Perbedaan pendapat adalah hal biasa di kalangan ulama meskipun terkait dengan kemuliaan nasab atau ras. Beberapa ulama justru menyatakan bahwa tokoh yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim a.s. adalah Nabi Ishaq a.s., bukan Nabi Ismail a.s.
Disebutkan oleh al-Tsa’labi (w. 427 H) dalam kitab beliau, al-Kasyf wa al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an bahwa tokoh-tokoh pendukung pendapat pertama ini di antaranya adalah; dari kalangan sahabat yakni Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, dan al-Abbas bin Abd Muthalib; dari kalangan tabiin dan pengikut mereka yakni Ka’ab al-Ahbar, Sa’id bin Jubair, Qatadah, Ikrimah, Muqatil, al-Zuhri, dan al-Sudi. Kesadaran akan luhurnya identitas dari ras Nabi Ismail tidak menjadikan mereka menegasikan riwayat yang menyebut bahwa Nabi Ishaq as. adalah tokoh terhormat yang dimaksud.
Di sisi lain kalangan yang menyebut Nabi Ismail a.s. sebagai sosok yang dikurbankan adalah Abdullah bin Umar dan Abu Umair Amir bin Watsilah dari kalangan sahabat. Sementara dari kalangan tabi’in dan pengikut mereka adalah Said bin Musayyab, al-Sya’bi, al-Hasan al-Bashri, Yusuf bin Mahran, Mujahid, Rabi’ bin Anas, Ibn Ka’b al-Quradhi, dan al-Kalbi. Satu nama yang juga meriwayatkan akan pendapat ini yakni Ibn al-Abbas.
Baca Juga: Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bag. 1)
Pendapat Berdasarkan Ilmu Bukan Nasab
Dapat dilihat bagaimana Abdullah bin Umar memilih berbeda pendapat dengan ayahanda beliau sendiri yang cenderung pada pendapat pertama. Tidak jauh berbeda dari Abdullah bin Umar, Ibn al-Abbas justru meriwayatkan kepada banyak murid beliau substansi yang bertentangan dengan pendapat yang diyakini oleh al-Abbas bin Abdul Muthalib, ayah beliau.
Bayangkan saja betapa teguhnya beliau berdua memegang pendapat pribadi yang diyakini. Pada zaman keduanya, tentu Umar bin Khattab dan al-Abbas bin Abdul Muthalib merupakan tokoh yang lebih populer dan heroik dibandingkan dua sahabat muda tersebut. Akan tetapi nasab dan ilmu adalah hal yang berbeda satu sama lain.
Abdullah bin Umar dan Ibn al-Abbas dengan berani memosisikan diri berbeda karena ilmu yang mengharuskan mereka demikian. Kalau saja pendapat keduanya tidak berbeda dengan ayah mereka masing-masing tentu diskusi akan ayat yang mubham akan berhenti dan memunculkan konsensus dogmatis. Kesadaran bahwa konteks pembicaraan terkait kurban murni merupakan pendapat keilmuan akan memunculkan toleransi. Jika dikaitkan dengan nasab bisa jadi tidak ada toleransi bagi dua sahabat muda yang berbeda dengan ayah mereka.
Adakalanya masalah keilmuan lebih diutamakan daripada nasab. Berdasarkan ilmu Nabi Ibrahim a.s. berbeda paradigma dengan ayah dan bangsanya. Sementara tanpa didasari ilmu Kan’an putera Nabi Nuh a.s. memilih tenggelam bersama orang-orang yang tidak beriman. Sekali lagi nasab dan ilmu adalah hal yang berbeda satu sama lain. Nasab tanpa ilmu tidak dapat mengantarkan pada kemuliaan pencarian akan hakikat kasih sayang Tuhan.
