BerandaTokoh TafsirTokoh Tafsir IndonesiaPenulis Satu-Satunya Tafsir Isyari Nusantara: Kiai Sholeh Darat Semarang

Penulis Satu-Satunya Tafsir Isyari Nusantara: Kiai Sholeh Darat Semarang

Nama lengkapnya adalah Muḥammad Sholeh bin ‘Umar as-Samārānī, محمد صالح بن عمر السماراني, namun masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai Kiai Sholeh Darat. Dia adalah seorang penulis produktif yang karyanya diterbitkan dan menyebar luas mencapai dunia Islam Nusantara, Mesir, dan bahkan Turki Utsmani. Ia juga guru dari banyak tokoh terkemuka selama kelahiran negara bangsa, Indonesia. Selain itu, ia adalah penafsir penting Imam al-Ghazzālī (w. 1111) bagi masyarakat Indonesia pada akhir abad ke-19.

Kiai Sholeh lahir sekitar tahun 1820 dari keluarga kiai di Jepara, Jawa Tengah, Indonesia (Majmū‘āt al-Sharī‘at al-Kāfiyat Li al-‘Awwām Karya Syaikh Muhammad Shalih ibn Úmar al-Samarani: Suatu Kajian Terhadap Kitab Fiqih Berbahasa Jawa Akhir Abad 19, 21). Ayahnya, Kiai ‘Umar, adalah pendukung Pangeran Diponegoro (1785-1855) dalam Perang Jawa tahun 1825-1830 (Sejarah dan Perjuangan Kyai Sholeh Darat Semarang, 5). Setelah menimba ilmu di Mekkah, ia menikah dengan putri sahabat ayahnya dalam perjuangan Diponegoro, Kiai Murtadha. Ia kemudian melanjutkan mengajar di pesantren mertuanya di Semarang (Warisan Intelektual Islam Jawa Dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih As-Samarani, 55).

Setelah merantau di beberapa pesantren di Jawa, pada sekitar tahun 1835, Kiai Sholeh bersama ayahnya berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan studinya (Warisan Intelektual Islam Jawa Dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih As-Samarani, 44). Di Mekah sampai sekitar tahun 1870, Kiai Sholeh belajar dengan beberapa ulama penting. Salah satu guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Aḥmad bin Zaynī Daḥlān (w. 1886) dari siapa Kiai Sholeh mempelajari Iḥyāʼ Ulm al-Dīn karya Imam al-Ghazzālī di mana ia menerima ijazah, rantai transmisi yang kembali ke penulis kitab (Al-Murshid al-Wajīz Fī ‘Ilm al-Qu’ān al-‘Azīz, 119).

Baca Juga: Kiai Zaini Mun’im dan Naskah Tafsirnya

Setelah belajar, Kiai Sholeh kembali ke Semarang, Jawa Tengah. Sisa hidupnya didedikasikan untuk mengembangkan Pesantren Darat dan mendidik umat Islam awam melalui kajian kolektif rupa pengajian umum (majlis ta‘līm). Pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan (w. 1923), dan Nahdlatul Ulama, Kiai Hasyim Asy’ari (w. 1947) dikabarkan pernah menimba ilmu di pesantren Kiai Sholeh. Ia juga mendedikasikan hidupnya untuk mendidik dasar-dasar ilmu keislaman melalui penulisan buku-buku dalam aksara Pegon (aksara modifikasi Arab yang digunakan untuk menulis dalam bahasa Jawa).

Penyusunan buku-buku Pegon menunjukkan perhatian Kiai Sholeh untuk menerangi kegelapan di bidang pendidikan. Kiai Sholeh menandai semangat baru pada tradisi penulisan buku-buku dalam bahasa daerah yang memuat ajaran Islam ortodoksi terbatas berdasarkan kitab-kitab Islam klasik. Sementara mengakui peran penting yang dimainkan bahasa Arab dalam pengajaran Islam, Kiai Sholeh mengklarifikasi bahwa “ilmu yang bermanfaat” (‘ilm al-nāfi‘) tidak harus ditulis dalam bahasa Arab (Sabīl al-’Abīd ’ala Jauharah at-Tauḥīd, 2). Ia mengkritik para ulama pada waktu itu yang melarang orang awam mempelajari Islam melalui terjemahan, baik dalam bahasa Melayu atau bahasa Jawa, karena menyesatkan mereka (Sabīl al-’Abīd, 66). Jika syarat mempelajari Islam adalah memahami bahasa Arab, kata Kiai Sholeh, maka banyak umat Islam yang tidak akan pernah bisa masuk Islam secara utuh (Al-Murshid al-Wajīz, 4).

Pada abad ke-19, pengajaran Islam bagi masyarakat awam di Indonesia pada umumnya pada tataran membaca teks Al-Qur’an dengan sedikit penetrasi pemahaman makna. Raden Ajeng Kartini (w. 1904), seorang murid Kiai Sholeh dan pelopor di bidang pendidikan untuk anak perempuan dan hak-hak perempuan bagi orang Indonesia, mengeluhkan penekanan pada fitur kesucian Al-Qur’an sementara mengabaikan upaya penerjemahan. Padahal, menurut dia, orang Jawa tidak tahu apa-apa tentang bahasa Arab. Keistimewaan memahami Al-Qur’an adalah kalangan elit agama, termasuk kiai dan santri pesantren. Tafsir Al-Qur’an Kiai Sholeh dalam bahasa daerah merupakan upaya untuk memperluas ruang lingkup ortodoksi pembelajaran di luar komunitas pesantren sehingga juga mencakup masyarakat awam.

