalam Syariat Islam sebagai Living Tradition oleh Kamaruzzaman, tradisi ini lahir disebabkan oleh munculnya agama Islam di Aceh. Terdapat dua penyebab tradisi ini termasuk ke dalam tafsir agama yakni meugang dilaksanakan sebelum bulan puasa, saat Idul Fitri dan Idul Adha serta meugang dijadikan sebagai ajang untuk bersedekah.
Berdasarkan alasan pertama, jelas bahwa tradisi meugang memiliki kaitan erat dengan hari-hari besar dalam Islam, khususnya bulan Ramadhan. Terdapat banyak hadis dan ayat al-Quran yang membahas Ramadhan, salah satunya adalah QS. Yunus ayat 58:
قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Ayat diatas kemudian ditafsirkan menggunakan hadis Nabi, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Durratun Nasihin yakni “Barang siapa yang senang dengan masuknya bulan ramadhan, Allah SWT akan mengharamkan tubuhnya dari api neraka.”
Baca Juga: Ayat Al-Qur’an Disisipkan ke dalam Mantra: Fenomena Unik Masyarakat Banjar
Pemaknaan kata gembira maupun senang yang terdapat pada ayat dan hadis di atas bergantung kepada orang yang merasakannya. Makan daging merupakan salah satu kesenangan bagi orang-orang yang kurang mampu, sebab daging tergolong makanan yang cukup mahal dan belum tentu semua orang dapat membelinya.
Oleh karena itu, tradisi meugang dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur dan senang orang-orang Aceh atas datangnya bulan Ramadhan dengan memakan makanan yang enak yakni daging, serta sebagai ajang untuk berbagi makanan khususnya daging kepada mereka yang mungkin jarang atau hanya memakan daging saat hari meugang saja.
Biasanya acara berbagi makanan dalam tradisi meugang ini dilangsungkan dengan mengundang anak-anak yatim, fakir miskin, para janda, dan orangtua jompo yang berasal dari kampung masing-masing. Daging yang sudah dimasak dihidangkan dengan menu masakan lainnya. Adapun waktu pelaksanaan undangan makan bersama biasanya dilakukan pada waktu makan siang ataupun makan malam.
Kesimpulan
Tradisi makmeugang atau meugang merupakan tradisi yang berasal dari Aceh. Meskipun tidak ada dalil yang secara khusus mengisyaratkan tradisi ini, perlu diketahui bahwa tradisi meugang merupakan tradisi yang muncul berkat pengaruh Islam di wilayah Aceh. Adapun pemaknaan tradisi meugang adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas datangnya bulan Ramadhan serta sebagai ajang untuk berbagi makanan (daging) kepada orang lain.