BerandaTafsir TematikPenafsiran Ulama tentang Siapa Anak Nabi Ibrahim yang Dikurbankan

Penafsiran Ulama tentang Siapa Anak Nabi Ibrahim yang Dikurbankan

Tulisan ini bertujuan untuk memperlihatkan kompleksitas penentuan sosok anak Nabi Ibrahim yang dikurbankan dalam kitab-kitab tafsir. Mengingat, dalam realitasnya, masyarakat cenderung hanya mengetahui Ismail sebagai sosok yang disembelih. Hal ini didasari atas pengalaman pribadi penulis yang di mana dalam suatu forum bertanya kepada para mahasiswa terkait siapa anak Nabi Ibrahim yang dikurbankan? Dan semua mahasiswa sontak menjawab “Ismail”, tanpa mengetahui ada pandangan yang menyebutkan bahwa Ishaq yang disembelih. Padahal di dalam dunia tafsir terdapat kontestasi mulai dari masa sahabat hingga saat ini atas isu tersebut sehingga menggambarkan kompleksitas dalam kitab-kitab tafsir.

Kompleksitas penafsiran dalam menentukan siapa anak Nabi Ibrahim yang dikurbankan, tidak terlepas dari ambiguitas bahasa Alquran yang hanya menyebutkan secara general—kata “gulam” (anak lelaki) dan “bunayya” (anak lelaki kesayanganku)—dalam Q.S. Al-Saffat [37]: 101-102. Di samping itu, dikatakan kompleks dikarenakan kedua kelompok ulama (kelompok “pro-Ishaq” dan “pro-Ismail”) sama-sama memiliki dalil yang kuat, baik yang disandarkan kepada dalil naqli maupun dalil aqli.

Baca juga: Kisah Ibu para Nabi dalam Alquran (1): Perjuangan Siti Hajar, Ibu Nabi Ismail

Bahkan diskusi lebih lanjut atas isu ini, memunculkan klaim bahwa tokoh tafsir abad pertengahan yang berpandangan bahwa Ismail yang disembelih didasari atas politik identitas Arab. Namun, di sini penulis hanya akan memetakan argumen ulama pro-Ismail dan pro-Ishaq secara umum. Penting dicatat bahwa satu-satunya ayat yang membahas tentang kisah perintah penyembelihan anak Nabi Ibrahim ialah Q.S. As-Saffat [37]: 99-112. Sebelum menguraikan argumen-argumen kedua kelompok di atas, penulis akan menyebutkan para sahabat yang pro-Ishaq dan pro-Ismail di dalam tafsir karya al-Biqa’I, Nazm al-Durar.

Sahabat yang menyebutkan bahwa Ishaq yang disembelih adalah Umar, ‘Ali, al-‘Abbas, Ibn Mas’ud, Abu Musa, Abu Hurairah, dan Anas bin Malik.  Adapun yang pro-Isma’il, yaitu Ibn ‘Umar, Ibn ‘Abbas, Ikrimah, Ata’, Mujahid, al-Sya‘bi, Abu al-Jauza’, dan Yusuf bin Mahran. Di samping itu, dalam tafsir al-Tabari, Jami’ al-Bayan, disebutkan setidaknya 24 riwayat yang menyebutkan Ismail sebagai sosok yang disembelih oleh Ibrahim dan 17 riwayat yang berpandangan bahwa Ishaq. Perbedaan pandangan ini tidak saja terjadi pada sahabat saja, tetapi berlanjut pada ulama-ulama setelahnya di dalam kitab Tafsir.

Argumen Anak yang Disembelih Adalah Ismail

Secara garis besar, terdapat setidaknya tiga argumen yang mendasari ulama-ulama pro-Ismail. Pertama, mereka memahami kata halim sebagai sifat yang amat sabar dan sifat itu hanya dimiliki oleh Ismail sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. al-Anbiya’ [21]: 85, sedangkan Ishaq hanya disebutkan sebagai sosok ‘alim sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Hijr [15]: 53.

Dengan demikian, argumen di atas mengindikasikan bahwa anak Ibrahim yang dimaksud dalam Q.S. As-Saffat yang secara eksplisit menyandarkan sifat halim kepada anak Ibrahim adalah Ismail. Terlebih lagi ayat-ayat setelahnya, yaitu Q.S. As-Saffat [37]: 112 memberikan basysyar (kabar gembira) kepada Ibrahim atas kelahiran Ishaq, sehingga tidak mungkin Ishaq yang dimaksud dalam ayat 101.

