Allah swt. telah menciptakan kita dalam keadaan berpasangan, berkeluarga dan saling terhubung satu sama lain. Maka diciptakan pula di antara kita rasa cinta dan kasih sayang untuk menjaga silaturahmi dan menjaga keseimbangan hubungan antar manusia ini. Allah swt. berfirman:
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٌ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. (al-Hujurat [49] : 10)
Sayangnya, kita kembali pada kenyataan bahwa kita adalah manusia yang tetap tak bisa sepenuhnya sempurna. Seerat apapun sebuah hubungan kekeluargaan, perbedaan dan perselisihan tetap tidak bias dihindari.
Baca Juga: Kisah Ummu Salamah Menyoal Hak Perempuan Kepada Nabi Muhammad
Seperti pada saat terjadinya haditsul ifki, atau fitnah perselingkuhan yang menimpa Aisyah binti Abu Bakar ra., istri Rasulullah saw. Orang-orang muslim mengalami perbedaan dan perselisihan yang cukup pelik akibat berita kebohongan itu, bahkan ada yang mempercayai dan ikut menyebarkannya.
Lazimnya, jika mereka mengaku beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka tidak akan lantas mempercayainya, apalagi mengambil sikap sepihak atasnya, sampai Rasulullah saw. sendiri yang mengonfirmasinya. Namun ternyata, banyak dari mereka yang terpengaruh dan mempercayai fitnah itu.
Salah satu dari orang-orang mukmin itu adalah Misthah bin Atsatsah. Ia merupakan anak dari bibi Abu Bakar ra., sedarah dan senasab dengan beliau. Ia juga merupakan salah satu rombongan Muhajirin yang hijrah bersama Rasulullah ke Madinah.
Di sisi lain, kondisi ekonomi Misthah tidaklah sebaik keluarganya yang lain, sehingga Abu Bakar ra. kerap membantu menyejahterakan kehidupan ekonominya. Sedekah dari Abu Bakar ra. pun menjadi satu-satunya sumber penghidupan bagi Misthah dan keluarganya.
Ketika berita kebohongan itu muncul, Misthah turut mempercayai dan menyebarkannya. Padahal berita itu melibatkan nama sepupunya, putri dari pamannya sendiri, Aisyah ra. Mengetahui hal tersebut, Abu Bakar ra. dirundung kekecewaan yang mendalam.
Begitu banyak kemurahan hati yang telah beliau berikan kepada Misthah, tetapi dibalas dengan perlakuan yang Abu Bakar kira sulit untuk dimaafkan. Ia sampai bersumpah untuk tidak lagi bersedekah kepada Misthah bin Astatsah. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/31)
Mendengar sumpah Abu Bakar tersebut, Misthah pun memohon ampun kepadanya sembari berkata, “Aku hanya mengikuti dan mendengar berita itu, tetapi aku tidak menyebarkannya.” Abu Bakar pun membalas, “Kau pun telah mengikuti dan menertawakan apa yang mereka bicarakan (dari berita kebohongan itu).”
Maksudnya, meskipun Misthah beralasan bahwa ia tidak menyebarkannya, Abu Bakar tetap saja kecewa karena Misthah malah ikut mempercayai berita bohong itu, bukannya menyangkalnya dan membela kebenaran dari keluarganya sendiri.
Namun Allah Maha Pemurah lagi Maha Pengampun. Tepat setelah Abu Bakar mengucapkan sumpah itu, Allah swt. berfirman:
وَلَا يَأۡتَلِ أُوْلُواْ ٱلۡفَضۡلِ مِنكُمۡ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤۡتُوٓاْ أُوْلِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱلۡمُهَٰجِرِينَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۖ وَلۡيَعۡفُواْ وَلۡيَصۡفَحُوٓاْۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi bantuan kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (an-Nur [24]: 22)
Ulul fadhli (pemilik keutamaan) yang dimaksud pada ayat ini adalah orang-orang yang memiliki keluasan harta, pangkat dan materi, salah satunya adalah Abu Bakar ra. Maka ayat ini turun sebagai teguran halus bagi Abu Bakar ra. yang telah setahap menjauh dari saudaranya, Misthah bin Atsatsah.
Setelah ayat itu turun, Abu Bakar ra. pun memaafkan kesalahan Misthah bin Atsatsah dan kembali bersedekah untuknya, terlepas dari bagaimana Misthah telah menyakiti hatinya. Bahkan Abu Bakar berkata, “Aku tidak akan pernah berhenti bersedekah kepada Misthah.” (Tafsir al-Qurthubi, 12/207)
Tidak hanya untuk Abu Bakar ra., ayat ini juga menjadi peringatan bagi kita akan pentingnya hubungan kekerabatan sesama Muslim. Kita tidak menyangkal bahwa akan selalu terjadi perbedaan dan hal-hal kompleks antara kita dengan kerabat kita sendiri.
Baca Juga: Ketangguhan Perempuan di Balik Nuzulul Quran
Namun sepelik apapun perbedaan itu, sama sekali tidak akan mengubah fakta bahwa mereka adalah saudara kerabat dengan hubungan darah yang kuat. Kita harus tetap harus menjaga tali silaturahim yang baik dengan mereka. Rasulullah saw. bersabda:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَ: أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عُيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ العُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنَ البَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
Ali bin Hujr telah berkata kepada kami, ia berkata: Isma’il bin Ibrahim telah berkata kepada kami, dari ‘Uyaynah bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Bakrah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada suatu dosa yang lebih pantas Allah percepat siksaannya di dunia bagi pelakunya, selain apa yang Allah siapkan baginya di akhirat, daripada memutus silaturahim. (HR. Tirmidzi). Wallahu a’lam.