Di kalangan ulama di Nusantara saat itu, Kiai Sholeh menempati tempat yang dimuliakan. Kiai Sholeh dikenal dengan sebutan “Ghazzālī Kecil” (al-Ghazzālī al-Ṣagīr) oleh kiai muda Jawa (Saleh Darat: Muhammad Sâlih b. `Umar al-Samarânî, 25-26). Sebutan ini menunjukkan fakta bahwa ia – seperti yang dilakukan oleh al-Ghazzāl – menekankan pemahaman kolaboratif antara syariah dan tasawuf yang tidak dapat dipisahkan dalam tubuh Islam. Selain itu, al-Ghazzāl selalu menjadi sumber penting yang pendapatnya dirujuk oleh Kiai Sholeh di hampir semua kitab Pegon-nya.

Kiai Sholeh menunjukkan bahwa ia menyadari perdebatan antara kiai yang berorientasi syariah versus mistik (Minhāj Al-Atqiyā’ Fī Sharḥ Ma‘rifat al-Adhkiyā’ Ilā Ṭarīq al-Awliyā’, 210). Meskipun tidak ada informasi yang valid tentang inisiasi Sholeh ke dalam satu tarekat, ia mendukung keberadaannya dan melarang orang-orang mengutuk organisasi tarekat (Minhāj Al-Atqiyā’, 210).

Faktor lain dari kecenderungan ini adalah terlindungnya masyarakat awam dari ajaran-ajaran yang bisa menggelincirkan dari beberapa pengarang Muslim-Mistik Jawa yang mungkin tanpa sadar menjauhkan akidah Islam yang valid dari umatnya. Karya-karya mereka ini, seringkali menjadi sumber kesalahan pemahaman, sehingga masyarakat Muslim meninggalkan pemahaman syariah (lahir) dan hanya berpegang pada ajaran mistik (batin). Kiai Sholeh secara tegas melarang orang awam membaca beberapa karya suluk karya pujangga Jawa akhir abad XIX yang mengajak untuk meninggalkan ajaran Islam (Majmū‘āt al-Sharī‘at al-Kāfiyat Li al-‘Awwām, 27). Dia juga percaya bahwa orang-orang umum harus dijauhkan dari waḥdat al-wujūd. Dia melarang orang awam membaca kitab-kitab yang mempromosikan konsep ini pada saat itu seperti Tuḥfah al-mursālah dan al-Insān al-Kamīl (Majmū‘āt al-Sharī‘at, 27).

Kiai Sholeh juga terkenal karena pandangannya yang anti-Belanda. Setelah kekalahan pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa, para kiai tradisional ditarik dari “perang fisik” dan kembali ke pesantren untuk berperang dalam pertarungan kultural. Kiai Sholeh menghidupkan kembali gagasan untuk mengidentifikasi yang tertindas dari yang menindas (Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX-XX M, 121–22). Mengacu pada hadis Nabi Saw., ia menyatakan bahwa haram hukumnya bagi umat Islam untuk berpakaian seperti orang Eropa. Dia berkata, “Beberapa ulama al-muḥaqqiqn menyebutkan bahwa seseorang yang memakai selain pakaian Muslim seperti jas, topi dan dasi, dianggap sebagai murtad” (Majmū‘āt al-Sharī‘at, 24–25). Sebaliknya, tidak hanya pada pakaian, tetapi Muslim awam juga diberitahu untuk tidak meniru setiap perilaku yang spesifik dari budaya Barat pada umumnya (Majmū‘āt al-Sharī‘at, 25–26).

Baca Juga: Simpang Siur Penyempurna Tafsir Mafatih al-Ghaib Setelah al-Razi

Kuatnya pendirian Kiai Sholeh terhadap penjajah juga dimaksudkan untuk menjauhkan umat Islam sejauh mungkin dari kontak dengan Belanda. Kiai Sholeh menyatakan bahwa bekerja untuk pemerintah Belanda sama dengan menjadi “hamba rezim zalim” (khādim al-ẓulmah) yang merupakan salah satu dosa besar (Minhāj Al-Atqiyā’, 67). Untuk mencegah santri menjadi abdi Belanda, beliau menyatakan bahwa ulama dilarang mengajar murid-murid yang dikenal jelas ingin dengan ilmunya menjadi penghulu, jabatan resmi yang bertanggung jawab atas masalah-masalah agama di bawah pengadilan kolonial Belanda. Lebih dari masalah kehidupan sosial, Kiai Sholeh juga ikut campur dalam agenda politik. Pada tahun 1883, Konsul Belanda di Jeddah melaporkan bahwa Kiai Sholeh dari Semarang mengundang Kesultanan Utsmaniyah untuk ikut campur melawan Hindia Belanda di Jawa (Saleh Darat: Muhammad Sâlih b. `Umar al-Samarânî, 25-26).

Kiai Sholeh wafat pada tanggal 28 Ramadhan 1321 atau 18 Desember 1903 di Semarang. Dia dimakamkan di pemakaman umum Bergota. Pada tanggal 10 Syawal, ada peringatan tahunan (ḥaul) untuknya dengan ribuan peziarah dari berbagai daerah di Indonesia.

Nur Ahmad
Nur Ahmad
Dosen tasawuf di Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang. Ahmad menyelesaikan S1 di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang dan S2 dari Vrije Universiteit Amsterdam. Dia sekarang sedang melanjutkan program doktoral di Leiden Institute for Area Studies (LIAS), Leiden University, Belanda.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU