Perjalanan Teks Al-Quran: Transisi Media dan Otoritas

Teks Al-Quran
Teks Al-Quran

Bagi sebagian teman yang belum belajar lebih dalam tentang sejarah al Quran, mungkin belum tahu bagaimana perjalanan teks al-Quran dan transisi otoritas dari masa ke masa. Al-Quran yang kita kenal saat ini melewati dinamika sejarah panjang sejak diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. Artikel ini akan mengungkap aspek sejarah al-Quran terutama kaitannya dengan proses transisi media untuk mengenal al-Quran di masyarakat.

Perjalanan teks Al Quran berawal secara dominan dari teks lisan, terlepas dari perdebatan sejarah bagaimana teks tulisan itu pertama kali ada. Sebagai teks lisan karakternya tentu berbeda dengan teks tulisan seperti yang kita pahami sekarang. Sebagai teks lisan maka al-Quran bagian dari alat komunikasi. Al-Quran menjadi bagian dari keseharian, bagian dari kehidupan Orang Arab saat itu bersama dengan Nabi.

Al-Quran selama 22 tahun lebih, hampir 23 tahun,  dengan karakter kelisanannya, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat awal penerima wahyu. Tanpa diminta untuk merasakannya pun, al-Quran menjadi bagian dari kedirian Orang Arab saat itu.

Sebagai teks lisan, Nabi sebagai penerima wahyu menjadi otoritas tunggal untuk melakukan konfirmasi terhadap setiap informasi, kegamangan, dan kegalauan yang mereka temukan dari al-Quran atau bahkan kegalauan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari hari.

Ada problem apa pun datang ke Nabi. Maka Nabi saw akan jawab dengan al-Quran. Kalau tidak ada ayat al-Qurannya, maka Nabi menjawab dengan pernyataaannya sendiri. Pernyataan ini yang kemudian menjadi hadis.

Jadi di dalam praktik keseharian Nabi dan para sahabat pada saat itu teks Al-Quran menyetubuh. Artinya menjadi bagian yang tak terpisahkan. Lalu ada otoritas tunggal, yaitu Nabi sebagai sumber rujukan untuk semuanya.

Tetapi semuanya mulai bergeser. Karena kelisanan itu membuka ruang dinamika yang sangat terbuka dan membuka berbagai kemungkinan. Ini yang terjadi dalam sejarah al-Quran. Ada ragam cara baca dan ragam cara pemahaman. Tidak jarang perbedaan itu membawa problem-problem sosial, bahkan membawa problem politik.

Maka sesudah Nabi Saw meninggal, orang membutuhkan media tambahan. Media tulisan yang dulu sekedar pendamping, menjadi sesuatu yang sangat krusial. Mulai dari masa kodifikasi di masa Utsman bin Affan kemudian secara khat penulisan terus disempurnakan dari masa ke masa mulai dari Abul Aswad Al-Duwali, Yahya bin Ya’mur sampai masa al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi.

Baca Juga: Sebagian Karakteristik Ortografi Mushaf Utsmani

Umat Musllim dan masyarakat pada umumnya di masa ini mulai mengenal teks tertulis dari al-Quran yang relatif sempurna. Sempurna dalam arti bila dibandingkan dengan teks-teks sebelumnya yang hanya berfungsi nemonik. Tetapi teks ini masih berupa teks tulisan yang fungsinya masih kolaborasi. Artinya dia adalah teks penyerta dari teks lisan yang menjadi acuan utama al-Quran untuk ditransmisikan dan diajarkan. Jadi tetap otoritas lisan dan personal para sahabat, para tabiin, para guru-guru Quran itu menjadi rujukan utama.

Waktu terus berjalan panjang. Singkat cerita masuklah ke fase baru, yaitu fase percetakan. Masuk ke masa cetak, dari sini perjalanan teks Al-Quran mulai berubah. Sebelum masa percatakan dibutuhkan konfirmasi personal secara langsung dengan orang, setelah ditemukan mesin cetak orang mulai mengenal konsep intertekstualitas. Setiap pertanyaan bisa dikonfirmasi dengan teks. Dunia pengetahuan sendiri mulai mengalami masifikasi, syarah dan sebagainya mulai berkembang lebih kuat karena dibantu oleh masifikasi percetakan.

Disadari atau tidak, ada proses transisi otoritas di dalam pemaknaan al-Quran saat itu. Jadi kalau dulu orang masih mengandalkan kepada kepada otoritas lisan, sekarang orang bisa melalukan crossing dengan teks-teks yang lain karena masifikasi teks yang begitu cepat.

Sampai titik itu saja sudah mengalami pergeseran yang luar biasa. Sekarang tafsiralquran.id berada di fase keempat bahkan fase kelima. Berada di fase yang jauh lebih berbeda dengan fase pertama.

Kita masuk di fase digital. Di fase digital ini ada masifikasi yang jauh lebih masif dibandingkan dunia printing. Tidak hanya itu, kalau pada masa printing kita mengalami transisi dari otoritas personal ke otoritas teks, maka pada fase digital, kita mengalami fase yang lain lagi.

Di dalam dunia digital kita mengenal orang-orang yang disebut dengan digital native, sebagian besar temen-temen mungkin digital native. Orang-orang yang berumur 40-an tahun ke atas, bisa dikatakan digital imigrants. Berbeda dengan digital native, orang-orang digital immigrants sedikit banyak masih dipengaruhi oleh kultur-kultur yang ada disekitarnya.

Bagaimana pun masifikasi tulisan tadi, digital immigrants tidak sepenuhnya mematikan otoritas otoritas lisan yang personal. Maka mereka ini, sekalipun sudah punya buku, dalam kesempatan lain masih mengandalkan otoritas personal. Karena sisi kelisanan tidak sepenuhnya hilang. Karena budaya membaca, budaya literasi juga tidak banyak. Artinya, karakter kelisanan itu masih ada.

Nah bagaimana digital immigrants seperti banyak orang tua kita? Sekalipun ada dunia digital, tetapi mereka tetap akan mengkonfirmasi pengetahuan kepada sumber-sumber personal.

Baca Juga: Konsep Sunnah Muttaba‘ah dalam Al-Qur’an: Talaqqi Digital

Berbeda dengan digital native, bagi mereka konfirmasi pengetahuan itu juga adanya di dunia digital. Maka, penting apa yang disampaikan Prof. Quraish, bahwa rumus masuk dunia digital itu adalah maa laa yudraku kulluh laa yutraku kulluh (apa yang tidak bisa didapatkan seluruhnya, maka tidak ditinggalkan seluruhnya).

Karena digital native yang mungkin akan membaca tulisan di tafsiralquran.id. Mereka akan mengkonfirmasi pengetahuan itu juga ke dunia digital. Padahal pada saat yang sama, sifat kolom dalam dunia digital itu berbeda sekali dengan sifat artikel jurnal, apalagi dengan sifat buku. Empat halaman berbanding dua puluh tiga puluh halaman, berbanding tiga ratusan halaman. Tentu empat halaman, beberapa karakter itu, tidak akan bisa mengungkapkan semuanya. Wallahu A’lam.

(Artikel ini disarikan dari materi yang disampaikan Ahmad Rafiq, Ph.d pada saat launching tafsiralquran.id)