Para ulama banyak menaruh perhatian kepada kajian seputar asbabun nuzul. Sebab, menurut Imam al-Suyuthi, salah satu syarat yang mesti dipenuhi terlebih dahulu oleh orang yang akan menafsiri Al-Quran adalah penguasaan atas asbabun nuzul.
Quraish Shihab mendefinisikan asbabun nuzul sebagai perisiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat, baik sebelum maupun sesudah turunnya, di mana kandungan ayat tersebut berkaitan atau dapat dikaitkan dengan peristiwa tersebut (Kaidah Tafsir, hal 205)
Karena karakteristik asbabun nuzul berada di wilayah kesejarahan Al-Quran yang berkaitan erat dengan fakta yang terjadi ketika masa penurunan Al-Quran, maka satu-satunya yang dapat menjadi pegangan dalam mengkajinya adalah riwayat-riwayat yang valid (sahih). Akal dan rasio tidak memiliki andil dalam menentukan domain ini. Ketentuan ini wajar dijumpai seperti dalam ilmu sejarah lainnya, di mana rekam jejak dan data sejarah yang valid merupakan epistem pokok.
Menariknya, Muhammad Abduh –sosok pembaharu Islam dari Mesir- pernah berpolemik karena masalah asbabun nuzul. Ia banyak dikritik ulama kala itu karena menyebut bahwa surah al-Fatihah mendahului turunnya wahyu Iqra’. Ayat 1-5 surah al-‘Alaq menurutnya bukan wahyu yang pertama kali turun. Tentu hal ini berbeda dengan opini umum masyarakat muslim, sehingga tidak heran jika ia menuai banyak kritik tajam dari banyak pihak.
Sebenarnya, klaim al-Fatihah adalah wahyu pertama yang turun bukanlah pernyataan baru. Al-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf menulis bahwa Ibnu Abbas dan Mujahid berpendapat bahwa Iqra’ adalah surah pertama yang turun. Sedangkan menurut mayoritas mufassir, al-Fatihah yang pertama kali turun. (Tafsir Al-Kasysyaf, juz 4 hal 775). Pernyataan al-Zamakhsyari ini nantinya dikoreksi oleh Ibnu Hajar karena disinformasi mengenai fakta sebenarnya. (Al-Itqan, hal 94).
Baca juga: Benarkah Wahyu Pertama Kali Turun Adalah Iqra’? Ini 3 Pendapat Alternatif Lain
Jika memang ini bukan isu yang baru dalam wacana keislaman, lalu mengapa Muhammad Abduh sempat berpolemik dengan banyak ulama ketika itu?
Alasannya dikarenakan pernyataannya itu disertai argumen-argumen rasional untuk mentarjih pendapatnya. Dalam Tafsir al-Manar, Rasyid Rida mengutipkan argumentasi Muhammad Abduh berikut.
Argumen Muhammad Abduh
Sudah menjadi ketetapan Allah di dalam mengadakan sesuatu, baik dalam menciptakan alam semesta maupun menurunkan syariatnya, Ia akan menampakkan bentuk umum-globalnya terlebih dahulu, baru kemudian secara bertahap memerinci detail-detailnya. Berangkat dari premis ini, Muhammad Abduh kemudian menyimpulkan;
“Petunjuk-petunjuk Tuhan (Al-Quran) dalam hal ini tidak berbeda dengan umpama benih dan pohon yang telah tumbuh besar. Pohon pada mulanya merupakan materi hidup berupa benih yang merupakan asal-muasal pohon. Ia pelan-pelan akan terus tumbuh hingga memunculkan ranting pohon setelah kokoh batang pohonnya. Akhirnya ia akan memasakkan buah yang dapat dimakan.” (Tafsir al-Manar, juz 1 hal 33).
Muhammad Abduh sesungguhnya ingin menjelaskan bahwa di dalam Al-Quran terdapat beberapa tema besar yang menjadi misi utama Al-Quran. Tema-tema tersebut mulanya diungkapkan secara umum (mujmal) sebagai dasar pijakan untuk penjelasan yang lebih terperinci (mufasshal). Tema-tema umum Al-Quran berkisar pada monoteisme, janji dan ancaman Allah, penghambaan kepada-Nya, jalan kebahagiaan manusia, dan kisah-kisah hikmah.
Ketujuh ayat al-Fatihah mengajarkan kelima tema utama Al-Quran ini secara umum. Oleh sebab itu, “Maka al-Fatihah layak disebut surah yang turun pertama kali karena selaras dengan ketetapan Allah (sunnatullah) ini dalam mengadakan sesuatu (dari secara umum kemudian terperinci).”
Jika melihat latar belakang Abduh yang memvisikan pembaharuan Islam di zaman modern, tipologi penafsirannya yang berorientasikan nalar akal ini merupakan hal yang wajar untuk sosok sepertinya. Ia menyadari bahwa manusia modern membutuhkan penyegaran wacana keislaman yang selaras dengan akalnya jika tidak ingin agama, khususnya Islam ditinggalkan. (Conflict of Reason and Tradition in Islam, hal 16).
Baca juga: Muhammad Abduh: Mufasir Pelopor Pembaharuan Pemikiran di Dunia Islam
Kritik Rasyid Rida
Reaksi keras sebagai antitesa pemikiran Abduh dari golongan tradisionalis juga merupakan hal yang normal dalam wacana pemikiran.
Rasyid Rida yang merupakan murid Muhammad Abduh juga tidak sependapat dengan gurunya itu. Namun dengan tetap menggunakan bahasa yang sopan dan tetap menghormati Abduh, Rasyid Rida menyampaikan kritiknya itu dengan menulis,
هَذَا مَا قَالَهُ الْأُسْتَاذُ الْإِمَامُ مَبْسُوطًا مُوَضَّحًا، وَيُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ: إِنَّ نُزُولَ أَوَّلِ سُورَةِ الْعَلَقِ قَبْلَ الْفَاتِحَةِ لَا يُنَافِي هَذِهِ الْحِكَمَ الَّتِي بَيَّنَهَا؛ لِأَنَّهُ تَمْهِيدٌ لِلْوَحْيِ الْمُجْمَلِ وَالْمُفَصَّلِ، خَاصٌّ بِحَالِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَإِعْلَامٌ لَهُ بِأَنَّهُ يَكُونُ – وَهُوَ أُمِّيٌّ – قَارِئًا بِعِنَايَةِ اللهِ تَعَالَى وَمُخْرِجًا لِلْأُمِّيِّينَ مِنْ أُمِّيَّتِهِمْ إِلَى الْعِلْمِ بِالْقَلَمِ، أَيِ الْكِتَابَةِ، وَفِي ذَلِكَ اسْتِجَابَةٌ لِدَعْوَةِ إِبْرَاهِيمَ (رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ) (2: 129) فَسَّرَ الْأُسْتَاذُ الْإِمَامُ الْكِتَابَ، بِالْكِتَابَةِ، ثُمَّ كَانَتِ الْفَاتِحَةُ أَوَّلَ سُورَةٍ نَزَلَتْ كَامِلَةً، وَأُمِرَ النَّبِيُّ بِجَعْلِهَا أَوَّلَ الْقُرْآنِ، وَانْعَقَدَ عَلَى ذَلِكَ الْإِجْمَاعُ
“Ini adalah pendapat yang dikatakan al-Ustad al-Imam (Muhammad Abduh) dengan rinci dan jelas. Dan mungkin juga untuk disanggah bahwa penurunan awal surah al-Alaq sebelum al-Fatihah tidak menafikan ketetapan Allah yang telah beliau jelaskan itu. Sebab al-‘Alaq merupakan pengantar pertama untuk wahyu yang umum dan terperinci di samping ia khusus untuk Nabi. Surah al-‘Alaq juga sebagai pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad sekalipun buta huruf, akan dapat membaca dengan pertolongan Allah dan Nabi akan membantu umatnya yang buta huruf menjadi terdidik dengan pena, yaitu tulisan. Dalam hal ini juga terdapat afirmasi atas doa Nabi Ibrahim, “Tuhan kami, utuslah kepada mereka seorang Rasul yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajari mereka al-Kitab, Hikmah, dan menyucikan mereke.” Al-Ustad menafsiri frasa al-Kitab dengan al-Kitabah (tulisan). Maka al-Fatihah lah wahyu pertama yang turun secara lengkap dan Nabi diperintah untuk menjadikannya awal Al-Quran (dalam mushaf) hingga kemudian terjadi ijma’ atas hal ini.” (Tafsir al-Manar, juz 1 hal 32).
Wa Allahu a’lam.
Baca juga: Kritik Muhammad Abduh Terhadap Metode Penafsiran Klasik