Bahasa Arab dan beberapa cabang keilmuannya merupakan bagian penting dalam menafsirkan Al-Quran. Selain Al-Quran sendiri berbahasa Arab, kosa-katanya yang kaya akan makna dan struktur kalimatnya yang kompleks menuntut pemahaman terhadapnya dimulai secara analisis kebahasaan (lughawi). Pemahaman terhadap Al-Quran tidak cukup hanya dengan hafal ribuan bahkan jutaan mufradat (kosa-kata bahasa Arab), tapi perlu ditunjang dengan pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa Arab.
Dalam banyak ayat ditemukan susunan kalimat yang potensial disalahartikan secara fatal. Hal ini menguatkan keharusan memahami Al-Quran melalui analisis bahasa terlebih dahulu. Oleh karena itu, hampir di setiap kitab-kitab tafsir klasik maupun modern ditemukan analisis secara bahasa.
Meskipun peran bahasa Arab dalam penafsiran Al-Quran sangat besar, seseorang hanya berbekal pengetahuan bahasa Arab saja tidaklah cukup untuk menjadi mufasir. Disebutkan dalam artikel yang berjudul Gus Awis: Tidak Cukup Menafsirkan Al-Quran Hanya Bermodalkan Bahasa Arab bahwa porsi bahasa dalam penafsiran Al-Quran hanya berkisar 25% dari seluruh piranti yang diperlukan.
Senada dengan pendapat di atas, Imam az-Zarkasyi dan As-Suyuthi telah menyebutkan bahwa landasan pokok dalam penafsiran Al-Quran ada empat. Pertama hadits yang diriwayatan dari Rasulullah, kedua atsar yang diriwayatkan dari para sahabat, ketiga Bahasa (Arab), keempat makna yang dikehendaki suatu Nash dan kesesuainnya dengan syariat. (az-Zarkasyi, al-Burhan 2/156-161; As-Suyuthi, al-Itqan 4/180-182) .
Baca juga: Kompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Quran
Penafsiran Al-Quran dari Perspektif Kebahasaan
Penafsiran Al-Quran dari aspek kebahasaan sebetulnya sudah ada sejak masa Rasulullah Saw, yang kemudian dilanjutkan para sahabat, para tabiin dan para mufasir generasi setelahnya.
Pada masa Rasulullah, yang menjadi contoh penafsiran dari aspek kebahasaan adalah jawaban Rasulullah kepada seorang sahabat yang bernama Uday bin Hatim ketika menanyakan makna kata “al-Khaith al-Abyadh dan al-Khaith al-Aswad” pada QS. al-Baqarah: 02/187.
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ
Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Uday bin Hatim terpaksa menanyakan ayat di atas karena sempat kebingungan ketika sebelumnya dia hanya memahami kata tersebut dengan makna benang putih dan benang merah. Diriwayakan ketika malam hari, ia mengambil benang putih dan benang merah, kemudian disimpan di bawah bantal. Setiap kali terbangun dari tidur, ia melihat keduanya, dan kedua benang pun belum bisa dibedakan sampai datang waktu subuh. Akhirnya ia bertanya, dan Rasulullah menjawab, bahwa yang dimaksud dengan kata “al-Khaith al-Abyadh dan al-Khaith al-Aswad” adalah terangnya siang dan gelapnya malam. (Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, 2/147).
Penjelasan Rasulullah ini menunjukkan pemaknaan Al-Quran secara bahasa. Uday bin Hatim menanyakan makna leksikal kata yang ada dalam ayat tersebut dan Rasulullah memberitahu maknanya. Namun yang lebih penting dari itu adalah, bahwa Nabi memberikan makna yang tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya, al-Khaith al-Abyadh bukanlah benang putih dan al-Khaith al-Aswad bukan pula benang hitam dalam pengertian umunya, melainkan makna selainnya (terangnya siang dan gelapnya malam). Ungkapan seperti inilah yang pada perkembangan selanjutnya dikenal sebagai majaz yang merupakan bagian dari ilmu Balaghah atau sastra Arab.
Baca juga: Alasan Kenapa Al-Quran Diturunkan Berbahasa Arab
Di antara contoh tafsir kebahasaan generasi sahabat adalah penafsiran Qatadah pada ayat 2 surat al-Insyiqaq:
وَأَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْ
Dia patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya langit itu patuh,
Kata أذنت pada ayat ditafsiri dengan makna kata وأطاعت سمعت yang berarti mendengar dan patuh. (Tafsir al-Tabari, 30/113).
Ketika sahabat menentukan kata untuk makna kata lain seperti ini tidak semata-mata langsung dari dirinya sendiri, melainkan banyak merujuk kepada syair-syair Jahiliyah. Hal ini karena syair Jahiliyah mencakup banyak kosa-kata bahasa Arab yang tidak semua orang mengetahuinya. Oleh karena itulah syair Jahiliyah disebut sebagai “Diwanul Arab” (arsipnya Arab).
Penutup
Dari ulasan di atas bisa disimpulkan, bahwa peran analisis bahasa tidak bisa dinafikan dalam proses penafsiran Al-Quran. Bahkan, As-Suyuthi dalam kitab Syarh Alfiyah-nya memberikan pernyataan, ‘Bahwa siapapun yang tidak mempunyai wawasan kaidah bahasa Arab maka tidak diperkenankan berbicara tentang isi Al-Quran, karena Al-Quran berbahasa Arab, dan ia tidak mungkin dipahami kecuali dengan mengetahui kaidah-kaidah Bahasa Arab terlebih dahulu. (Syarh Mukhtasar Jiddan, 6).
Baca juga: Kontribusi Al-Qur’an terhadap Perkembangan Bahasa Arab