Di antara sarjana Indonesia yang mengkaji sejarah Al-Quran dalam kaitannya dengan tradisi literasi adalah Ali Romdhoni. Kajian Ali Romdhoni tergolong unik, sebab ia tidak hanya membuktikan bahwa Penulisan Al-Quran telah dilakukan sejak masa Nabi Muhammad SAW, tetapi juga mengandung makna filosofis mengapa Al-Quran sudah diperintahkan ditulis saat itu. Kajian Ali Romdhoni tersebut, terutama, dapat dirujuk dari bukunya Al-Qur’an dan Literasi (2013).
Buku Ali Romdhoni tersebut mengemukakan berbagai argumentasi ilmiah, terutama dari berdasarkan data-data sejarah, mengenai tradisi literasi yang berkembang pada Islam Awal. Dalam sub judul bukunya “Sejarah Rancang-Bangun Ilmu-ilmu Keislaman” memberi pemahaman bahwa sejarah Al-Qur’an adalah sejarah terbangunnya peradaban tulis-menulis dalam Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa Al-Qur’an secara khusus membawa perubahan besar dari segi model keilmuan manusia.
Dalam kaitannya dengan sejarah Al-Qur’an, posisi tradisi literasi amat penting. Diwahyukannya surah Al-‘Alaq: 1-5 sebagai wahyu pertama menjadi catatan penting bagi perjalanan Islam itu sendiri. Dalam konteks ini, kajian Ali Romdhoni penting diungkap terutama untuk melihat bagian-bagian sejarah penulisan Al-Quran yang biasa dinilai terjadi alamiah dan di bawah takdir Ilahi, tetapi bagi Ali Romdhoni hal tersebut memiliki makna tersendiri untuk tradisi intelektual Islam.
Mengenal Ali Romdhoni dan Kajiannya atas Al-Qur’an
Ali Romdhoni adalah sarjana Islam Indonesia yang aktif meneliti sekaligus sebagai dosen di universitas Wahid Hasyim Semarang. Beliau lahir dan besar di lingkungan pesantren di desa Prawoto, Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Sehingga, beliau sangat akrab dengan belajar baca-tulis Al-Qur’an dan berbagai kitab berbahasa Arab –‘Kitab Kuning’. Tahun 1994, beliau belajar di pesantren Al-Ma’ruf Bandungsari, Grobongan. Tahun 2000, beliau belajar di pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang.
Pada tahun 2001, Ali Romdhoni melanjutkan belajarnya di IAIN (sekarang UIN) Walisongo Semarang, dengan konsentrasi Filsafat Islam. Setelah itu, tahun 2006 Ali Ramdhani lanjut ke jenjang S2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan berfokus pada program Ulumul Qur’an. Selesainya di UIN Jakarta, beliau mengikuti Pendidikan Kader Mufassir (PKM) yang didirikan oleh M. Quraish Shihab. Adapun pendidikan doktoralnya diambil di Universitas Helongjiang Harbin, China, dengan berfokus di bidang Religious Studies.
Ali Romdhoni termasuk sarjana yang produktif, beberapa karyanya yang terkait studi Al-Qur’an adalah Tradisi Hafalan Qur’an di Masyarakat Muslim Indonesia (2015), Al-Qur’an: Memerangi Illetary, Mencipta Peradaban Ilmu Pengetahuan (2012), Masa Depan Kajian Al-Qur’an di Indonesia (2013), Al-Qur’an dan Literasi: Sejarah Rancang-Bangun Ilmu-ilmu Keislaman (2013).
Baca Juga: Proyek Tafsir Al-Mishbah: Menggapai Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ala M. Quraish Shihab
Di lihat dari karya-karyanya, sekalipun tidak semuanya disebutkan di sini, kajian Ali Romdhoni dapat dinilai memberi perhatian tersendiri dalam diskusi literasi, terutama kaitannya dengan Al-Qur’an. Kajiannya memberi kesan bahwa peradaban umat Islam, dalam sejarahnya, di antaranya karena memperhatikan tradisi baca-tulis. Buku Al-Qur’an dan Literasi menjadi bagian penting dari kajian Ali Romdhoni tersebut, termasuk pada pembahasan penulisan Al-Quran.
Pengumpulan Al-Qur’an: Tradisi Hafalan dan Tulisan
Dalam memasuki pembahasan tradisi intelektual dalam Islam, Ali Romdhoni menyinggung sejarah penulisan Al-Quran. Sebagaimana marak dikenal bahwa penulisan Al-Quran menjadi satu pemahaman dari pengumpulan Al-Qur’an (jam’ Al-Qur’an), di samping menghafalnya. Di sini, menghafal lebih dahulu menjadi pengumpulan Al-Qur’an dibanding menulisnya. Karena itu, tradisi dan proses menghafal tidak dapat dipisahkan penulisan Al-Quran.
