Pada tulisan sebelumnya Mengenal Sosok Muhammad Irsyad, Mufasir Modernis Asal Madura telah dibahas seputar perjalanan kehidupan seorang Irsyad sebagai figur mufasir yang beraliran modernis. Kali ini, saya akan melanjutkannya dengan menghadirkan pemikiran Irsyad tentang sejauh mana ‘kedekatan’ hubungan antara Al-Quran dan sains. Pemikiran integrasi Al-Quran dan sains dari mufasir Madura tersebut paling tidak dapat dilihat dari tiga konsep yang menjadi kunci, sebagaimana yang akan diulas berikut ini.
Al-Quran Sumber Ilmu Pengetahuan (sains)
Irsyad tergolong pemikir yang memandang Al-Quran tidak saja sebagai kitab suci yang mengetengahkan ajaran-ajaran keagamaan berkonotasi teologis-ritualistik. Lebih dari itu, secara filosofis, Al-Quran juga menyinggung masalah-masalah seputar ilmu pengetahuan (sains). Dalam kata pengantar tafsirnya, ia mengatakan, “Sekiranya patut, karena saya dan anda sekalian sudah lama haus ilmu pengetahuan yang diridhai Allah. Zaman sekarang yang masyhur dengan sebutan zaman modern, seperti apapun kemajuan zaman, namun harus diingat bahwa sumber segala hal seperti ilmu pengetahuan, hukum-hukum dan yang lainnya di dunia ini, petunjuk yang baik dan benar sudah ada di dalam Al-Quran.”
Irsyad percaya bahwa fenomena alam semesta yang mengelilingi kehidupan manusia bukan sekadar kebetulan, dan tidak pula datang tiba-tiba dari ruang antah-berantah. Untuk memahami fenomena dan gejala yang beraturan di semesta ini, manusia telah memiliki bekal penting yaitu akal pikiran. Hanya manusia satu-satunya ciptaan Tuhan yang dianugerahi ‘daya’ berupa akal pikiran, dan inilah yang membedakan antara dirinya dengan makhluk-makhluk lain.
Tidak cukup itu saja, Al-Quran sendiri bahkan telah memberikan rangsangan dan dorongan kepada manusia untuk menyelidiki apa saja yang terjadi di jagad raya ini. Beberapa redaksi ayat Al-Quran seperti afalā ta‘qilūn, afalā ta‘lamūn, afalā tatafakkarūn, dan lainnya sudah lebih dari cukup memberikan gambaran betapa Al-Quran memerintahkan untuk terus menerus menimba, merenungi dan mempelajari semesta alam dengan cara berpikir, membaca, mengamati, dan merenung.
Al-Quran sebagai Basis Pengembangan Sains
Konsepsi integrasi Al-Quran dan sains yang hendak dibangun oleh Irsyad adalah mensinergikan antara Al-Quran sebagai dimensi wahyu yang ‘terbaca’ dan sains sebagai dimensi wahyu yang ‘terlihat’. Kedua ayat (bukti kekuasaan) Tuhan ini memiliki keterkaitan kuat. Al-Quran dan sains tidak dapat dipertentangkan kerena keduanya tidak bersimpang di jalan yang berlawanan. Justru Al-Quran dan sains dapat berjalan beriringan dan menguatkan satu sama lain.
Bagi Irsyad, sejatinya Al-Quran tidak mungkin melawan arus perkembangan sains jika ia dipahami dengan baik. Begitu juga sebaliknya, sains tidak mungkin menentang Al-Quran andai kerangka kerja yang digunakan benar. Karena kedudukannya sebagai sumber ilmu pengetahuan ini, maka suatu keniscayaan jika kemudian Al-Quran mengambil peran sentral dalam setiap aktivitas sains.
Di sini Irsyad mencoba memberikan suatu pemahaman bahwa Al-Quran sebisa mungkin menjadi dasar dan fondasi di mana sains seharusnya diproduksi dan dijalankan dalam kehidupan manusia. Baginya, manusia tak kan mampu memiliki pengetahuan jika tidak mendapatkan ‘hidayah’ dari wahyu Tuhan. Karena itu, manusia tak boleh asal ‘ngarang’ pengetahuan tanpa berdasar pada wahyu Al-Quran.
Sepertinya Irsyad mencoba menawarkan sebuah paradigma agar premis-premis dasar ilmu pengetahuan (sains) diambil langsung dari Al-Quran. Irsyad menekankan untuk membangun peradaban sains dengan memasukkan pandangan dan spirit Al-Quran sebagai dasarnya. Dengan begitu, Al-Quran diposisikan sebagai basis bagi bangunan dan kerangka ‘kerja’ sains.
Paling tidak, Al-Quran dapat menjadi grand theory bagi pengembangan sains. Maka, kurang elegan jika Al-Quran hanya dipandang sebagai sumber nilai (etika) dan hukum-hukum (syariat). Seharusnya, Al-Quran juga dipahami secara spesifik sebagai petunjuk bagi para saintis (ilmuwan) dalam memperoleh ide dan membangun konstruk ilmu pengetahuan (sains).
Tolak Ukur Kebenaran Sains
Semodern apapun sebuah perkembangan zaman, tutur Irsyad, harus tetap diingat bahwa sumber segala hal seperti ilmu pengetahuan, hukum-hukum dan hal-hal lain di dunia ini, petunjuk yang benar sejatinya sudah ada di dalam Al-Quran. Sekalipun Al-Quran memiliki tingkat kebenaran mutlak, tidak kemudian berarti umat Islam sebagai pembacanya harus berhenti pada teks suci semata. Al-Quran sebagai pedoman umat Islam telah membicarakan fenomena-fenomena alam kendati berdasar garis-garis besarnya saja. Semua isyarat universal itu tentu tidak akan bisa dipahami jika hanya mengandalkan teks semata.
Dalam ranah kerja sains, Irsyad menempatkan Al-Quran sebagai barometer temuan atau teori sains apakah layak diterima atau tidak. Ukuran kebenaran sebuah teori sains (ilmu pengetahuan) ditimbang dari sejauh mana kesesuaiannya dengan Al-Quran. Jika seumpama terdapat teori sains ternyata berbeda dengan Al-Quran, maka bisa dipastikan bahwa teori tersebut harus diperbaiki dan ditelaah ulang untuk sampai pada titik akhir kesesuaiannya dengan Al-Quran, bukan sebaliknya.
Dari sini bisa dipahami, bahwa Irsyad mendudukkan Al-Quran sebagai penentu (barometer) kebenaran sains. Karena hubungan antara sains dan kebenaran Al-Quran bersifat pasti, maka hubungan sebaliknya juga berlaku. Ayat Al-Quran akan memperlihatkan dan juga memberi informasi tentang teori sains dalam kadar tertentu sebagaimana mestinya. Sebab, secara inheren, kebenaran sains telah terkandung dalam Al-Quran.
Pandangan semacam ini dapat dicermati ketika Irsyad mengkritik teori Darwin. Menurutnya, pandangan Darwin tentang manusia telah mencederai pandangan Al-Quran yang menempatkan manusia sebagai mahkota ciptaan dan wakil Tuhan di muka bumi; bukan sebagai anak keturunan kera besar, di mana manusia dan kera berbagi nenek moyang yang sama. Dengan begitu, teori evolusi Darwin tentang asal-muasal manusia harus ditolak karena tidak sesuai dengan petunjuk Al-Quran.
Menjadikan Al-Quran sebagai tolak ukur kebenaran sains juga dilakukan Irsyad ketika ia membenarkan teori Big Bang tentang proses awal terciptanya Bumi. Karena teori Big Bang senafas dan sesuai dengan QS. Al Anbiya’ [21]: 30, Irsyad pun tak ragu mempersilahkan umat Islam untuk mengambil teori ini. Dengan catatan, harus tetap diyakini bahwa semua itu terjadi berkat iradah (kehendak) Allah Swt. dan hukum alam (sunnatullāh) yang telah ditetapkan-Nya bagi semesta. Wallahu a’lam []