BerandaKisah Al QuranNasib Tragis Perempuan di Masa Arab Jahiliah

Nasib Tragis Perempuan di Masa Arab Jahiliah

Sebelum kedatangan Islam, berlaku sebuah fakta sosial yang menempatkan perempuan dalam posisi yang rendah. Kedudukannya sebagai sesama manusia yang merupakan bagian dari makhluk Tuhan, tidak dipandang setara. Ketimpangan ini sudah terlihat sejak kelahiran mereka ke alam dunia ini, sebagaimana dalam Q.S. Annaḥl [16]:57-59.

وَيَجْعَلُوْنَ لِلّٰهِ الْبَنٰتِ سُبْحٰنَهٗۙ وَلَهُمْ مَّا يَشْتَهُوْنَ

وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌۚ

يَتَوٰرٰى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْۤءِ مَا بُشِّرَ بِهٖۗ اَيُمْسِكُهٗ عَلٰى هُوْنٍ اَمْ يَدُسُّهٗ فِى التُّرَابِۗ  اَلَا سَاۤءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

  1. “Mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan; Mahasuci Dia, sedangkan untuk mereka sendiri apa yang mereka sukai (anak-anak laki-laki).”
  2. “(Padahal) apabila salah seorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah (sedih dan malu).”
  3. “Dia bersembunyi dari orang banyak karena kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah, alangkah buruk (putusan) yang mereka tetapkan itu!”

Baca juga: Hikmah Dibalik Ayat-Ayat Waris dan Derajat Perempuan di Masa Jahiliah

Dalam Tafsîr al-Kasysyâf (hlm. 575), disebutkan bahwa bani Khuzâ’ah dan Kinânah mengatakan bahwa Allah Swt. memiliki anak perempuan. Anggapan bahwa Allah Swt. memiliki anak perempuan bertentangan dengan fakta sosial yang berlaku pada saat itu. Di jazirah Arabia pada masa pra Islam, perempuan dipandang sebagai makhluk hina. Kalimat subhânah pada Q.S. Annaḥl [16]:57 menjawab tuduhan mereka sekaligus menyucikan Allah Swt. dari anggapan buruk tersebut.

Secara sosio-historis, ketidaksukaan terhadap anak perempuan sudah menjadi kebiasaan pada saat itu bagi orang-orang Quraisy khususnya, dan secara umum bagi orang-orang Arab. Sebaliknya, mereka akan bersukacita ketika mendapat berita kelahiran anak laki-laki. Di saat yang sama, mereka malah menganggap Allah Swt. memiliki anak perempuan, padahal mereka sendiri membenci dan tidak menyukai anak perempuan (Tafsîr al-Munîr, jilid 7, hlm. 471). Kebiasaan buruk tersebut juga diabadikan dalam Q.S. Annajm [53]: 21-22, Q.S. Asshaffât [37]: 151-154, dan QS. Atthûr [52]: 39.

Baca juga: Alasan Pentingnya Perspektif Kesetaraan Gender dalam Tafsir

Syekh Mutawallî al-Sya’rawî menyebutkan salah satu alasan dibalik kebencian orang-orang Arab yang mengakar kuat terhadap anak perempuan pada masa itu adalah pandangan yang sangat pragmatis terhadap manusia. Anak laki-laki merupakan simbol kehormatan bagi ayahnya, keberadaannya dapat dimanfaatkan untuk berperang dan menghasilkan keturunan. Sementara itu, anak perempuan nasibnya bergantung orang tuanya, sehingga ia dianggap sebagai aib dan beban bagi orang tuanya. (Tafsîr al-Sya’rawî, hlm. 8013).

Kabar kelahiran anak perempuan yang seharusnya disambut dengan gembira malah menjadi momok yang menakutkan. Wajah orang tua yang bersangkutan menjadi merah padam dan dia sangat marah karena menanggung malu dan kesedihan. Akibatnya, nasib anak perempuan pada saat itu tidak seberuntung anak laki-laki. Hak hidup mereka akan ditentukan oleh orang tuanya, apakah dipelihara hingga besar dengan konsekuensi menanggung kehinaan, atau menguburnya hidup-hidup.

Baca juga: Bagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun: Perspektif Tafsir Feminis

Apa yang terjadi lalu diyakini oleh orang-orang Arab pada masa Jahiliah kemudian menjadi fakta sosial yang mempengaruhi cara berpikir masyarakat pada saat itu dan membentuk aturan, adat-istiadat, dan norma-norma yang berlaku. Perempuan di masa itu harus menanggung akibat buruk dari keyakinan yang tidak berdasar tersebut. Kemuliaan seseorang di masa itu yang hanya diukur dari keterlibatan fisik akibatnya melahirkan ketidakadilan, baik secara gender bahkan hak dasarnya sebagai manusia, yaitu hak hidup! Kejadian tersebut berlangsung sekian lama hingga Islam memutus mata rantai tradisi tersebut melalui pengutusan Rasulullah saw. Wallâhu a’lam.

Rijal Ali
Rijal Ali
Mahasiswa UIN Antasari, minat kajian Isu-isu keislaman kontemporer,
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...