Secara umum, bangsa Arab sebelum hingga datangnya Islam memang terkenal sebagai bangsa yang kuat dalam tradisi hafalan. Sehingga, ketika Al-Qur’an diwahyukan, umat Islam saat itu sangat mudah menghafalnya. Saat yang sama, yang membuat Al-Qur’an marak dihafal juga dapat dirujuk dalam hadis Nabi Muhammad SAW, yang di antaranya mengatakan “…kepadamu (Muhammad) telah kuturunkan Al-Qur’an yang tidak dapat dihapus dengan air, dan engkau bisa membacanya dalam keadaan tidur ataupun terjaga…”
Menurut Ali Romdhoni, hadis di atas dapat dipahami bahwa pada masa Islam awal, Al-Quran dikaji dan dibaca berdasarkan hafalan. Transmisi atau perpindahan Al-Qur’an dari satu orang ke yang lainnya melakukan hafalan. Dengan kata lain, setelah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, ia ditransmisikan kepada sahabat, dan dari sahabat satu ke sahabat lainnya, dilakukan secara hafalan.
Jika tradisi hafalan yang begitu kuat menjadi alat utama mentransmisikan Al-Qur’an, sehingga para sahabat saat itu nampak cukup membaca dan mempelajari Al-Qur’an berdasarkan hafalan, lalu mengapa Nabi Muhammad SAW saat itu juga memerintahkan agar wahyu dituliskan? Demikian pertanyaan Ali Romdhoni. Dalam sejarahnya, Nabi Muhammad SAW memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk menuliskan Al-Qur’an, baik pada lembaran kulit unta, tulang, pelepah kurma, dan seterusnya.
Dalam pandangan Ali Romdhoni bahwa ada motivasi yang luar biasa dalam tradisi tulis-menulis sehingga Nabi Muhammad SAW memerintahkan dan menggalakkan program penulisan Al-Quran. Dalam konteks ini, pengumpulan Al-Qur’an dalam lingkup penulisannya lebih luas wilayah kerjanya daripada menghafalnya.
Menulis Al-Qur’an bukan hanya sekedar merekam dan menjaga Al-Qur’an, tetapi menampilkan seluruh Al-Qur’an (30 Juz) dalam bentuk tulisan yang dapat dilihat, mengelompokkan dan mengatur susunan ayatnya, dan seterusnya, yang semuanya dilakukan dalam bentuk lembaran (sahifah). Masa penulisan inilah kemudian dikenal sebagai kodifikasi Al-Qur’an.
Tradisi Intelektual Islam yang Bermula dari Penulisan Al-Quran
Yang terpenting dalam penulisan Al-Quran adalah bahwa ia menjadi dasar utama terciptanya tradisi ilmiah umat Islam. Penulisan Al-Quran yang di antaranya bertujuan untuk mengabadikan Al-Qur’an, ternyata berkembang membentuk masyarakat yang mengerti dan mendalami tradisi baca-tulis. Dari sini, bangsa Arab terus mengembangkan tradisi baca-tulisnya pada intelektualitas yang lebih canggih. Menurut Ali Romdhoni, peradaban ini bermula dari penulisan Al-Quran.
Lebih jauh, ditarik ke asal mula kuatnya tradisi literasi bangsa Arab yang mengantarkan mereka pada budaya ilmiah, sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari Al-Qur’an itu sendiri seperti QS. Al-‘Alaq: 1-5. Sehingga, penulisan Al-Quran menjadi masa yang terbilang vital untuk merealisasikan ajaran Islam dalam mengubah bangsa dari buta huruf ke melek huruf. Dengan pemahaman tersebut, Ali Romdhoni mengkritik pemaknaan ummi sebagai tidak bisa membaca dan menulis.
Baca Juga: Sayyid Qutb: Intelektual Mesir Penulis Tafsir Fi Zilal aL-Qur’an
Secara sederhana, Ali Romdhoni menilai bahwa makna ummi yang tepat adalah orang tersebut bukan dari golongan Yahudi atau Nashrani. Makna ini disandarkan pada QS. Ali Imran: 20. Ali Romdhoni mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW sejak awal adalah orang yang pandai dalam membaca dan menulis.
Berbagai pandangan Ali Romdhoni di atas memperlihatkan bahwa tradisi intelektual Islam diperkuat oleh dua argumentasi, (1) tradisi literasi yang digalakkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui penulisan Al-Quran, dan (2) ajaran Islam itu sendiri. Dengan demikian, penulisan Al-Quran bukan hanya sekedar menjaga dan mengabaikan Al-Qur’an di atas lembaran-lembaran, melainkan juga menuju peradaban intelektual bagi umat Islam. [] Wallahu A’lam.