Barangkali umat Islam telah mengerti tentang kisah perjalanan malam Nabi Muhammad saw. ke Baitul Maqdis dan ke sidrat muntaha. Apalagi kalau bukan Isra Mikraj. Malam Isra Mikraj ini jika dipahami secara semiotik, mungkin akan sedikit berbeda dengan yang biasa didengar dari para dai.
سُبْحانَ الَّذِي أَسْرى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بارَكْنا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آياتِنا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha yang diberkahi sekitarnya untuk kami perlihatkan sebagian ayat-ayat kami, sesungguhnya Dia Maha Mendengar Maha Melihat.
Baca Juga: Peringatan Isra-Mikraj: Refleksi Sufistik Kualitas Salat Kita
Perbedaan pandangan mufasir
Surah al-Isra’ ayat 1 menjadi salah satu ayat dalam Alquran yang menimbulkan perdebatan di kalangan ulama hingga dewasa ini. Perdebatan tersebut berkisar pada pertanyaan apakah Nabi Muhammad saw diperjalankan dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha secara lahir ataukah secara batin.
Mayoritas mufasir berpendapat bahwa perjalanan beliau melibatkan fisik secara keseluruhan, tidak hanya ruh. Sementara pendapat lain yang menyebut perjalanan beliau secara ruh atau mimpi dalam Tafsir al-Tabari dari riwayat Hudzaifah dikuatkan oleh pernyataan Aisyah dan Muawiyah.
Imam al-Razi berpendapat mengenai surah al-Isra’ ayat 1 ini bahwa secara akal dimungkinkan perjalanan Nabi Muhammad saw. secara lahir berdasarkan ayat 40 surah al-Naml yang menyebutkan perihal seorang di zaman Nabi Sulaiman yang mampu menghadirkan singgasana Bilqis dalam sekejap mata. Beliau juga menguatkan pendapat ini dengan berbagai penjelasan aqliyah, seperti pergerakan angin dan tata surya yang menjadi contoh bahwa pergerakan fisik yang demikian cepat dimungkinkan terjadi. Oleh karenanya Isra Mikraj tidak dapat dikatakan sebagai hal yang tidak logis.
Al-Razi juga mengungkapkan pendapat perihal diksi bi abdihi yang menjadi menjadi isyarat bahwa perjalanan beliau bukan hanya ruh melainkan juga fisik. Ta’birnya adalah ayat 10 surah al-Alaq dan ayat 19 surah Jin di mana pada dua surah tersebut diksi abd digunakan untuk menggambarkan kombinasi fisik dan ruh.
Demikian pula al-Qurtubi yang menyebut bahwa riwayat tentang ingkarnya suku Quraisy terhadap perjalanan Nabi Muhammad saw menuju Masjid al-Aqsha menandakan bahwa peristiwa tersebut terjadi secara fisik. Jika sekedar mimpi atau ruh maka menurut al-Qurtubi tidak mungkin sampai terjadi pengingkaran hingga demikian keras dari suku Quraisy.
Pendapat dari Aisyah menurut al-Qurtubi berdasarkan pada ayat
وَما جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْناكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ
Dan tidak kami jadikan ru’ya yang kami perlihatkan padamu kecuali sebagai ujian bagi manusia.
Kata ru’ya dimaknai dengan mimpi (dalam tidur) oleh Aisyah. Sebaliknya menurut al-Qurtubi dalam tidur seorang tidak mungkin disebut asra, sementara ru’yat al-ain (melihat dengan kasat mata) menurutnya juga bisa disebut dengan ru’ya. Jadi kata ru’ya dalam ayat ini tidak dapat disebut mimpi karena terdapat kata asra di dalamnya yang menegasikan kemungkinan tersebut. Di samping tidak sepakat dengan pendapat Aisyah, Al-Qurtubi juga mengasikan pendapat dari Muawiyah yang disebutnya masih belum Muslim pada saat isra’ Nabi Muhammad saw.
Seperti halnya al-Razi dan Al-Qurtubi, Ibn Katsir juga memaknai ayat satu surah al-Isra’ ini dengan perhatian pada riwayat perjalanan Nabi Muhammad saw. Ibn Katsir bahkan secara detail mengutip riwayat dari al-Bukhari yang menceritakan perjalanan Nabi Muhammad saw. dari langit pertama hingga sidrat al-muntaha dengan berbagai kejadian pada setiapnya yang telah masyhur dan tidak dapat kami tuliskan di sini.
Baca Juga: Apa Hanya Ruh Nabi Saw yang Melakukan Isra Mikraj? Ini Penjelasan Ulama
Narasi indah keseluruhan kandungan surah
Terlepas dari perdebatan terkait bagaimana cara Nabi Muhammad saw. diperjalankan menuju Masjid al-Aqsha, ayat pertama surah al-Isra’ ini menjadi pembuka narasi keseluruhan surah dengan indah jika dimaknai secara semiotik. Diksi dan narasi perjalanan Nabi dalam ayat ini dapat menjadi simbol yang terkait dengan rangakian ayat yang ada dalam surah al-Isra.
Kata lail atau malam disebut sebanyak lima kali dalam surah ini, sekali pada ayat 1, yaitu malam Isra Mikraj; dua kali pada ayat 12; sekali pada ayat 78; dan sekali pada ayat 79.
Pada ayat 12 kata ini digunakan untuk menerangkan tentang pertanda dari Allah SWT dalam bentuk siang dan malam. Ketika malam dihilangkan dan siang dijadikan pertanda untuk dapat melihat sehingga kita dapat mencari anugerah Allah dan mengetahui tahun dan segenap perhitungannya. Ayat 12 ini ditutup dengan kalimat “dan setiap hal kami terangkan seterang-terangnya”.
Ayat 12 ini terkait erat dengan ayat 13 yang menyebutkan bahwa setiap manusia dikalungkan kepada mereka setiap amalnya dan pada hari kiamat akan dibukakan dan akan dikeluarkan baginya kitab yang terbuka. Kaitan ayat 12 dan 13 akan terlihat jika kita baca ayat 22 surah Qaf yang menyebutkan bahwa setiap orang yang berada dalam kelalaian akan hari kiamat akan disingkapkan penutup matanya maka penglihatannya pada hari itu menjadi sangat tajam.
Malam menjadi simbol perjalanan manusia di dunia untuk kemudian kelak pada hari akhir jelas baginya segenap kasih dan cahaya yang diberikan Allah kepadanya. Hal ini dipertegas dengan tujuan perjalanan dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha adalah li nuriyahu min ayatina untuk diperlihatkan kepada hamba tersebut berbagai pertanda dari Allah SWT melalui ciptaan dan kuasa-Nya.
Kembali pada ayat 1 para mufasir sepakat bahwa Masjid al-Aqsha dalam ayat tersebut merupakan Bait al-Maqdis. Penyebutan al-Aqsha dalam ayat ini membuka pintu pemaknaan alegoris bahwa hamba tersebut tetap diperintahkan bersujud meski ia dalam posisi aqsha atau terjauh. Telah jamak kita ketahui bahwa perintah salat turun pada saat Rasulullah saw diperjalankan. Telah jamak pula kita ketahui bahwa secara eksistensial dalam wujud ruh kita pernah bersujud kepada-Nya sebelum berani menghadapi ujian yakni turun di dunia.
Al-Razi menyebut penggunaan bentuk nakirah dari kata lail pada ayat 1 menunjukkan bahwa peristiwa tersebut hanya terjadi pada sebagian waktu di malam hari, bukan sepanjang malam. Singkatnya waktu perjalanan dan begitu banyak ayat yang didapatkan oleh Rasulullah saw identik dengan sabda beliau ketika menyifati dunia dalam riwayat yang masyhur dari Abdullah bin Umar yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibn Majah, dan al-Tirmidzi.
Baca Juga: Makna Dibalik Panggilan Hamba di Cerita Isra Nabi Muhammad dalam Alquran
Suatu ketika beliau mendapati Nabi Muhammad saw. yang sedang tidur beralaskan pelepah kurma yang menjadikan bekas pada wajah beliau. Para sahabat pun meminta izin untuk menyediakan kasur tidur dan beliau bersabda;
مَالِي وَلِلدُّنْيَا مَا أَنَا وَالدُّنْيَا إِنَّمَا أَنَا وَالدُّنْيَا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرْكَهَا
Bukan untukku bukan untuk dunia, bukanlah aku dan dunia, aku dan dunia hanyalah seperti penunggang yang berteduh di bawah pohon untuk beristirahat dan kemudian meninggalkannya.
Dari surah al-Isra’ ayat 1 secara semiotik dapat dimaknai bahwa di dunia yang cukup singkat seperti halnya malam, kita menyusuri hidup untuk menjemput cahaya Allah yang terang laksana siang. Di akhirat kelak kita akan mengetahui hakikat waktu yang ternyata hanya sekejap saja laksana malam Isra Mikraj. Dalil bahwa kita hidup di dunia hanya sehari disebutkan dalam Alquran surah al-Mu’minun ayat 112 sampai 114.
قالَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِي الْأَرْضِ عَدَدَ سِنِينَ (112) قالُوا لَبِثْنا يَوْماً أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ فَسْئَلِ الْعادِّينَ (113(قالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَاّ قَلِيلاً لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (114)
Dia berkata berapa tahun lamanya kalian tinggal di bumi? Mereka menjawab kami tinggal sehari atau setengah hari, maka tanyakan pada para penghitung. Dia berkata tidaklah kalian tinggal kecuali hanya sebentar sekiranya diri kalian mengetahui.
Wallahu a’lam