BerandaIlmu TajwidPenetapan Waqaf Ideal: Antara Akhir Ayat dan Keterkaitan Makna

Penetapan Waqaf Ideal: Antara Akhir Ayat dan Keterkaitan Makna

Bagi pembaca Al-Qur’an, memahami ilmu waqaf dan ibtida merupakan perkara sunah. Ibnu Al-Jazari (w. 833 H) menegaskan bahwa tidak sedikit anjuran para imam qari untuk mempelajari dan memhami disiplin ilmu waqaf dan ibtida. Begitu juga dengan Al-Syuyuthi (w. 911 H) yang menyebut bahwa mengetahui waqaf dan ibtida menjadi urgensi penting di dalam memahami pemaknaan Al-Qur’an dan berimplikasi sebagai wasilah di dalam pengambilan dalil-dalil syari’at. Dasar argumentasi ini diambil oleh Al-Syuyuthi berdasar Q.S. Al-Muzzammil [73]: 4:

وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ

Bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan dengan bacaan yang baik dan benar.

Dengan mengutip penafsiran Ali bin Abi Thalib, Al-Syuyuthi menyebut bahwa al-tartīl diartikan sebagai tajwīd al-ḥurūf (memperindah huruf) dan ma’rifat al-wuqūf (mengetahui bacaan waqaf). Namun demikian, Al-Zarkasyi (w. 794 H) tetap menegaskan bahwa disiplin waqaf dan ibtida merupakan seni memahami bacaan yang memerlukan ragam pengetahuan sebagai pondasinya, hal ini didasarkan oleh pernyataan Ibnu Mujahid bahwa penanganan bacaan waqaf secara sempurna hanya diperoleh bagi mereka yang ahli nahu dan qiraat.

Definisi Waqaf dan Ibtida

Al-Asymuni (w. 1100 H) dalam Manār Al-Hudā mendefinisikan waqaf secara bahasa sebagai al-kaffu ‘an al-fi’li wa al-qauli (menghentikan perbuatan dan perkataan). Sementara secara istilah, ia diartikan sebagai menghentikan suara sejenak pada akhir kata terhadap kata yang menyertainya. Dr. Muhammad Al-‘Idi dalam Muqaddimah Tahqiq Ilal al-Wuquf menyebut bahwa kata waqaf berikut derivasinya yang mengindikasikan makna menahan dan sukūn al-ḥarakah (tidak bergerak) disebut sebanyak empat kali di dalam Al-Qur’an, yakni Q.S. Al-Shaffat [37]: 24, Q.S. Al-An’am [6]: 27 dan 30, serta Q.S. Saba’ [34]: 31. Sementara ibtida diartikan oleh Al-‘Idi sebagai lawan dari waqaf itu sendiri, yakni memulai sesuatu.

Dasar Penetapan Waqaf dan Ibtida

Penentuan tempat waqaf tercatat memiliki perbedaan di kalangan ulama. Sebab, masing-masing dari mereka memberikan penetapan tempat waqaf sesuai dengan pemahaman mereka terhadap makna ayat. Implikasinya, pembagian waqaf di kalangan ulama tidak terbatas. Meski demikian, Zakariya Al-Anshari (w. 926 H) dalam kitab Al-Maqṣad merumuskan tiga dasar di dalam penentuan waqaf: 1). Tolok ukur nafas seseorang, artinya tempat waqaf diukur oleh daya nafas seseorang; 2). Memang akhir ayat, dan 3). Adanya keterkaitan makna.

Al-Anshari dalam hal ini lebih cenderung pada dasar ketiga sebagai penetapan waqaf dengan alasan ia adalah hukum asal, sementara nafas bersifat tābi’ (hukum yang mengikuti). Kecenderungan ini juga tampak dari pernyataannya bahwa kesunahan waqaf di akhir ayat adalah apabila tidak memiliki keterkaitan erat dengan kata setelahnya.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Seputar Aturan Waqaf dalam Surah Al-Fatihah Ketika Salat

Dasar keterkaitan makna dalam penetapan waqaf juga cenderung didominasi oleh banyak imam qari. Ini dibuktikan dari perumusan Al-Zarkasyi bahwa waqaf menurut jumhur terbagi ke dalam empat macam, yakni waqaf tām, kāf, ḥasan dan qabīḥ yang secara definisi didasarkan pada keterlibatan makna. Begitu juga dengan Ibnu Al-Anbari (w. 328 H) yang membagi ke dalam tiga jenis, yakni tām, ḥasan dan qabīḥ dan Al-Sajawandi (w. 560 H) ke dalam lima macam, yakni lāzim, muṭlak, jāiz, mujawwaz li wajhin dan murakkhas li ḍarurah yang keduanya tampak didasarkan pada keterkaitan makna.

