Dalam Alquran, figur Luqman Al-Hakim dihadirkan bukan sebagai nabi, namun hikmah pendidikannya begitu mulia hingga pesannya diabadikan. Kurikulum pendidikannya adalah manifestasi dari mindful parenting, yakni sebuah pola asuh yang hadir seutuhnya, di mana pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga penanaman karakter melalui komunikasi efektif dan keteladanan.
Hal tersebut sejalan dengan pesan dalam surah an-Nisa ayat 9, yang mengingatkan orang tua agar tidak meninggalkan “generasi yang lemah” (dzurriyyah dhi’afan) yakni, kelemahan, yang menurut Abdul Mustaqim mencakup aspek fisik, intelektual, dan moral-spiritual (Mustaqim, 2019).
Baca Juga: Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf
1. Nasihat Tauhid sebagai Pusat Orientasi Sebagai Fondasi Utama
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia menasihatinya: ‘Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.’” (QS. Luqman: 13).
Nasihat pertama dan utama dari Luqman al-Hakim adalah tauhid. Imam Ibn Ashur menegaskan bahwa ini adalah langkah paling logis, karena perbaikan akidah adalah fondasi bagi perbaikan amal. Sebelum jiwa dihiasi dengan kebaikan (tahliyah), ia harus terlebih dahulu dibersihkan dari kerusakan (takhliyah), dan kerusakan terbesar adalah syirik (Ibnu ’Âsyûr, 21/155–156).
Imam Asy-Sya’rawi menyoroti kelembutan luar biasa dalam panggilan Luqman. Panggilan “Ya Bunayya” (wahai anakku) menggunakan bentuk pengecil (tashghir) yang menunjukkan kasih sayang dan kelembutan, seolah mengatakan, “Meskipun engkau telah besar, engkau tetap anakku tersayang yang membutuhkan nasihat .
Asy-Sya’rawi juga menjelaskan bahwa kata ya’izhuhu (menasihatinya) bermakna “mengingatkan kembali,” bukan mengajari hal baru. Artinya, Luqman sedang menyentuh fitrah tauhid yang sudah ada dalam diri anaknya (Asy-Sya’rawi, 1997, 19/11633).
Syirik disebut sebagai “kezaliman yang besar” karena, sebagaimana dianalisis oleh Ibn Ashur, ia adalah kezaliman yang berlapis-lapis: zalim kepada hak Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah, zalim kepada diri sendiri dengan merendahkan martabat untuk menyembah makhluk, dan zalim kepada hakikat kebenaran itu sendiri (Ibnu ’Âsyûr, 21/155–156).
Di era digital, banyak anak tumbuh dengan “tuhan-tuhan kecil” seperti ketergantungan pada likes, validasi dari followers, atau tren sesaat. Dengan menanamkan nilai-nilai tauhid berarti membebaskan jiwa anak dari perbudakan modern ini.
Baca Juga: Parenting Demokratis ala Nabi Ibrahim dalam Q.S. As-Saffat: 102
2. Salat sebagai Latihan Disiplin dan Ketenangan
“Wahai anakku! Dirikanlah salat, suruhlah kepada yang makruf, cegahlah dari yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu…” (QS. Luqman: 17).
Setelah akidah, Luqman beralih ke pilar amal saleh. Menurut Ibn Ashur, salat didahulukan karena ia adalah tiang penopang segala amal (‘imad al-a’mal), yang berisi pengakuan ketaatan dan permohonan petunjuk (Ibnu ’Âsyûr, 21/164–165). Imam Asy-Sya’rawi menambahkan, salat didahulukan karena ia adalah tiang agama (‘imaduddin) dan satu-satunya rukun Islam yang tidak pernah gugur kewajibannya dalam kondisi apa pun (Asy-Sya’rawi, 11654).
Salat adalah deklarasi kesetiaan kepada Allah yang dilakukan lima kali sehari. Saat azan berkumandang dengan seruan “Allahu Akbar,” itu adalah pengingat bahwa Allah lebih besar dari segala kesibukan, pekerjaan, atau gawai yang ada di hadapan kita.
Setelah salat, nasihat dilanjutkan dengan “amar ma’ruf nahi munkar”. Ini adalah isyarat bahwa kesalehan seorang individu belum sempurna jika ia belum peduli pada perbaikan sosial. Namun, yang menarik adalah urutan setelahnya: perintah untuk bersabar. Ibn Ashur menjelaskan keterkaitan yang erat ini: “Karena amar ma’ruf nahi munkar akan mendatangkan permusuhan atau gangguan dari sebagian orang, maka jika seseorang tidak bersabar, niscaya ia akan meninggalkannya” (Ibnu ’Âsyûr, 21/164–165).
Menariknya, Imam Asy-Sya’rawi menjelaskan mengapa Luqman tidak menyebut zakat di sini: karena anak pada umumnya belum memiliki harta sendiri, dan kewajiban zakat ada pada orang tuanya. Ini menunjukkan betapa bijak dan realistisnya nasihat Luqman (Asy-Sya’rawi, 11660). Ini adalah pelajaran realisme pendidikan dalam mindful parenting ; menanamkan idealisme harus diiringi dengan persiapan mental untuk menghadapi tantangannya.
Baca Juga: Meruwat Anak dalam Islam
3. Menanamkan Empati di Atas Arogansi Sebagai Akhlak Sosial
“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia karena sombong, dan jangan berjalan dengan angkuh di muka bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18).
Dari ranah ibadah, Luqman beralih ke adab sosial. Larangan “memalingkan wajahmu” atau wa la tusha”ir khaddaka, menurut Ibn Ashur, adalah sebuah metafora yang sangat kuat. Kata ini berasal dari sha’ar, sejenis penyakit yang menimpa leher unta sehingga membuatnya miring.
Dengan demikian, larangan ini bukan hanya berarti “jangan berpaling”, tetapi “jangan bertingkah seolah-olah engkau lebih tinggi sehingga memandang rendah orang lain”. Ini adalah larangan terhadap segala bentuk penghinaan dan arogansi (Ibnu ’Âsyûr, 21/164).
Nasihat ini sangat relevan di era media sosial yang secara inheren memupuk budaya pamer (flexing) dan perbandingan. Mindful parenting berarti menanamkan pada anak bahwa nilai mereka tidak ditentukan oleh apa yang mereka miliki atau tampilkan. Mengajarkan empati dan kerendahan hati adalah benteng terkuat melawan arogansi digital yang seringkali lahir dari rasa tidak aman (insecurity).
4. Mengendalikan Lisan dan Perilaku Sebagai Etika Diri
“Dan sederhanalah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sungguh, seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” (QS. Luqman: 19).
Terakhir, Luqman menyentuh etika personal yang paling terlihat: cara berjalan dan berbicara. Menurut Ibn Ashur, perintah “sederhanalah dalam berjalan” (waqshid fi masyika) adalah anjuran untuk mengambil jalan tengah, antara gaya berjalan yang angkuh dan yang dibuat-buat lemah (Ibnu ’Âsyûr, 21/168). Sementara “lunakkanlah suaramu” (waghḍuḍ min shautika) bukan sekadar mengecilkan volume, tetapi mengurangi nada yang keras dan kasar.
Analisis Ibn Ashur tentang “suara keledai” sebagai perumpamaan elok (tasybih baligh) untuk suara yang tidak disukai sangat mengena (Ibnu ’Âsyûr, 21/169). Di dunia digital, “suara keledai” ini bisa bermanifestasi dalam bentuk komentar kebencian, cyberbullying, atau konten provokatif.
Di sinilah relevansi nasihat Abdul Mustaqim tentang pentingnya “mengucapkan perkataan yang baik” (mengacu pada QS. An-Nisa: 9) bertemu dengan nasihat Luqman. Orang tua tidak hanya memberi nasihat (ngomong), tetapi harus menjadi teladan (uswah) dalam berkomunikasi, sehingga anak belajar mengendalikan ekspresi dirinya (Mustaqim, 2019).
Baca Juga: Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak Perspektif Alquran
Penutup
Kurikulum pendidikan Luqman adalah sebuah cetak biru yang utuh. Ia memulai dari akar (tauhid), membangun tiangnya (ibadah dan kesabaran), lalu menyempurnakannya dengan dinding pelindung (akhlak sosial dan kendali diri). Semuanya disampaikan dengan panggilan lembut, “Wahai anakku…”, sebuah penanda dialog yang penuh kasih. Di era gadget, pola ini menjadi relevansi yang mendesak.
Mindful parenting tidak menuntut orang tua untuk sempurna, tetapi mengajak untuk hadir secara utuh, meneladani dalam takwa, dan berkomunikasi dengan hikmah. Karena dalam dunia yang penuh distraksi, warisan terbaik untuk seorang anak bukanlah gawai terbaru, melainkan hubungan yang kuat dengan orang tua yang hadir jiwanya. Wallahu ‘alam.