Argumen di atas tentu mendapat counter narrative dari ulama pro-Ishaq dengan menyebutkan bahwa kabar gembira yang terdapat dalam ayat 112 hanya berita tentang diangkatnya Ishaq sebagai nabi Allah, setelah kesabaran dan kepasrahannya atas peristiwa penyembelihan yang dialaminya dan bukan kabar gembira tentang kelahiran Ishaq.

Baca juga: Ketakwaan dan Ketulusan sebagai Esensi Kurban

Di samping itu, mereka juga berpandangan bahwa Ishaq yang disembelih berdasarkan konsepsi Alquran tentang basysyar yang disebutkan dalam berbagai ayat yang menceritakan penyampaian kabar gembira dari Allah kepada Ibrahim dan Sarah melalui perantara malaikat merupakan kabar gembira tentang kelahiran Ishaq, sebagaimana dapat dilihat dalam Q.S. Hud [11]: 71. Berdasarkan konsepsi tersebut, dapat dipahami bahwa jikalau terdapat ayat yang menceritakan tentang basysyar akan kelahiran anak Ibrahim yang namanya tidak disebutkan secara eksplisit, bahkan hanya menyebutkan sifat dari anak itu, maka ia mengacu kepada Ishaq. Dengan demikian, sosok yang dijelaskan dalam Q.S.As-Saffat [37]: 101 adalah Ishaq dan bukan Ismail.

Kedua, Allah telah berjanji dalam ayat lain (Q.S. Hud [11]: 71) bahwa akan lahir seorang anak yang berasal dari keturunan Ishaq, yaitu Ya’qub, sehingga tidak mungkin dalam surah As-Saffat ini yang akan disembelih adalah Ishaq, karena Allah tidak mungkin mengingkari janjinya tentang kelahiran Ya’qub. Hal ini dikuatkan dengan pemaknaan kata al-sa’ya dalam Q.S. As-Saffat [37]: 102 yang diartikan sudah mampu berjalan bersama Ibrahim yang mengindikasikan waktu remaja. Pandangan di atas tentu mendapat penolakan dari ulama pro-Ishaq yang meyakini bahwa peristiwa penyembelihan tersebut berlangsung ketika Ishaq telah memiliki keturunan.

Ketiga, terdapatnya tanduk domba di Baitullah yang diyakini sebagai tanduk yang diberikan Allah kepada Ibrahim sebagai ganti atas anak Ibrahim yang disembelih. Argumen ini diperkuat dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal. Ulama pro-Ishaq kemudian menimpali dengan menyebutkan bahwa boleh jadi tanduk yang terdapat di Baitullah telah dipindahkan dari Kan’an—yang merupakan tempat penyembelihan Ishaq— ke Baitullah.

Baca juga: Nabi Ishaq atau Nabi Ismail yang Dikurbankan? Dari Kemuliaan Nasab hingga Toleransi

Tentu pemetaan argumen pro-Ismail dan pro-Ishaq di atas tidak melingkupi seluruh argumen yang ada dalam khazanah tafsir yang begitu kaya. Seperti penggunaan Alkitab oleh al-Biqa’i dalam meneguhkan pandangannya yang pro-Ismail atau penggunaan ilmu munasabah (korelasi ayat) dan siyaq al-ayat (susunan ayat) oleh Muqatil bin Sulaiman dalam menguatkan pandangannya yang pro-Ishaq. Namun demikian, pembaca dapat melihat kompleksitas dalam menentukan siapa anak Ibrahim yang disembelih dan mengetahui bahwa di dalam kitab-kitab tafsir terdapat pandangan yang berbeda dari apa yang selama ini diyakini.

Terlepas dari Ishaq atau Ismail yang disembelih, yang jelas keduanya merupakan Nabi yang dipuji oleh Allah. Terlebih lagi mereka adalah putra Nabi Ibrahim dan hasil didikan darinya, sehingga lebih bijak melihat tujuan kelompok ayat di atas sebagai bentuk keutamaan Nabi Ibrahim, ungkap M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah.

Muh. Azka Fazaka Rifah
Muh. Azka Fazaka Rifah
Mahasiswa Magister Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Suka
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

keserasian nilai-nilai pancasila dengan Alquran

Keserasian Nilai-Nilai Pancasila dengan Alquran

0
Pancasila sebagai hasil kristalisasi dari gagasan brillian para pejuang kemerdekaan dari berbagai kalangan telah menjadi suatu identitas yang melekat pada jati diri bangsa Indonesia....