BerandaTafsir Al QuranPemikiran Tafsir Asghar Ali Engineer Tentang Perempuan dalam Al-Qur'an

Pemikiran Tafsir Asghar Ali Engineer Tentang Perempuan dalam Al-Qur’an

Asghar Ali Engineer merupakan seorang pemikir, teolog, dan feminis yang berasal dari India. Engineer merupakan gelar insinyur yang melekat dan menjadi sebutan di belakang namanya serta memberikan kesan historis. Asghar Ali, lahir di Rajashtan, India pada tanggal 10 Maret 1939. Melalui ayahnya, Asghar Ali belajar tentang ilmu-ilmu keislaman seperti teologi, tafsir hadis serta fiqhi. Perjalanan pendidikannya diawali dari pendidikan formal tingkat dasar hingga universitas. Asghar Ali mendapat gelar dalam bidang tekhnik sipil di negara kelahirannya dan banyak berpartisipasi dalam berbagai gerakan perempuan.

Barangkali pemikiran Asghar Ali sedikit banyak terpengaruh dari latar sejarah kelahirannya yang dilahirkan pada waktu yang bersamaan dengan kondisi sosio-politik yang tidak menentu.

Asghar Ali hidup di tengah kemelut pergolakan etnis, konflik agama, pertikaian politik dan kesenjangan ekonomi di India. Dengan kondisi yang seperti itu bukan tidak mungkin memberikan atmosfir dalam perkembangan pemikirannya kemudian. Termasuk ketika membicarakan tentang perempuan.

Ada hal yang menarik dari pendapat Asghar yang juga senada dengan Amina Wadud dan Riffat Hassan, bahwa dalam pandangan mereka, laki-laki dan perempuan setara di mata Allah, hanya mufassirlah –yang hampir semuanya laki-laki- yang memberikan penafsiran terhadap Al-Qur’an yang kadang kurang tepat.

Baca juga: Tafsir Sufistik Ibn Ajibah: Kesucian Jiwa dalam Surah An-Nur Ayat 21-22

Al-Qur’an Memuliakan Perempuan Setara dengan Laki-laki

Asghar Ali mengatakan bahwa Al-Qur’an memuliakan perempuan setara dengan laki-laki, namun semangat itu ditundukkan oleh patriarki yang telah mendarah daging dalam kehidupan bermasyarakat. Kedudukan perempuan yang digambarkan dalam Al-Qur’an merupakan peningkatan nyata dari keadaan di Arab pra-Islam yang berlangsung sebelumnya. Hal tersebut menjadi salah satu sebab adanya penafsiran terhadap Al-Qur’an yang terkesan terlalu patriarki.

Berikut ini, menurut Asghar Ali tiga hal penting yang sangat disoroti ketika memahami Al-Qur’an dalam hubungannya dengan persoalan perempuan:

Pertama, Al-Qur’an mempunyai dua aspek, normatif dan kontekstual. Aspek normatif merujuk kepada sistem nilai dan prinsip-prinsip dalam Al-Qur’an, persamaan, kesetaraan dan keadilan. Bersifat internal dan dapat diaplikasikan dalam berbagai ruang dan waktu. Aspek kontekstual berkaitan dengan ayat-ayat yang turun untuk merespon problem sosial tertentu pada masa itu. Seiring waktu ayat ini dapat diabrogasi. Adapun aspek normatif dekat dengan kesucian dan aspek konstektual lebih dekat kepada manusia. Dilihat dari aspek normatif terlihat betapa Al-Qur’an menegakkan prinsip persamaan derajat. Namun, dilihat dari aspek kontekstual terdapat ruang Al-Qur’an mendudukkan laki-laki satu tingkat di atas perempuan.

Kedua, penafsiran al-Qur’an sangatlah tergantung pada persepsi, pandangan dunia, pengalaman dan latar belakang sosio-kultural sang penafsir. Penafsiran selalu tergantung pada posisi apriori seseorang. Sehingga penafsiran murni menjadi tidak mungkin karena terpengaruh oleh latar belakang sosio-historis yang berbeda.

Ketiga, Makna ayat-ayat Al-Qur’an terbentang dalam waktu. Sehingga penafsiran klasik dengan kontemporer sangatlah berbeda. Karena Al-Qur’an seringkali memakai bahasa metafora yang memiliki makna ambigu. Ambiguitas dimaksudkan untuk membuka peluang yang lebih fleksibel dalam melakukan perubahan yang kreatif dan konstruktif.

Baca juga: Prinsip Tafsir Husein Muhammad dalam Ayat Relasi Laki-laki dan Perempuan (2)

Pendapat ini menunjukkan elaborasinya tentang pembedaan antara ayat-ayat normatif dan konstektual sangatlah penting. Melalui pembedaan tersebut dapat dimengerti dan dapat dibedakan antara nilai-nilai fundamental yang menjadi spirit dasar Al-Qur’an dan nilai-nilai konstektual yang terikat oleh ruang dan waktu sehingga tidak berlaku universal.

Penafsiran Asghar Ali Terhadap Tafsir Surat An-Nisa Ayat 34

 Contoh pemahaman Asghar Ali dalam QS. An-Nisa (4): 34

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan (istri), oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Menurut Asghar Ali, QS. an-Nisa (4): 34, tidak boleh dilepaskan dari konteks sosial pada waktu diturunkannya. Menurutnya kesadaran sosial pada zaman Nabi Muhammad Saw tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Dalam pandangan Asghar Ali keunggulan laki-laki terhadap perempuan bukan lagi keunggulan jenis kelamin, tetapi keunggulan fungsional, karena laki-laki (suami) mencari nafkah dan membelanjakan hartanya untuk perempuan (istri). Ketika Al-Qur’an menyebutkan keunggulan laki-laki di atas perempuan, menurut Asghar Ali disebabkan oleh dua hal.

Pertama, kesadaran perempuan pada masa itu masih rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajibannya. Kedua, laki-laki menganggap dirinya sendiri lebih unggul disebabkan kekuasaan dan kemampuannya mencari nafkah.

Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 34: Mengakui Keberadaan Perempuan Sebagai Kepala Keluarga

Ketika kesadaran sosial kaum perempuan sudah tumbuh bahwa peran domestik yang dilakukan perempuan harus dinilai dan diberi ganjaran sesuai dengan yang diajarkan Al-Qur’an, bukan semata-mata kewajiban yang harus dilakukan.

Maka perlindungan dan nafkah yang diberikan laki-laki kepada perempuan bukan lagi dianggap sebagai keunggulan laki-laki. Untuk itu peran domestik perempuan, diimbangi oleh laki-laki dengan pemberian nafkah dan perlindungan kepada istrinya. Dengan jalan pemikiran demikian Asghar Ali mengatakan bahwa pernyataan ar-rijālu qawwāmūna ‘ala an-nisā’ bukanlah pernyataan normatif, akan tetapi pernyataan kontekstual. wallahu a’lam []

Misbah Hudri
Misbah Hudri
Alumni Studi Qur'an & Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Peminat kajian Tafsir Al-Qur'an di Nusantara, Al-Qur'an & Sosial Budaya, Tafsir Feminis.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU