Penulis tentunya telah tergesa-gesa ketika dalam tulisan berjudul Perbedaan Fungsi Mushaf dan Tafsir dalam Internal Umat Islam dahulu menyebutkan “Umat Islam tidak pernah melakukan pengkajian makna Al-Qur’an secara langsung dari mushaf, melainkan ber-wasilah dengan kitab-kitab tafsir karangan para ulama.”
Namun demikian, penulis juga tidak sepenuhnya keliru dengan kesimpulan yang ada. Mengingat bahwa kebanyakan umat Muslim memang tidak menggunakan mushaf Al-Qur’an sebagai media kajian makna, melainkan cukup sebagai media bacaan. Sehingga redaksi yang barangkali lebih tepat digunakan adalah, “Kebanyakan umat Islam tidak melakukan pengkajian makna Al-Qur’an secara langsung dari mushaf.”
Karena praktik tersebut bersifat jumhuriyyah atau mayoritas, tentu saja meniscayakan pengecualian-pengecualian tertentu, meski bersifat minor. Sebuah kaidah menyebutkan, kull syai’ lahu mustatsnayat, segala sesuatu pasti ada pengecualiannya. Jika demikian, maka dalam tulisan kali ini penulis akan ulas beberapa temuan berkaitan dengan penggunaan mushaf sebagai media pengkajian makna.
Baca juga: Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dalam Diskursus Rasm Mushaf Indonesia
Mushaf Makna Antarbaris
Berdasarkan penelusuran terhadap naskah-naskah mushaf kuno di Indonesia, penulis mendapati beberapa mushaf yang ditemukan di dalamnya pemaknaan ayat di antara baris-barisnya (interlinear translation). Tepatnya, penulis dapati dalam Mushaf Kuno Nusantara edisi Pulau Jawa terbitan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2019.
Beberapa mushaf tersebut adalah dua mushaf koleksi Perpusnas berkode A.51a-e dan A.54a-e; dua mushaf koleksi Museum Geusan Ulun Sumedang, Jawa Barat; dan satu mushaf koleksi Museum Cagar Budaya Candi Cangkuang Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Secara umum, ada setidaknya dua model besar pemaknaan mushaf Al-Qur’an yang penulis temukan. Pertama, pemaknaan model terjemahan sebagaimana lazim dijumpai pada mushaf terjemahan modern masa kini. Dan kedua, pemaknaan literal, yakni kata per kata, dengan model gandhul. Yang kesemuanya ditampilkan dalam gaya interlinear translation atau makna antarbaris.
Dari lima mushaf yang penulis temukan, dua mushaf koleksi Perpusnas masuk dalam kategori pertama, di mana makna antar barisnya berupa terjemahan. Sementara sisanya masuk dalam kategori kedua dengan makna gandhul.
Keberadaan mushaf-mushaf bermakna ini cukup memberikan banyak informasi yang menarik terkait dengan penggunaan makna antar baris. Di antaranya dalam hal kategori terjemahan. Bahasa yang digunakan cukup bervariatif, seperti bahasa Melayu sebagaimana dalam mushaf A.51a-e dan bahasa Jawa sebagaimana dalam mushaf A.54a-e.
Apabila mengamati cara penyajiannya, terutama dalam makna berbahasa Jawa, agaknya makna-makna tersebut ditulis di waktu yang bersamaan dengan teks ayat Al-Qur’an-nya. Artinya, mushaf ini memang sedari awal difungsikan sebagai Al-Qur’an terjemahan seperti kebanyakan mushaf modern saat ini. Hal ini dapat dilihat dari jarak antar teks ayatnya yang telah disesuaikan dengan makna yang ada.
Baca juga: Mushaf Al-Quran Pojok Menara Kudus sebagai Simbol Lokalitas
Mushaf Makna ala Pesantren
Hal menarik lain yang dapat dijumpai adalah penggunaan kertas daluang dalam dua mushaf yang menggunakan makna gandhul. Ini kemungkinan mengindikasikan bahwa pemilik mushaf berasal dari kalangan pesantren, mengingat distribusi kertas daluang lazim terjadi di kalangan pesantren, bukan pada lingkungan keraton. Hal ini menjadi sangat menarik karena dalam tradisi pesantren, pengkajian Al-Qur’an umumnya dilakukan menggunakan kitab tafsir, bukan melalui mushaf secara langsung.
Dua mushaf makna gandhul ini adalah mushaf koleksi Museum Geusan Ulun dengan kode MPGUS/-, tanpa nomor inventarisasi (Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara, jilid 5A, Jawa Barat) dan mushaf koleksi Museum Cagar Budaya Candi Cangkuang.
Selain menunjukkan pengguna mushaf yang berasal dari lingkungan pesantren, keberadaan makna gandhul ini juga dapat digunakan sebagai media mengetahui usia naskah, atau paling tidak waktu di saat teks tersebut dituliskan. Terlebih jika melihat kertas yang digunakan adalah daluang, yang tidak dimungkinkan melakukan identifikasi usia melalui fisiknya kecuali menggunakan uji radiokarbon.
Metode ini, menggunakan makna gandhul untuk mengetahui usia naskah atau teks naskah, sebagaimana penulis ketahui dari keterangan Nur Ahmad, penulis buku Filologi Naskah-Naskah Islam Nusantara. Mas Nur, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa ada pergeseran tertentu dalam penggunaan bahasa Jawa pegon. Hal ini memungkinkan peneliti untuk mengetahui usia naskah melihat dari bahasa yang digunakan. Mas Nur juga menambahkan, fenomena serupa akan jadi lebih menarik jika pemaknaannya menggunakan aksara Jawa atau hanacaraka.
‘Ala kulli hal, penggunaan mushaf Al-Qur’an sebagai media pengkajian makna secara langsung memang sebuah anomali dalam tradisi Al-Qur’an di Indonesia. Anomali ini, sebagaimana disebutkan Zahra Kazani, menyimpan aspek-aspek tertentu berkaitan dengan konteks sosial dan kultural peredaran naskah-naskah kuno. Di sisi lain, anomali ini juga menunjukkan keunikan dan kekhasan tersendiri manakala dilihat dari konteks modern hari ini. Wallahu a‘lam bi al-shawab.
Baca juga: Ilmu Rasm dalam Filologi Mushaf Al-Quran Kuno dan Upaya Kritik Teks