Begitu pula masalah siapa yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim a.s. bukan semata perihal kemuliaan nasab bangsa Arab. Ibn Mas’ud menyatakan, “aku adalah fulan anak dari fulan anak dari para tetua yang mulia. Adapun dia adalah Yusuf anak dari Ya’qub anak dari Ishak dzabihullah (yang dikurbankan Allah) anak dari Ibrahim khalilullah (kekasih Allah). Pendapat Ibn Mas’ud ini disinyalir dari jalur periwayat yang tsiqah yakni Syu’bah, Abu Ishaq Amr bin Abdullah bin Ubaid al-Sabi’i, Abu al-Ahwash Auf bin Malik bin Nadhlah al-Jusyami.
Pendapat Ibn Mas’ud tersebut jelas mengarah pada juktaposisi antara bangsa Arab dan bangsa Bani Israil. Beliau tidak takut kehilangan kemuliaan jika pun kehormatan sebagai yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim bukanlah Nabi Ismail a.s., moyang dari bangsanya. Tanpa ataupun dengan kehormatan dari leluhur tersebut seseorang akan tetap luhur sesuai dengan amal kebajikan yang dia kerjakan. Justru para ulama dapat menghormati tokoh dari ras atau bangsa lain jika benar tokoh tersebut telah melakukan pengabdian tulus karena Allah swt. semata.
Baca Juga: Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bag. 2)
Toleransi dalam Perkara Furuk
Kita dapat meniru Ibn al-Abbas dan bagaimana sikap toleran beliau dalam hal ini. Riwayat beliau dari jalur Said bin Jubair menyebut bahwa yang dikurbankan adalah Nabi Ishaq a.s. Sementara dari jalur Atha’ bin Rabah dan empat puluh tabi’in lainnya disebutkan bahwa beliau menyatakan yang dikurbankan adalah Nabi Ismail a.s.
Barangkali kita bisa bingung bagaimana bisa seorang tokoh memiliki dua pendapat yang berbeda dalam satu masalah yang sama seperti Ibn al-Abbas di atas. Fenomena ini tentu bukan karena beliau tidak konsisten apalagi bipolar, tentu tidak. Beliau justru secara tidak langsung berperan sebagai penafsir Alquran yang peka terhadap apa yang mubham atau tidak disebut jelas dalam Alquran. Timbulnya perbedaan pendapat di atas dikarenakan Alquran memang tidak menyebut secara jelas siapakah yang dikurbankan, lihat al-Shaffat ayat 102.
Dua pendapat yang berbeda memiliki kemungkinan kebenaran yang sama karena memang tidak disebutkan secara sharih penjelasannya, terlebih kedua Nabi tersebut sama-sama putera Nabi Ibrahim a.s. sehingga memiliki peluang yang sepadan. Oleh karenanya Ibn al-Abbas dalam hal ini dapat dikatakan netral karena isu ini bukanlah hal ushul atau tidak berpengaruh pada keimanan seseorang.
Riwayat Ibn al-Abbas dari jalur Said bin Jubair dapat dipahami sebagai bentuk toleransi akan pendapat penduduk Kufah. Wilayah tersebut menjadi sentral pengajaran dua tokoh besar pendukung pendapat pertama yakni Ali bin Abi Thalib dan Ibn Mas’ud. Sementara pendapat beliau yang kedua disebut oleh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari sebagai riwayat yang lebih populer. Diriwayatkan oleh empat puluh perawi lebih, yang mana mayoritas mereka berada di luar Kufah.
Artinya, Ibn al-Abbas dapat menyesuaikan diri dan toleran terhadap dua pendapat tersebut. Jika tidak ada yang salah dari dua pendapat yang berbeda, mengapa kita menutup diri dari kemungkinan akan kebenaran dari keduanya? Terlebih hal ini berada dalam ranah furu’iyah. Selagi masing-masing pendapat memiliki dalil berdasarkan data dan logika yang dapat diuji validitasnya, bisa jadi kita membutuhkan lebih dari satu kebenaran untuk perbaikan peradaban kemanusiaan. Wallahu a’lam.