Belakangan ini, diskusi tentang gender semakin populer terutama di lingkungan akademik. Kajian ini membedakan secara tegas antara gender dan jenis kelamin (sex) yang semula dipahami serupa. Banyak yang beranggapan bahwa pembedaan dua terma tersebut muncul pertama kali di Barat, namun menurut Nasaruddin Umar, Al-Qur’an telah lebih dahulu melakukannya.
Apa beda antara gender dan jenis kelamin?
Untuk menjawab pertanyaan sederhana di atas, biasanya pemerhati gender merujuk pada kamus-kamus bahasa Inggris, karena kata gender sendiri berasal dari bahasa tersebut.
Awalnya, kata gender dipahami sebagai sinonim dengan kata sex (jenis kelamin), sebagaimana definisinya dalam The Oxford Dictionary of Current English cetakan tahun 1993. Baru pada kamus-kamus bahasa Inggris belakangan, atau di buku-buku sosiologi, dua kata tersebut dibedakan.
The Oxford Dictionary of Difficult Words cetakan 2004 menyatakan bahwa kata gender dan sex sama-sama menunjukkan makna keadaan menjadi laki-laki atau perempuan. Namun demikian, kata sex cenderung merujuk pada perbedaan biologis, sementara gender merujuk pada perbedaan kultural atau sosial.
Berdasarkan definisi kedua, gender dipahami sebagai identitas sosial seseorang yang menentukan dan membedakan apakah ia laki-laki atau perempuan. Identitas ini dibentuk oleh masyarakat atau budaya di mana ia tinggal. Ini berkaitan erat dengan bagaimana hak, kewajiban, dan peran yang dibebankan masyarakat kepadanya.
Misalnya keharusan laki-laki untuk bermental kuat, rasional, tidak boleh menangis, menjadi pemimpin, dan sebagainya. Atau anggapan bahwa perempuan harus bersikap lemah lembut, kuat secara emosional, nikah muda, patuh pada suami, dan mengurusi rumah tangga.
Gender stereotypes di atas sesungguhnya tidak mutlak dan dapat dipertukarkan, bahkan berbeda-beda berdasarkan budaya setempat masing-masing. Berbeda dengan perbedaan jenis kelamin yang bersifat mutlak, karena ia adalah ketetapan Tuhan. Bahwa perempuan dapat haid, mengandung, menyusui, dan memiliki sistem reproduksi yang berbeda dengan laki-laki itu adalah takdir yang tidak bisa dipilih-pilih.
Baca juga: Bagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun: Perspektif Tafsir Feminis
Gender dalam al-Qur’an
Pengakuan akan gender sebagai identitas sosial manusia dalam al-Qur’an dapat dilihat dari penggunaan diksi tertentu untuk menggambarkan laki-laki dan perempuan. al-Qur’an menggunakan kata al-rajul dan al-zakar yang sama-sama bermakna laki-laki misalnya, pada konteks yang berbeda. Begitu pula dengan kata al-nisa dan al-unsa yang sama-sama bermakna perempuan.
Dalam penelitiannya, Nasaruddin Umar menemukan kata al-rajul atau al-rijal (bentuk jamaknya) dan kata al-nisa mengacu pada kualitas moral dan budaya seseorang. Misalnya dalam QS. Al-Baqarah: 282 tentang persaksian laki-laki menggunakan redaksi wa istasyhidu syahidaini min rijalikum, bukan min zukurikum. Tafsir al-Jalalain menafsirkan rijal tersebut dengan laki-laki muslim yang akil baligh dan merdeka, yakni tidak sekadar berjenis kelamin laki-laki, melainkan juga harus memiliki kualifikasi sosial tertentu.
Begitu pula dengan kata al-nisa yang sering digunakan dalam Al-Qur’an untuk merujuk pada perempuan yang sudah berkeluarga. Entah itu sebagai istri (QS. An-Nisa: 24), janda Nabi (QS. Al-Ahzab: 52), mantan istri ayah (QS. An-Nisa: 22), perempuan yang diceraikan (QS. Al-Baqarah: 231-232), atau istri yang di-zihar suaminya (QS. Al-Mujadalah: 2-3).
Kata al-nisa dalam Al-Qur’an, menurut Nasaruddin, tidak pernah digunakan untuk menunjukkan perempuan yang di bawah umur, bahkan seringnya kata tersebut berkaitan dengan tugas-tugas reproduksi mereka.
Ini berbeda misalnya ketika al-Qur’an membicarakan ganjaran kebaikan bagi yang beramal saleh dalam QS. An-Nisa: 124. Di sana dinyatakan dengan redaksi min zakarin wa unsa. Ini berarti kesetaraan ganjaran bagi semua orang yang melakukan kebaikan, baik dia laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang dewasa, awam atau orang terpandang. Tingkatan sosial tidak mempengaruhi diterimanya amal kebaikan seseorang.
Berdasarkan penjelasan di atas, setiap individu yang disebut al-rajul masuk dalam kategori al-zakar, akan tetapi tidak sebaliknya. Dari sini kemudian muncul derivasi lain dari kata al-rajul, yaitu al-rujulah yang berarti kejantanan. Sementara kata al-zakar, selain bermakna jenis kelamin laki-laki, juga bermakna alat kelaminnya.
Kata al-zakar dan al-unsa menunjukkan makna jenis kelamin secara biologis, tanpa ada kaitan dengan aspek kedewasaan atau kematangan seseorang. Menurut Nasaruddin, dua kata ini sepadan dengan kata man dan women, sementara kata al-rijal dan al-nisa sepadan dengan kata male dan female. Ini yang juga dipedomani oleh Abdullah Yusuf Ali dalam terjemah Al-Qur’an bahasa Inggrisnya, The Holy Qur’an.
Baca juga: Argumen Kesetaraan Gender, Referensi Pengantar Tafsir Feminis
Penutup
Sedikit uraian di atas menunjukkan bahwa wacana gender ada dan telah diperkenalkan Al-Qur’an sejak 14 abad silam melalui pemilihan beberapa diksi yang konsisten pada konteks-konteks tertentu. Hanya mereka yang benar-benar mengkaji Al-Qur’an dengan teliti yang mampu memahami perbedaan yang sistematik tersebut.
Nasaruddin juga menambahkan bahwa khitab yang berbasis kepada identitas biologis (sex) lebih mudah dipahami, karena bersifat universal dan tetap. Sebaliknya, khitab yang mengacu pada identitas kultural (gender) memerlukan usaha lebih dalam memahaminya, sebab ia bersifat partikular dan dinamis.
Apa yang didefinisikan sebagai “laki-laki” dan “perempuan” di kalangan bangsa Arab pada masa Nabi tentu bisa sangat berbeda dengan “laki-laki” dan “perempuan” bagi orang non-Arab masa sekarang misalnya. Oleh karena itu, tugas mufassir-lah kemudian yang menerjemahkan kata al-rajul dan al-nisa dan semisalnya tersebut pada masyarakat kontemporer. Wallahu a’lam.
Baca juga: Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender