BerandaKhazanah Al-QuranMushaf Al-QuranNaskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah

Naskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah

Tahun lalu, penulis bergabung dengan proyek digitalisasi naskah-naskah keislaman kuno yang tersimpan di museum Masjid Agung Demak (MAD) dan Museum Perkembangan Islam Jawa Tengah, Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Bersama Pak Anasom, peneliti senior bidang naskah kuno dan Walisongo dari UIN Walisongo, proyek tersebut berhasil mendigitalisasi 50 naskah lebih dari berbagai genre yang berbeda.

Di antara naskah-naskah tersebut, ada dua naskah tafsir Jalalain yang menjadi koleksi masing-masing museum. Naskah koleksi MAD telah penulis berikan sedikit ulasannya pada Temuan Tafsir Jalalain Tertua di Museum Masjid Agung Demak. Kali ini giliran naskah koleksi MAJT. Ulasan ini penulis berikan mengacu hasil digitalisasi yang ada berikut dengan catatan yang ditulis Pak Anasom.

Deskripsi Bundel Naskah Jalalain

Naskah Jalalain MAJT ini bisa dikatakan sebagai sebuah bundel naskah dikarenakan isinya yang tidak hanya mencakup teks Jalalain saja. Pembacaan yang penulis lakukan mendapati keberadaan teks lain di dalamnya. Di antaranya adalah teks Fath al-Mu‘in bi Syarh Qurrah ‘Ain bi Muhimmah al-Din karya Ahmad bin ‘Abd al-‘Azin bin Zain al-Din al-Malibariy (938-1028 H.), tepatnya pada bagian Mukadimah dan Bab Sunat (Al-Khitan).

Baca juga: Tafsir Jalalain dan Sederet Fakta Penting Tentangnya

Selain itu, penulis juga mendapati kutipan catatan yang merujuk pada teks kitab Ma‘alim al-Tanzil atau Tafsir Baghawiy karya Abu Muhammad al-Husain bin Mahmud al-Baghawiy (436-510 H.) pada penafsiran surah An-Nisa’ [4] ayat 43 serta teks kitab Fath al-Wahab bi Syarh Manhaj al-Thullab karya Syaikh Zakariyya al-Anshariy (824-926 H.) pada bab hadas (Bab al-Ahdats). Kutipan catatan tersebut mengacu pada pola penulisan yang digunakan keduanya yang cukup berbeda dengan penulisan teks induknya, yakni Jalalain dan Fath al-Mu‘in.

Yang menarik adalah bahwa dalam bundel naskah Jalalain tersebut juga ditemukan catatan-catatan lain seperti perhitungan kalender abajadun, konversi perhitungan hijrah Nabi saw. terhadap tahun ha’ dan tahun dal, perhitungan panatamangsa Jawa lengkap dengan ilustrasi dan keterangannya, dan catatan lain menggunakan aksara hanacaraka.

Ilustrasi pada catatan panatamangsa.

Temuan catatan ini menguatkan tesis yang diberikan oleh Prof. Oman Fathurahman bahwa dalam kajian naskah kuno, peneliti harus memahami perbedaan naskah dan teks serta melakukan pembedaan terhadap keduanya. Hal ini karena besarnya kemungkinan adanya dua teks atau lebih dalam satu bundel naskah mengingat keterbatasan media tulis di masa lalu.

Baca juga: Alasan Tafsir Jalalain Jadi Tafsir Favorit di Pesantren

Secara keseluruhan, bundel naskah ini terdiri dari 168 halaman menggunakan kertas berbahan daluwang. Pada peralihan setiap teks atau catatan terdapat satu atau dua halaman kosong. Tinta yang digunakan adalah hitam dan merah. Tidak ditemukan penomoran halaman atau kata alihan (catchword) dan iluminasi.

Penulis tidak menjumpai adanya catatan kolofon yang memberikan penjelasan tentang penulis atau waktu kepenulisan. Namun demikian, berdasar catatan Pak Anasom, ada kemungkinan bahwa naskah tersebut berasal dari abad ke-19. Penulis sendiri agaknya setuju dengan dugaan Pak Anasom melihat catatan konversi tahun hijrah Nabi saw. sebelumnya menunjuk pada angka 1230-1270 hijriah. Bahkan ada satu angka tahun yang menunjuk pada 1865 yang diduga sebagai tahun masehi.

Deskripsi Teks Jalalain

Teks tafsir Jalalain dimulai dari surah Al-Kahfi [18] sampai dengan surah Al-Ikhlas [114]. Tinta yang digunakan adalah hitam dan merah. Tinta hitam digunakan untuk menuliskan tafsir dan tinta merah digunakan untuk Alquran-nya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, tidak ditemukan nomor halaman, kata alihan, dan iluminasi.

Tidak juga ditemukan pembatas antara tafsir satu surah dengan yang lainnya. Namun, satu hal yang cukup menarik adalah bahwa teks Jalalain tersebut ditulis dengan mempertimbangkan fungsi Alquran sebagai teks yang bisa dibaca secara individual. Hal ini berdasar pada keberadaan tanda maqra’ (huruf ‘ain) dan penanda juz di setiap hizb-nya. Satu hal yang jarang ditemukan pada teks Jalalain saat ini jika memang tidak disiapkan untuk dualitas fungsi, fungsi tafsir dan fungsi Alquran.

Baca juga: Hizb Mushaf Alquran, Apakah Sama dengan Hizb Wirid? Begini Penjelasannya!

Hasil pembacaan sementara penulis menyimpulkan bahwa teks Jalalain tersebut dimiliki oleh santri yang mahir berbahasa Arab. Kesimpulan ini didasarkan pada catatan yang diberikan pada kolom antarbarisnya banyak yang menggunakan bahasa Arab murni sehingga lebih terkesan mirip dengan ta‘liq atau mini syarah, alih-alih makna antarbaris. Meskipun demikian, penulis juga mendapati pemaknaan dengan sistem aksara Jawi atau pegon-gandhul (interlinear translation) di beberapa kata.

Sayangnya, hasil digitalisasi naskah Jalalain ini belum dapat pembaca sekalian nikmati karena masih dalam tahap penyusunan dan penyuntingan. Semoga saja bisa segera dan mari kita tunggu bersama-sama. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU