Akibat kecenderungan masyarakat kepada dunia digital, kerap kali masyarakat melihat konten-konten kekerasan yang melibatkan agama di dalamnya. Seperti contoh aksi pengeboman oleh teroris dan sebagainya. Aksi radikal tersebut tak lain mengatasnamakan agama dan politik semata. Peristiwa itu membawa dampak negatif bagi sebagian masyarakat yang dalam dirinya belum tertanam sikap moderat.
Berangkat dari permasalahan di atas, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai upaya preventif yang perlu dilakukan atas tindakan kelompok radikal di media sosial melalui konsep moderasi dalam Islam. Sehingga, dengan penanaman sikap moderasi dalam masyarakat maka, tidak ada lagi masyarakat yang menelan mentah-mentah informasi seputar kelompok ekstrem yang mengatasnamakan agama Islam.
Moderasi atau dalam Islam disebut dengan wasathiyah adalah sebuah kerangka berpikir, bagaimana bersikap dan bagaimana cara menjaga pola keseimbangan terhadap semua aspek kehidupan. Maka menjadi seorang moderat membutuhkan sentuhan keseimbangan dan keadilan dalam menjalankan maknanya.
Konsep Moderasi dalam Berdigital
Maksud moderasi dalam konteks ini adalah membawa pemahaman masyarakat kepada pemahaman yang moderat, tidak mendewakan rasio berpikir bebas tanpa batas dan tidak ekstrim dalam beragama apalagi di era digital seperti saat ini.
Dalam dunia digital, eksistensi manusia mengalami banyak perubahan yang mendasar dari sebuah bentuk tubuh yang bergerak, menjadi tubuh yang diam di tempat dan hanya mampu menyerap informasi melalui gadget atau elektronik. Pada titik inilah terdapat kesempatan bagi kelompok tertentu untuk menyuburkan konflik keagamaan.
Baca Juga: Membaca Ummatan Wasatan Sebagai Pesan Moderasi dalam Al-Quran
Dengan datangnya fenomena tersebut, moderasi beragama perlu diterapkan, dengan adanya moderasi beragama melalui dialog dan saluran kanal digital secara terus menerus, masyarakat muslim akan selamat dari persimpangan keagamaan di ranah digital. Karena moderasi adalah konsep yang tidak membenarkan adanya pemikiran radikalisme dalam agama dan juga tidak mengabaikan kandungan al-Qur’an yang posisinya sebagai dasar hukum utama.
Menurut Yusuf Al-Qardhawi, moderasi (wasathiyah) adalah karakteristik Islam yang tidak dimiliki oleh ideologi lain. Telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 143 berikut:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ … البقرة: 143
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan (umat yang adil, yang tidak berat sebelah, naik ke dunia maupun akhirat, tetapi seimbang antara keduanya) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…. (QS. Al-Baqarah [2]: 143).
Kata أُمَّةً وَسَطًا Menurut Ali al-Shabuni mempunyai arti umat yang adil, yang dimaksud adil di sini adalah seimbang tidak radikal juga tidak liberal.
Ada dua sikap manusia dalam beragama selain moderat yang dikenal dengan istilah ekstrem kanan (tatarruf tashaddudi) dan ekstrem kiri (tatarruf tasahhuli). Ekstrem kanan mempunyai tiga tingkatan, yaitu (a) puritatisme, yaitu ideologi yang berusaha mengembalikan semua aspek kepada sumber ajaran agama yang murni, kelompok ini cenderung menilai bid’ah terhadap ajaran agama yang bercampur dengan budaya, (b) fundamentalisme dan radikal, kelompok ini mudah menilai kafir paham yang berseberangan dengan kelompoknya, (c) terorisme, paham ini menyatakan kafir dan wajib diperangi jikalau seseorang tidak mengambil hukum dari al-Qur’an dan hadis.
Sedangkan ekstrem kiri terdapat paham liberal, yakni paham yang bersifat bebas seperti pembolehan melakukan hal-hal yang dilarang dalam agama berdasar rasionalitas. (Zakki, 2021)
Konteks moderasi beragama sendiri memahami radikal sebagai suatu ideologi yang berusaha melakukan perubahan pada tatanan sosial dan politik dengan menggunakan cara ekstrem (kekerasan) yang mengatasnamakan agama, baik secara fisik maupun pemikiran.
Upaya pencegahan semua itu dengan tindakan deradikalisasi (proses penghilangan sikap radikal), salah satu bentuknya adalah dengan penanaman sikap moderat. Lebih jauh, sikap radikal ini bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia yang cenderung agamis, terpelajar, toleran, dan mampu berkomunikasi dengan keberagaman.
Dalam ayat lain juga menyebutkan konsep moderasi beragama, antara lain:
قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ
Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukanlah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada tuhanmu)” (QS. Al-Qalam [68]: 28).
Ibnu Jarir At-Thabari berpendapat bahwa kata ausathuhum dalam ayat tersebut bermakna “orang yang paling adil dari mereka”. Sama seperti At-Thabari, Al-Qurthubi menafsiri ayat ini sebagai orang yang paling ideal, paling adil, paling berakal dan paling berilmu.
Penanaman Sikap Moderat Sebagai Upaya Preventif Tindakan Radikal dalam Dunia Digital
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa prinsip wasathiyah atau moderasi adalah yang paling adil, terbaik, menengah dan paling berpengetahuan dalam arti Al-Qur’an. Sehingga umat Islam adalah umat yang paling moderat dari umat yang lainnya.
Jika ditautkan ke sistem teknologi digital saat ini, secara tidak langsung umat Islam dituntut untuk lebih berhati-hati ketika memberikan dan mencari informasi seputar keagamaan. Karena pemegang kanal digital sendiri tidak hanya dari umat muslim tetapi banyak juga dari kalangan non-muslim yang minim pengetahuannya tentang Islam.
Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Nilai-Nilai Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam
Dan demi menjaga keharmonisan hidup di era modern yang banyak menggunakan teknologi digital, sikap ideal atau moderat (wasathiyah) sangat baik untuk diaplikasikan, karena penerapan sikap moderasi membawa seseorang untuk lebih fleksibel dalam menyelesaikan konflik dalam dirinya sendiri serta dapat memudahkan dalam berinteraksi dengan komunitas atau kelompok lain yang berbeda.
Salah satu solusi yang tepat dalam menghadapi radikalisasi beragama adalah dengan menanamkan sikap moderat, karena sikap moderasi dalam beragama merupakan bukti stabilitas ketuhanan yang dilandasi kesadaran dalam memahami nas agama. Wallahu A’lam.