BerandaTafsir TematikPengertian Kata Tawaduk dan Konteksnya dalam Surah al-Furqan Ayat 63

Pengertian Kata Tawaduk dan Konteksnya dalam Surah al-Furqan Ayat 63

Kata tawaduk adalah salah satu kata yang sangat populer dalam bahasa Indonesia. Kata ini seringkali kita dengar dalam pergaulan, kita baca dalam tulisan, dan bahkan mungkin kita selalu mengucapkannya. Apa makna kata tawaduk ini? Mari kita lihat dalam uraian berikut.

Kata tawaduk yang ada di dalam Bahasa Indonesia itu adalah kata serapan dari bahasa Arab, yaitu تواضع (tawadhu’). Kemudian diserap di dalam bahasa Indonesia dan menjadi salah satu kata baku, dan ditulis dengan bentuk “tawaduk.”

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, hal. 1412) kata tawaduk diartikan dengan 1) rendah hati, seperti dalam kalimat: “Salat harus dikerjakan pada waktu waktunya dengan khusyuk dan tawaduk,” dan 2) taat dan patuh, seperti dalam kalimat: “Sebagai umat Islam yang tawaduk, ia segera salat begitu mendengar azan.”

Kata tawaduk (تواضع) secara bahasa berasal dari kata wadha’a (وضع). Kata wadha’a (وضع) berarati meletakkan sesuatu dari suatu tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Seeorang yang meletakkan sebuah buku, berarti seseorang yang menempatkan sebuah buku dari tempat yang tinggi le tempat yang lebih rendah.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman

Dari sisi makna bahasa ini, kata tawadhu‘ secara harfiah berarti memperlihatkan kerendahan hati (bukan kerendahan diri) atau kehinaan. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa tawadhu‘ ialah kerendahan hati seseorang yang memiliki kelebihan dari orang lain, baik dalam hal kedudukan, posisi, jabatan, kedudukan sosial, dan pangkat dengan menunjukkan sikap untuk menghargai/menghormati orang lain. Karena itu, tawadhu‘ sangat berkaitan dengan sikap merendah yang menunjukkan kerendahan hatinya.

Secara terminologi, tawadhu‘ didefinisikan sebagai berikut: a) memperlihatkan kerendahan kepada orang yang hendak diagungkan. b) menghormati orang yang lebih tinggi karena keutamaannya, dan c) menyerah kepada kebenaran dan tidak melakukan protes terhadap hukum.

selain pengertian di atas, ada juga beberapa pengertian dari kata tawaduk yang dikemukakan oleh para ulama. Definisi-definisi tersebut dikemukakan secara ringkat oleh Mahmud al-Mishri, dalam bukunya Ensiklopedi Akhlak Nabi Muhammad (h. 195), sebegai berikut:

  1. Imam al-Junaid mengatakan bahwa tawaduk adalah merendahkan sayap dan bersikap halus kepada orang-orang sekitar.
  2. Hasan al-Bashri menyatakan bahwa tawaduk ialah engkau melihat orang lain memiliki kelebihan dibandingkan dengan dirimu.
  3. Fudhail ibn Iyadh menyatakan bahwa tawaduk yaitu tunduk dan insyaf kepada kebenaran serta menerima kebenaran dari orang lain, termasuk anak kecil atau orang yang paling bodoh sekalipun.

Apapun definisi yang dikemukakan oleh para ulama dan para ahli hikmat di atas, tetapi yang jelas bahwa tawaduk adalah suatu sikap yang menunjukkan kerendahan hati dari seseorang yang dipandang memiliki kelebihan, keutamaan, kedudukan yang tinggi, ilmu yang luas kepada semua orang.

Tawaduk adalah suatu sikap yang menunjukkan kerendahan hati dari seseorang yang dipandang memiliki kelebihan, keutamaan, kedudukan yang tinggi, ilmu yang luas kepada semua orang, baik yang memiliki kedudukan lebih tinggi, atau bahkan yang lebih rendah posisi dan kedudukannya.

Tawaduk juga merupakan salah satu sifat hamba Allah yang taat dan patuh, serta dekat dengan Allah. Hal ini seperti yang dikatakan di dalam Al-QS. al-Furqan [25]: 63:

وَعِبَادُ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمۡشُونَ عَلَى ٱلۡأَرۡضِ هَوۡنٗا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَٰهِلُونَ قَالُواْ سَلَٰمٗا ٦٣

  1. dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.

Ayat di atas menggunakan kata ibadurrahman (عباد الرحمن), bukan ibadullah (عباد الله). Terdapat perbedaan makna di antara dua kata ini. Kata ibadurrahman (عباد الرحمن) adalah kata yang menunjukkan makna “hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih.” Hamba-hamba yang mendapat sebutan seperti ini adalah hamba-hamba yang sangat dicintai dan disayangi oleh Allah.

Sedangkan kata ibadullah (عباد الله) hanya menunjukkan makna “hamba-hamba Allah yang taat kepada-Nya.” Kedudukan hamba-hamba yang mendapat sebutan “ibadurrahman (عباد الرحمن)” di sisi Allah lebih tinggi daripada kedudukan hamba yang mendapat sebutan “ibadullah (عباد الله).”

Baca Juga: Tiga Bentuk Sikap Tawadhu yang Harus Dimiliki oleh Murid

Ada sifat yang penting yang dimiliki oleh hamba-hamba yang mendapat gelar “ibadurrahman (عباد الرحمن)” itu, yaitu:

  1. Apabila mereka berjalan di muka bumi ini, mereka berjalan dengan rendah hati, tawaduk, tidak angkuh, dan tidak sombong.
  2. Apabila mereka disapa oleh orang-orang jahil (orang-orang yang lebih rendah kedudukan dan posisinya daripadanya), mereka menjawabnya dengan kata-kata atau ucapan yang mengandung keselamatan, kalimat-kalimat yang menyenangkan, dan kalimat-kalimat menyejukkan hati para penyapanya.

Ibn al-Hajjaj mengatakan: “Barangsiapa yang ingin kemuliaan hendaklah ia bertawaduk kepada Allah karena sesungguhnya kemuliaan hanya dapat terwujud dengan kerendahan hati. Beliau mengumpamakannya dengan air yang diserap akar pohon. Ia akan naik sampai ke puncak pohon. Jika ada yang bertanya, apa yang membuat air dapat naik sampai ke puncak pohon, padahal sebelumnya berada di akar-akarnya. Seolah-olah air menjawab dengan perbuatannya: “Barangsiapa yang bertawadhu‘ kepada Allah niscaya Allah akan meninggikannya.” Wallahu A’lam.

Ahmad Thib Raya
Ahmad Thib Raya
Guru Besar Pendidikan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran (PSQ)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...