Artikel ini berangkat dari kegelisahan saya terhadap gejala intoleransi yang sepuluh tahun belakangan masih terasa mengguncang Indonesia. Belum lagi baru-baru ini adalah kasus bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katedral, Makasar. Jelas kejadian itu sangat erat kaitannya dengan motif perbedaan agama. Sudah saatnya, kesadaran akan hak beragama penting untuk diperhatikan.
Sudah menjadi rahasia umum, di mana kelompok Jihadis berkedok agama itu menyasar dan ingin menumpas orang-orang non-muslim, meskipun seringkali umat Islam juga menjadi korbannya. Seolah ketika melihat warga non-muslim, wajah mereka memerah dan kedua matanya menyala-nyala. Kebencian terhadap masyarakat non-muslim memang sudah didoktrin sekuat itu, sejak pertama kali mereka seumur jagung di komunitas Jihadis. Pihak pemerintah pun tak luput dari cercaan dan sasaran teror karena dianggap telah melindungi hak beragama setiap warga negaranya.
Baca juga: Surat Saba [34] Ayat 24-25: Isyarat Larangan Sikap Fanatisme dan Ekstrim
Jika kita menengok kembali pada ajaran-ajaran Al-Quran, masalah pilihan agama ini sebetulnya sudah diatur sedemikian rupa. Ada beberapa ayat yang sudah lumrah dikutip ketika membahas kebebasan seseorang untuk memeluk agama. Ayat yang sangat relevan untuk disebutkan di sini adalah QS. Al Baqarah [2]: 256:
لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٥٦
“Tidak ada paksaan untuk (masuk) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 256)
Penafsiran Hamka
Sebelum lebih jauh menafsirkan QS. Al Baqarah [2]: 256, Hamka mengawalinya dengan menjelaskan bahwa kontes ayat ini berbicara tentang permintaan seorang ayah dari kaum Anshar kepada Nabi Saw. yang ingin anaknya masuk Islam. Anak itu memeluk Yahudi lantaran diasuh oleh seorang Yahudi Bani Nadir. Saat terjadinya peristiwa pengusiran Yahudi Bani Nadir dari Madinah akibat mengkhianati perjanjian dengan kaum Muslim, sang ayah memohon kepada Nabi Saw. untuk menarik anaknya itu agar menjadi Muslim, kalau perlu dengan paksa (Hamka, Tafsir al-Azhar, Vol. III).
Menurut Riwayat Ibnu Abbas, Nabi Saw. hanya memanggil anak itu dan diberikanlah pilihan; apakah sudi untuk masuk Islam atau tetap memeluk Yahudi. Fakta ini menurut Hamka menjelaskan bahwa ada perbedaan antara politik dan keyakinan agama. Yahudi Bani Nadir diusir dari Madinah karena mereka berkhianat terhadap konstitusi yang telah disepakati bersama. Bahkan mereka berusaha membubuh Nabi Saw. yang ketika itu menjadi kepala Negara Madinah. Mengenai keyakinan, mereka sama sekali tidak dipaksa untuk pindah dari agama Yahudi (Hamka, Tafsir al-Azhar, Vol. III).
Baca juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad! Inilah Makna Jihad Dalam Al-Qur’an
Al Baqarah [2]: 256 di atas adalah dasar prinsip Islam. Hamka mengkritik pandangan sebagian kalangan yang menuduh dan menganggap bahwa Islam disebarkan dengan pedang. Menurutnya, orang-orang yang berpandangan seperti ini harus belajar lagi dengan melihat sumber utama Islam; Al-Quran dan Hadis. Keduanya tidak pernah mengajarkan paksaan dalam beragama. Lebih jauh, Hamka menguatkan penafsirannya dengan melampirkan data dan fakta sejarah, baik dari masa klasik hingga berikutnya, di mana Islam tak pernah memaksa manusia memeluk dirinya.
Penafsiran Hasbi Ash-Shiddieqy
Dalam penjelasan QS. Al Baqarah [2]: 256, Hasbi Ash-Shiddieqy terlihat tidak banyak memberikan komentar. Ia hanya mengulasnya secara singkat tapi padat makna. Ia menuturkan, ayat ini memberikan pelajaran penting bahwa janganlah sampai memaksa orang lain untuk memeluk Islam, meskipun Islam merupakan agama yang jelas dan pasti kebenarannya. Sebab, beragama adalah urusan hati sehingga tidak ada seorang pun yang dapat memaksakannya. Demikianlah hak beragama. (Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur, Vol. I).
Karena itu, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, tujuan jihad dalam Islam adalah untuk kepentingan dakwah Islam semata, bukan untuk memaksakan kehendak. Tuhan tidak membina urusan iman secara paksa, melainkan atas dasar kerelaan hati. Sepertihalnya Hamka, Hasbi Ash-Shiddieqy juga mengkritik kalangan yang mengasumsikan Islam sebagai agama yang sedikit-sedikit main pedang dan perang.
Menurutnya, sejarah sudah cukup membuktikan itu. Bahkan Nabi Swt. sendiri seringkali disakiti bahkan beribadah secara diam-diam pada masa awal Islam, dan di pihak lain kaum Quraisy terus menyiksa kaum muslimin hingga mereka terpaksa berhijrah (Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur, Vol. I).
Penafsiran Quraish Shihab
Penjelasan yang diberikan oleh Quraish Shihab dalam penafsiran QS. Al Baqarah [2]: 256 tidak jauh berbeda dengan dua mufasir sebelumnya. Menurut mufasir lulusan Mesir ini, Allah Swt. tidak mengajarkan paksaan. Sekiranganya Dia berkehendak tentu dengan mudah Dia akan menjadikan semua penghuni dunia beriman kepada-Nya. Tidak ada paksaan di sini maksudnya adalah menganut akidahnya.
Jika seseorang sudah menjatuhkan pilihan pada suatu agama, misalnya Islam, maka ia terikat untuk melaksanakan perintah-perintah dalam Islam. Begitu pula harus menjauhi apa saja yang dilarang oleh Islam. Ia akan diberikan sangsi jika tidak melaksanakan perintah-perintah Islam, dan melanggar larangan-larangan yang sudah ditentukan (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. I).
Senada dengan penafsiran ini, Quraish Shihab juga mewanti-wanti untuk tidak melakukan pemaksaan dalam beragama tepatnya ketika menafsirkan QS. Al Kahfi [18]: 29:
وَقُلِ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡۚ إِنَّآ أَعۡتَدۡنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمۡ سُرَادِقُهَاۚ وَإِن يَسۡتَغِيثُواْ يُغَاثُواْ بِمَآءٖ كَٱلۡمُهۡلِ يَشۡوِي ٱلۡوُجُوهَۚ بِئۡسَ ٱلشَّرَابُ وَسَآءَتۡ مُرۡتَفَقًا ٢٩
“Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (mengingkari) biarlah ia mengingkarinya. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang buruk pula.”
Ringkasnya, selain mengingatkan bahwa konteks ayat ini berkenaan dengan permintaan petinggi-petinggi kaum Quraisy untuk mengusir orang-orang miskin dan lemah dari majlis Nabi Saw. Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa tidak ada paksaan sedikitpun kepada orang-orang Quraisy untuk beriman dan mengikuti Rasulullah Saw. ataukah tetap dalam agama nenek moyang mereka (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 5).
Baca juga: Radikalisme dan Upaya Deradikalisasi: Inspirasi Metode Ishlah dari Ibn ‘Asyur
Ketiga mufasir terkemuka di atas yang kedalaman serta keluasan ilmunya tidak diragukan lagi telah menyuarakan satu pandangan. Baik Hamka, Hasbi Ash-Shiddieqy dan juga Qurasih Shihab, sama-sama menekankan untuk tidak memaksakan diri mengajak orang-orang lain agar seagama dengan kita. Siapapun berhak melabuhkan hatinya pada agama manapun, dengan catatan, ia juga harus siap menerima setiap konsekuensinya. Dan pesan saya yang terakhir adalah ‘belajarlah pada guru-guru yang kualitas keilmuannya bisa dipertanggungjawabkan’.
Wallahu a’lam []