Pembagian Al-Sajawandi inilah yang diambil oleh MSI (Mushaf Standar Indonesia) secagai acuan utama di dalam penetapan tempat waqaf dan MSI secara tegas merujuk pada ketentuan makna.

Baca juga: Menyoal Kelaziman Waqaf Lazim dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia

Kecenderungan mayoritas qari pada dasar keterkaitan makna ini tidaklah dinafikan oleh sebab ujung sebuah ayat. Implikasinya, tidak jarang ditemukan tanda lām alif sebagai simbol ketiadaan waqaf oleh Al-Sajawandi pada akhir ayat di dalam MSI atau “Mushaf Kemenag”. Tanda lām alif juga mengindikasikan adanya anjuran meneruskan bacaan hingga pada tempat waqaf yang tepat sebab keterkaitan makna pada ayat setelahnya. Contoh seperti ini dapat ditemukan misalnya pada Q.S. Al-Baqarah [2]: 219-220:

۞ ……كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ ٢١٩ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْيَتٰمٰىۗ قُلْ اِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ ۗ …..

Kemudian Q.S. Al-Nahl [16]: 15-16:

وَاَلْقٰى فِى الْاَرْضِ رَوَاسِيَ اَنْ تَمِيْدَ بِكُمْ وَاَنْهٰرًا وَّسُبُلًا لَّعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَۙ ١٥ وَعَلٰمٰتٍۗ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُوْنَ

Pada kasus Al-Baqarah, lafal tatafakkarūn masih memiliki keterkaitan dengan jār majrūr pada lafal fi al-dunyā wa al-ākhirah sebagai penyempurna kalam. Begitu juga dengan kasus Al-Nahl ketika lafal ‘alāmāt berstatus ma’ṭūf kepada lafal subulan sebelumnya. Oleh sebab itu, dua penghujung ayat di atas ditandai dengan simbol lām alif sebab keterkaitan makna setelahnya sebagai dasar penetapan tempat waqaf. Contoh-contoh serupa juga sering ditemukan pada kasus istiṡnā (pengecualian) melalui lafal illā yang berada di awal ayat seperti Q.S. Al-Baqarah [2]: 160, Ali Imran [3]: 89, Al-Ashr [103]: 3 dan lain sebagainya.

Sekilas Perdebatan Penetapan Waqaf

Perdebatan penetapan waqaf antara berdasar makna dan akhir ayat berlangsung lama. Al-Zarkasyi dalam Al-Burhān menyebut bahwa sebagian ulama mutaakhirin memperselisihkan pendapat mayoritas qari yang mendasari penetapan waqaf pada keterkaitan makna meski berada di penghujung ayat dengan dalih khilāf al-sunnah.

Argumentasi ini didasarkan pada hadis riwayat Abu Dawud dan Al-Tirmidzi dari Ummu Salamah bahwa “Rasulullah ṣallallahu ‘alaihi wa sallama memutus bacaannya ayat demi ayat” dan mayoritas akhir ayat di dalam Al-Qur’an khususnya surah-surah pendek adalah waqaf tām dan kāf. Implikasinya, mengikuti sunah adalah hal yang utama. Di antara tokoh yang sepakat dalam hal ini adalah Abu Bakar Al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’ab al-Īmān dan Al-Nuhas dari Al-Akhfasy Ali bin Sulaiman yang lebih mengunggulkan waqaf berdasar ujung ayat meski berkaitan dengan makna setelahnya.

Baca juga: Penjelasan Gus Baha tentang Implikasi Wakaf pada Penafsiran Alquran

Adapun dasar penetapan waqaf sebab ukuran nafas pada akhirnya dijelmakan dengan istilah waqaf qabih dalam pembagian jumhur atau diisitlahkan sebagai waqaf iḍṭirārīy (wakaf darurat) oleh Ibnu Al-Jazari. Secara definisi, waqaf iḍṭirārīy adalah waqaf saat kalam belum sempurna maknanya dan hanya diperbolehkan secara darurat sebab terhentinya nafas seseorang.

Dengan demikian, Al-Dani (444 H) menegaskan bahwa penetapan waqaf jenis ini cenderung dilarang dan diingkari oleh para imam qari. Implikasinya, siapapun yang terhenti nafasnya di tempat waqaf jenis ini maka disunahkan baginya membaca ulang lafal sebelumnya untuk melanjutkan bacaan berikutnya, walaupun tidak ada dosa bagi yang tidak melakukannya.

Muhammad Imaduddin Hidayat
Muhammad Imaduddin Hidayat
Mahasiswa Program Doktor Studi Islam Konsentrasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Konsep Pendidikan Keluarga dalam Ibadah Kurban

0
Ibadah kurban dalam Islam bukan sekadar menyembelih hewan. Ia adalah simbol ketaatan, pengorbanan, dan keikhlasan. Namun ada satu dimensi yang jarang dibahas, yakni makna...