Isu memilih pemimpin berdasarkan agama menjadi topik yang kerap diperbincangkan hingga dewasa ini. Dalam Islam misalnya, ulama berbeda pendapat perihal boleh tidaknya memilih pemimpin dari kalangan non-muslim. Perbedaan ini terjadi karena adanya penafsiran yang berbeda terhadap lafaz auliya’ yang terkandung dalam beberapa surat Alquran seperti Ali ‘Imran [3]: 28, Alnisa’ [4]: 144, Almai’dah [5]: 51 dan 57, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan memilih pemimpin non-muslim.
M. Quraish Shihab mengartikan lafaz auliya’ sebagai seseorang yang berwenang menangani urusan, penolong, sahabat dekat, dan arti lain yang mengandung makna kedekatan. (Tafsir al-Misbah, Vol. 3, 123) Sementara itu, ada yang menafsirkan kata auliya’ dengan pemimpin, sebagaimana penafsiran dari Buya Hamka. (Tafsir al-Azhar, Vol. 03, 1763) Lafaz auliya’ memang tergolong ke dalam lafaz musytarak yang memiliki banyak makna. Sehingga, sangat wajar apabila terjadi perbedaan penafsiran dan pendapat di kalangan mufasir.
Menurut M. Quraish Shihab, larangan terhadap memilih pemimpin dari kalangan non-muslim bukan larangan yang berlaku secara mutlak, karena seorang non-muslim yang hidup berdampingan secara damai dengan kaum muslim memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslim. Sehingga dalam hal ini M. Quraish Shihab bersikap lebih longgar dalam menyikapi isu tersebut. Berbeda dengan Buya Hamka yang berpendapat bahwa umat Islam tidak boleh memilih pemimpin dari kalangan non-muslim. Tentu keadaan sosio-histori mufasir menjadi salah satu penyebab adanya perbedaan dalam menafsirkan ayat tersebut.
Dari pendapat yang kedua ini, kemudian menimbulkan berbagai macam reaksi dari masyarakat, salah satunya adalah muncul anggapan bahwa perintah memilih pemimpin dari kalangan muslim bagi umat Islam ini merupakan bentuk diskriminasi atau ketidakadilan terhadap agama lain. Benarkah demikian? Untuk menjawab dugaan tersebut penulis mencoba mengambil penjelasan dari Buya Yahya dalam kanal YouTube-nya, Al-Bahjah TV pada serial Buya Yahya Menjawab, yang akan dipaparkan pada pembahasan selanjutnya.
Baca Juga: Penafsiran Hamka terhadap Larangan Memilih Pemimpin Non-Muslim
Menjembatani Perbedaan dengan Berpikir Adil
Dalam menanggapi isu ini Buya Yahya mencoba menganggapinya dengan memberikan alur berpikir secara adil, di mana beliau menjelaskan bahwa semua agama mempunyai rambu-rambu atau aturannya tersendiri, baik umat Islam, Yahudi, maupun Nasrani. Semua aturan itu tidak lain adalah untuk menyeru kepada agamanya. Lebih lanjut Buya Yahya menjelaskan bahwa dalam setiap agama pasti memiliki hukum halal, haram atau boleh, tidak boleh mengenai sesuatu, termasuk dalam urusan memilih pemimpin.
Islam mempunyai rambu-rambu dalam masalah memilih pemimpin, Alquran menjelaskan tentang boleh tidaknya mengambil pemimpin dari golongan non-muslim. Hal ini di kalangan umat Islam merupakan pembahasan yang sangat masyhur. Begitu pula dengan umat Yahudi dan Nasrani yang dalam keyakinan mereka juga dianjurkan untuk memilih pemimpin dari golongan mereka, pembahasan ini juga telah masyhur di kalangan mereka. Sehingga dari sini jelas bahwa tiap agama memiliki kaidah yang berbeda untuk dijadikan pegangan.
Dari sini kemudian Buya Yahya menjelaskan bahwa hal ini bukan merupakan bentuk ketidakadilan atau diskriminasi terhadap pemeluk agama lain, karena itu merupakan hakikat dalam sebuah agama. Tiap-tiap agama pasti mempunyai hujjah yang berbeda-beda. Secara lebih rinci, Buya Yahya memberikan contoh bahwa tidak akan ada golongan Yahudi dan Nasrani yang menyuruh pengikutnya untuk memilih pemimpin dari golongan Islam, begitupun sebaliknya.
Mengenai hal ini, Buya Yahya menjelaskan bahwa tiap-tiap agama mempunyai prinsip, sehingga apabila umat Yahudi Nasrani menganjurkan pemeluknya untuk memilih pemimpin dari golongannya, bukan merupakan hal yang salah, karena itu merupakan prinsip yang dianut dalam agamanya. Selain itu, umat Islam juga memiliki prinsip yang demikian yakni memilih pemimpin dari golongan Islam. sehingga dari sini dapat dipahami bahwa tiap-tiap agama pasti memiliki prinsip yang berbeda antara satu sama lain.
Cara berpikir seperti itulah yang menurut Buya Yahya adil. Karena dengan cara tersebut, dapat meluruskan anggapan adanya unsur diskriminasi atau ketidakadilan dalam larangan memilih pemimpjn non-muslim bagi umat Islam.
Baca Juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf: Menjadi Pejabat di Bawah Kepemimpinan Non-Muslim
Pesona Toleransi: Pelajaran dari Tersiratnya Penuturan
Jika diperhatikan lebih dalam, penjelasan Buya Yahya di atas terlihat bahwa beliau ingin menekankan pentingnya toleransi antar pemeluk agama dengan mengatakan bahwa setiap agama mempunyai prinsip atau keyakinan yang dianggapnya benar. Sikap toleransi dalam kehidupan beragama akan terwujud jika ada kebebasan beragama dalam masyarakat untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Q.S Albaqarah [2]: 256;
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Berdasarkan ayat di atas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama. Karena dengan adanya paksaan, maka akan timbul jiwa yang tidak damai. Oleh karena itu, Allah secara tegas menyatakan dalam firman-Nya bahwa tidak ada paksaan dalam menganut akidah Islam.
Sehingga, dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Islam memberikan kebebasan kepada umat beragama untuk memeluk agamanya masing-masing tanpa adanya ancaman dan tekanan. Tidak ada paksaan bagi non-muslim untuk mempercayai dan memeluk keyakinan umat Islam. Islam juga memberi kebebasan kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan ajaran agamanya selama tidak keluar dari garis-garis syariah dan aqidah. Termasuk dalam hal ini adalah kebebasan dalam memilih pemimpin berdasarkan keyakinannya.
Indonesia sendiri merupakan negara majemuk yang di dalamnya terdiri dari banyak suku, budaya, ras, dan agama. Oleh sebab itu, sikap toleransi menjadi penting untuk di terapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga sikap toleransi dalam menentukan pemimpin berdasarkan keyakinan tiap pemeluk agamanya. Dengan sikap toleransi ini, maka anggapan adanya diskriminasi atau ketidakadilan dalam sistem pemilihan pemimpin dapat diluruskan.
Wallahu a’lam.