Syaikh Yusuf al-Qaradhawi (l. 1926) dalam buku Kaifa Nata’amal Ma’a Alquran al-‘Adzim (73) menyatakan bahwa salah satu tujuan Alquran adalah menegaskan kemuliaan dan hak-hak asasi manusia, terutama bagi kaum yang tertindas. Tujuan ini sungguh sangat berkaitan dengan bagaimana Islam berupaya untuk membebaskan perbudakan.
Institusi perbudakan sudah ada sejak sebelum Islam. Turun Alquran dan laku personifikasinya (baca: Nabi Muhammad) adalah untuk memberikan respon apakah suatu institusi, tradisi, dan kebiasaan masyarakat itu benar atau tidak. Dalam kasus perbudakan, Islam memiliki misi pembebasan sebab ia bertentangan dengan kemuliaan dan hak-hak asasi manusia yang diperjuangkan oleh Alquran.
Akan tetapi, upaya pembebasan perbudakan bukanlah hal yang mudah. Dan juga, andai pembebasan perbudakan dilakukan secara radikal tanpa melalui tahapan-tahapan, pembebasan perbudakan justru akan menimbulkan kemadaratan.
Zainal Abidin Qurbani, seorang pemikir Iran, dalam buku Islam dan Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa alasan di balik sikap Islam yang tidak memerdekakan budak secara langsung adalah sebab dua alasan. Pertama, pembebasan budak-budak dari para tuan atau pemiliknya secara langsung akan menimbulkan goncangan pada sistem ekonomi yang telah berjalan stabil. Sebagai gambaran, jika biasanya para pemiliki budak menjalankan usahanya tanpa biaya sebab dibantu oleh para budak, ketika budak langsung dibebaskan semuanya, maka itu akan memakan biaya tambahan sehingga, dalam bahasa ekonomi, akan menimbulkan kenaikan harga-harga barang secara besar-besaran.
Kedua, andai budak-budak langsung dimerdekaan oleh Islam secara langsung melalui perintah-perintah teologis, hal ini bisa menimbulkan lahirnya komunitas eks budak yang bisa saja memiliki dendam kepada para pemiliknya dan kemudian melakukan perlawanan.
Baca Juga: Tiga Kemerdekaan Dasar dalam Al-Quran
Pembebasan Perbudakan secara Bertahap
Atas dasar dua alasan di atas, Islam lebih memilih membebaskan para budak dengan jalan bertahap (gradual). Saya melihat ini dilakukan melalui tiga cara:
- Memperlakukan Budak sebagai Manusia yang Mulia
Cara pertama yang dilakukan oleh Islam adalah memperlakukan budak sebagai manusia yang mulia. Jadi instansi budak masih dipertahankan, namun secara substansi, Islam berusaha menaikan derajatnya. Ini misalnya terejahwantahkan melalui perintah Rasulullah saw. agar para tuan memberi makanan, minuman, dan pakaian sebagaimana para tuan makan, minum, dan berpakaian. Selain itu, para tuan juga dilarang mempekerjakan budak di luar batas kemampuannnya.
Diriwayatkan dalam HR. al-Bukhari No. 30 bahwa Rasulullah memperingatkan Abu Dzar yang mencela seorang lelaki sebab ibunya (yang budak). Beliau bersabda,
إنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ، إخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ، جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أيْدِيكُمْ، فمَن كانَ أخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ، فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ، وَلْيُلْبِسْهُ ممَّا يَلْبَسُ، ولَا تُكَلِّفُوهُمْ ما يَغْلِبُهُمْ، فإنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِيْنُوْهُمْ
“Sungguh, kamu masih memiliki sifat Jahiliyah. Saudara-saudara kalian (kebetulan) adalah budak-budak yang Allah jadikan di bawah kekuasaan kalian. Maka, barang siapa yang saudaranya ada di bawah kekuasaannya, maka berilah saudara tersebut makanan yang dia makan, dan pakaian yang dia pakai. Janganlah kalian memerintahkan mereka sesuatu yang memberatkannya. Jika kalian memerintahkan mereka, maka bantulah mereka”
Hadis ini sangat jelas mengenai bagaimana Rasulullah memanusiakan seorang budak. Dalam keterangan hadis lain, Rasulullah memerintahkan untuk menghormati budak selayaknya manusia mulia dengan tidak lagi memanggilnya dengan sebutan “wahai budakku” tetapi menggantinya dengan panggilan yang lebih beradab seperti “wahai anak laki-lakiku” atau “wahai pemudaku” sebagaimana dijelaskan dalam HR. Muslim 2249,
لَا يَقُولَنَّ أحَدُكُمْ عَبْدِي وأَمَتي كُلُّكُمْ عَبِيْدُ اللهِ، وَكُلُّ نِسائِكُمْ إماءُ اللهِ، ولَكِنْ لِيَقُلْ غُلامِي وَجَارِيَتِي وَفَتَايَ وَفَتَاتِي.
“Janganlah salah satu dari kalian mengatakan ‘wahai budak laki-lakiku’ dan ‘wahai budak perempuanku’. Sesunggunya kalian semua adalah budak-budak laki-laki Allah dan perempuan-perempuan kalian adalah budak-budak perempuan Allah’. Tetapi ucapkanlah ‘wahai anak laki-lakiku’, ‘wahai anak perempuanku, ‘wahai pemuda laki-lakiku’ dan ‘wahai pemuda perempuanku’.”
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Konsekuensi dan Kafarat Zhihar
- Mewajibkan Pembebasan Budak melalui Kafarat
Cara lain dari pembebasan perbudakan secara bertahap adalah dengan menjadikannya sebagai kafarat wajib dari dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia. Menurut Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Qami’ al-Tughyan (10), kafarat dengan jalan memerdekakan budak terdapat dalam empat perbudatan dosa, yaitu membunuh sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Nisa’: 92, ucapan zihar (menyamakan istri dengan punggung ibunya) sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Mujadilah: 3-4, makan di siang hari bulan Ramadan tanpa adanya udzur sebagaimana dijelaskan dalam HR. Bukhari: 6087, dan melanggar sumpah sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Maidah: 89.
Tiga kafarat pertama disebut sebagai kafarat besar (‘udzma). Dalam kafarat besar, memerdekakan budak adalah kafarat pertama dan seseorang tidak boleh beralih ke jenis kafarat lain berupa puasa dua bulan berturut-turut, dan kemudian mememberi makan 60 orang miskin kecuali dalam keadaan budak memang tidak ditemukan.
Sementara untuk kafarat terakhir, memerdekakan budak merupakan kewajiban opsional. Seseorang boleh memilih antara memberi makan atau pakaian pada 10 orang miskin dan memerdekakan budak. Jika tidak menemukan, seseorang beralih ke puasa tiga hari.
- Menjadikan Memerdekakan Budak sebagai Salah Satu Ibadah Sunah
Selain memerdekakan budak dengan jalan wajib melalui kafarat, Islam juga menjadikan pekerjaan memerdekakan budak sebagai ibadah sunah yang pahalanya adalah dibebaskan dari api neraka, sebagaimana sabda Rasulullah dalam HR. Muslim 1509.
مَنْ أعْتَقَ رَقَبَةً، أَعْتَقَ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهَا عُضْوًا مِن أعْضَائِهِ مِنَ النَّارِ، حَتَّى فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ
“Barang siapa memerdekakan budak, maka Allah akan memerdekakan anggota tubuhnya dari api neraka sebab semua anggot tubuh (budak yang dimerdekakan), termasuk farji orang tersebut sebab farji budak yang (dimerdekakan)”.
Misi Alquran dalam memerdekakan budak telah dimulai sejak periode Makkah, periode yang oleh para pemikir Muslim disebut sebagai periode internalisasi nilai universal Islam. Ini misalnya diserukan melalui Q.S. al-Balad: 12-13.
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ . فَكُّ رَقَبَةٍ
“Dan tahukah kamu apa jalan yang mendaki dan sukar itu? Yaitu melepaskan budak.”
Ibnu ‘Asyur dalam tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir (25/358) mengatakan bahwa ayat ini merupakan salah satu dasar-dasar dari hukum Islam, yaitu perhatian Allah terhadap kebebasan manusia.
Baca Juga: Membincang Nazar dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 270
Penutup
Menghapus perbudakan merupakan bentuk upaya untuk mewujudkan tujuan menegaskan kemuliaan dan hak-hak asasi manusia. Alquran ingin menciptakan kesetaraan di antara sesama keturunan Nabi Adam. Tidak ada manusia yang menjadi tuan atau pemilik dari manusia lain. Setiap manusia berdaulat atas dirinya sendiri sebab setiap manusia adalah mulia sebagaimana Alquran tegaskan dalam Q.S. al-Isra: 70 yang artinya “Dan sungguh, aku telah memuliakan keturunan Adam”. Dalam praktiknya, upaya penghapusan perbudakan dilakukan secara bertahap sebagaimana watak hukum Islam pada umumnya agar kemadaratan dapat terhindarkan.