Pemikiran Roberto Tottoli Tentang Perkembangan Istilah Asbabun Nuzul

Pemikiran Roberto Tottoli Tentang Dinamika Perkembangan Istilah Asbabun Nuzul
Roberto Tottoli

Asbabun nuzul, salah satu dari sekian banyak tema dalam Qur’anic Studies yang sudah banyak dibahas, didiskusikan, dan dibukukan menjadi sebuah karya. Berawal dari karya monumental al-Wahidi (w. 468), kajian ini tetaplah menarik untuk diulik, ditelaah, bahkan didiskusikan kembali, baik sebagai pengulangan untuk menampilkan memori lama yang terekam, ataupun menambahi dan mengkiritiknya dengan menawarkan aspek kebaruan dari tema ini.

Dari sekian banyak pembahasaan asbabun nuzul, ada satu sisi yang jarang diperhatikan oleh para pemerhatinya, yaitu mengenai awal kemuculan istilah asbabun nuzul tersebut. Maka, di sini, penulis hendak memaparkan analisis para sarjanawan terkait bagaimana istilah asbabun nuzul ini lahir dan dikenal oleh kita hingga saat ini.

Adalah Roberto Tottoli, seorang Professor di University of Naples L’Orientale, yang kemudian memberikan ulasan tentang asal muasal istilah tersebut muncul dalam artikelnya yang berjudul Asbabun Nuzul as a Technical Term: Its Emergence and Applications in the Islamic Sources. Tulisannya merupakan salah satu dari esai-esai yang lain dalam buku berjudul Islamic Studies Today. Tujuan dari artikel Tottoli ini tidak lain hanya untuk menyelidiki kapankah ekspresi asbab/sabab nuzul tersebut muncul dan bagaimana para ulama memahaminya.

Meski ulasan Tottoli tergolong ringkas, namun ia menyajikan gambaran yang cukup komprehensif dengan karakter yang bisa dikatakan semi-diakronik. Terlepas dalam artikelnya ia banyak mengulang kembali apa yang pernah diulas oleh Andrew Rippin (w. 2016), karena memang, esainya dan esai-esai lain yang terdapat dalam buku yang dieditori oleh Majid Danesghar and Walid A. Saleh tersebut dipersembahkan untuk Rippin. Ini terlihat dari bunyi anak judul dari buku tersebut, Essays in Honor of Andrew Rippin.

Awal Mula Munculnya Frasa Sabab/Asbab al-Nuzul

Secara terang-terangan Tottoli mengatakan bahwa salah satu studi yang secara komprehensif mengulas tentang asal mula kemunculan dan pengertian asbabun nuzul adalah proyek yang dilakukan oleh Andrew Rippin yang menelusuri bagaimana ekspresi asbabun nuzul pada masa Islam awal dan bagaimana kemudian ekspresi ini berkembang belakangan sebagai sebuah genre sastra eksegesis. Salah satunya adalah disertasi Rippin tahun 1981 berjudul The Qur’anic Asbab al-Nuzul Material: An Analysis of Its Use and Development in Exegesis.

Dalam penyelidikannya, Rippin memulai dengan mengecek dalam literatur-literatur Islam awal untuk melakukan sebuah pembuktian terkait istilah sabab/asbab berserta formulanya. Menurutnya, tokoh-tokoh Islam awal seperti Muqatil bin Sulaiman (w. 150), Muhammad bin Ishaq (w. 150), Waqidi (w. 207), atau pengarang karya Shahih, seperti Bukhari (w. 256) dan Muslim (w. 261), tidak menggunakan istilah ini.

Sementara pada abad kedua-ketiga hijriyah, istilah ini belum menemukan teknis dan formula yang tegas. Maka tidak heran jika dalam karya-karya ulama pada abad ini frasa yang digunakan berbeda-beda dan jarang sekali ditemukan.

Barulah pada abad keeempat-kelima hijriyah, istilah sabab/asbab al-nuzul muncul dan secara konsisten digunakan, terutama semenjak hadirnya karya al-Wahidi. Menariknya, karya itu muncul dengan istilah asbabun nuzul, terinspirasi oleh upaya penafsiran yang dilakukan oleh para mufassir dengan redaksi seperti “sababu nuzuliha, dll”. Sebagaimana uraian di bawah ini yang mengulas penerapan istilah tersebut.

Baca juga: Memahami Definisi dan Pertanyaan-Pertanyaan Lain Soal Asbabun Nuzul

Pemahaman Teknis Istilah Sabab/Asbab al-Nuzul

Menurut Tottoli, istilah sabab/asbab al-nuzul yang dimaknai sebagai sebuah “peristiwa yang melatari turunnya ayat” terinspirasi oleh Ibnu Qutaybah (w. 276 H), di mana dalam semua karyanya hanya satu yang menggunakan diksi sabab, yaitu sabab nuzuliha. Ini bisa dilihat ketika ia hendak menjelaskan tentang proses turunnya suatu ayat; yang terkadang bisa bersifat umum (‘ammah) atau dikarenakan suatu peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat (sabab nuzuliha) (Ibnu Qutaybah, Ta’wil Musykil al-Qur’an, 1981: 162).

Istilah ini kemudian dilanjutkan oleh al-Thabari dengan redaksi yang sedikit lebih panjang. Misalnya ia mengatakan, “Ikhtalafa ahl-ta’wil fi al-sabab alladzi min ajlihi nazalat hadzihi al-ayah” (Para penafsir berbeda pendapat tentang penyebab/kejadian yang mana karenanya ayat ini diturunkan) (al-Thabari, Jami’ al-Bayan, 2000: 10/566;574).

Atas dasar itu, menurut Tottoli, istilah sabab/asbab al-nuzul dipahami sebagai sebuah “peristiwa yang melatari turunnya ayat”. Meski formulanya belum mapan dan redaksi yang digunakan oleh para ulama kemudian sedikit beragam, namun secara teknis awal, sabab/asbab al-nuzul yang dipahami demikian memicu pemahaman yang lebih bisa disepakati pada era selanjutnya.

Redaksi yang lebih pendek kemudian berlanjut, seperti Thahawi (w. 321H) dengan kalimat favoritnya, “al-sabab alladzi kana fihi nuzul qawlih/hadzihi al-ayah”, yang banyak ia gunakan dalam karya-karyanya. Al-Qumi (w. 329) yang paling signifikan menggunakan istilah sababun nuzul untuk merujuk kepada otoritas awal. Al-Maturidi (w. 333H) menyadarkan istilah sabab dengan merujuk kepada wahyu, dan frasa sababun nuzul-nya diikuti dengan indikasi ayat (al-ayah/hadzhi al-ayah). Hal yang serupa juga ditemukan dalam karya al-Nahhas (w. 338), meski ia jarang menggunakannya. Dan al-Jassas (w. 370) dengan istilah yang sama, namun lebih teratur. Karena ia menggunakan redaksi tersebut dengan menghubungkannya dengan ayat-ayat al-Qur’an.

Baca juga: Asbabun Nuzul dalam Perbincangan Inteletual Muslim yang Tak Pernah Usai

Kemapanan Istilah Asbabun Nuzul: Teknis dan Penerapan

Puncaknya pada abad ke lima. Istilah ini kemudian diterima dalam wacana penafsiran. Kontribusi yang diberikan oleh al-Wahidi dalam hal ini tidak bisa dipungkiri. Sebab setelah karya al-Wahidi muncul, pengunaan asbab/sabab nuzul menjadi lebih jelas perannya karena dihubungkan untuk menerangkan peristiwa yang melatari turunnya wahyu.

Menurut Tottoli, kemapanan istilah dan penggunaan asbab/sabab al-nuzul bisa dikatakan baru terjadi pada abad kelima dan setelahnya. Agak rancu kiranya jika ada yang merujuk kepada era abad sebelum kemapanan. Seperti yang dilakukan oleh Abu al-Layth al-Samarqandi ketika menafsirakan QS. Ali Imran [3]: 18, ia merujuk kepada Muqathil bin Sulayman dengan diksi berikut, “Qaala Muqaatil sabab al-nuzul hadzihi al-ayah…”. Padahal menurutnya, Muqatil sama sekali tidak menggunakan istilah sabab nuzul tersebut.

Terlepas dari itu, persoalan asbabun nuzul adalah persoalan yang selalu diperdebatkan di kalangan ulama. Karena itu, mereka kerap menggunakan diksi “ikhtalafuu/yakhtalifuuna/iktalafuu fi asbab al-nuzul,..dll” untuk menerangkan perdebatan tersebut. Terlebih, asbabun nuzul sejatinya memang adalah persoalan riwayat yang ditransmisikan. Namun, pada masa-masa setelahnya, asbabun nuzul menjadi bagian dari aktivitas eksegesis, bahkan menjadi sebuah genre sastra tersendiri di era modern-kontemporer.

Walhasil, istilah asbabun nuzul tidaklah hadir dengan sendirinya. Ia adalah bagian dari kontruksi Intelektual muslim di masa klasik yang perkembangannya tidak banyak diketahui dan ditelusuri oleh para sarjanawan muslim dewasa ini. Oleh karena itu, artikel Tottoli, menurut penulis, selain mengapresiasi upaya yang sudah dilakukan oleh Andrew Rippin yang mengulas secara komprehensif terkait asbabun nuzul dalam warna yang berbeda, ia juga seakan ‘menyindir’ akademisi tafsir al-Qur’an wa ‘ulumuhu yang kurang greget untuk mendalami kitab-kitab turats dengan riset yang serius.

Dan penulis sendiri, meski belum membaca karya Rippin –tentang asbabun nuzul– tersebut secara lansung, namun turut mengapresiasi risetnya, dan berterima kasih pula kepada Tottoli yang sudah memperkenalkan salah satu gagasan Rippin ini, serta menghentakkan semangat akademisi muda untuk segera bangkit dari zona nyamannya. Wallahu a’lam.

Baca juga: Sababun Nuzul Mikro dan Makro: Pengertian dan Aplikasinya