BerandaTafsir TematikPesan al-Ḥaddād untuk Penanya dan Orang yang Ditanya

Pesan al-Ḥaddād untuk Penanya dan Orang yang Ditanya

“Di sini ilmu sudah mati.” Kurang lebih demikian kata Imam Sufyan as-ṡ-Ṡaurī ketika berada di daerah yang penduduknya enggan bertanya perihal ilmu. Dengan penuh kecewa, dia bergegas meninggalkan daerah tersebut (Ihyā` ‘Ulūm ad-Dīn, 1/19). Betapa komentar ulama ahli hadis dari Kufah ini sangat mendalam pesan moralnya.

Pasalnya, ilmu bisa berkembang dan semakin kuat salah satunya dengan bertanya. Tidak jarang sebuah peradaban besar lahir dari jawaban atas sebuah pertanyaan.

Saking pentingnya bertanya, Alquran yang salah satu fungsinya sebagai kitab petunjuk, memberi arahan kepada umatnya untuk bertanya, bahkan tentang hal yang terlihat remeh. Allah sendiri tidak sungkan untuk membahas dan menyebut sesuatu yang terlihat ‘kecil’ seperti nyamuk (Q.S. al-Baqarah [2]: 26) dan rumput (Q.S. ‘Abasa [80]: 31).

Mengenai perintah bertanya, dalam surah an-Nahl [16]: 43 Allah berfirman:

فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ…..

“…..Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

Tidak berhenti pada anjuran untuk bertanya, Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad menjelaskan lebih lanjut tentang adab dan etika bertanya. Pesan al-Haddad ini tidak hanya ditujukan pada penanya saja, tapi juga pada orang yang ditanya.

Baca Juga: Banyak Bertanya itu Tidak Baik, Simak Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 101-102

Etika Bertanya

Dalam karyanya yang berisi jawaban atas pertanyaan yang diajukan, Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad membahas banyak hal tentang bertanya. Kitab tersebut bernama Itāf as-Sā`il bi Jawāb al-Masā`il. Pembahasan ini bisa ditemukan pada bagian pendahuluan dari kitab ini. Berikut pesan-pesan pemilik Ratib al-Haddad untuk penanya dan yang orang ditanya.

  1. Perbanyak tanya sesuai tempatnya

Dalam surah al-Mā`idah [5]: 101, Allah melarang orang beriman untuk banyak bertanya kepada Nabi perihal sesuatu yang kemungkinan jawaban tersebut akan memberatkan diri mereka sendiri. Mengenai ayat ini, al-Ḥaddād menegaskan bahwa meskipun larangan ini bersifat umum, namun ia terbatas pada pertanyaan seputar hukum. Ayat ini tidak berlaku dalam proses belajar mencari ilmu. Pepatah Arab berkata as-su`ālu miftāḥ kulli ‘ulūm (bertanya adalah kunci setiap ilmu).

  1. Gunakan kalimat tanya yang efektif

Pesan al-Haddad berikutnya bagi penanya adalah saat akan mengajukan pertanyaan, tidak jarang seseorang bertele-tele dalam menyampaikan mukaddimah-nya. Meski tujuannya agar lebih terarah, acap kali hal ini membuat pertanyaan menjadi kurang bisa ditangkap dengan sempurna.

Dari sini, penentuan poin pertanyaan dan kalimat yang efektif sangat dibuthkan dalam bertanya. al-Ḥaddād mengungkapkan maksud ini dengan mengutip hadis Nabi yang berbunyi usn as-su`āl nif al-‘ilm. “Pertanyaan yang bagus merupakan setengah dari ilmu pengetahuan” demikian kurang lebih makna hadis hadis yang dinilai daif oleh para ulama ini (‘Umdatl-Qārī Syar aī al-Bukhārī; 34/243).

Jika diperhatikan, hadis ini sangat benar. Pasalnya, jawaban yang diberikan biasanya sesuai dengan pesan yang ditangkap dari pertanyaan. Jika pesan tersebut sudah tidak tepat, jangan berharap akan mendapatkan jawaban (ilmu) yang akurat.

  1. Perhatikan adab bertanya

Pertanyaan merupakan ungkapan seseorang yang motifnya tidak tunggal. Adakalanya bertujuan untuk mencari tahu jawaban, mengetes kemampuan seseorang, mengoreksi atau yang lainnya. Imam al-Ḥaddād menganjurkan murid atau pelajar untuk bertanya dengan tujuan mencari tahu (istifādah) saja. Beliau mengingatkan mereka agar tidak bertanya dengan tujuan imtiḥān (ngetes kemampuan gurunya), karena hal ini bisa menyebabkan terhalangnya ilmu dan keberkahannya serta kerugian diri mereka sendiri kelak.

Selain dalam rangka mencari tahu, hendaknya pertanyaan yang disampaikan berasal dari rasa kesungguhan ingin mengetahui suatu hal, rasa senang untuk mengetahuinya, dan adab yang baik. Di antara adab yang dianjurkan antara lain tidak meninggikan suara dalam menyampaikan pertanyaan. Hal ini tafa’ulan terhadap cara komunikasi para sahabat dengan Nabi. Melalui surah al-Ḥujurāṭ [49]: 2 Allah menghimbau mereka untuk tidak meninggikan suaranya ketika bersama Nabi dalam satu majlis.

Mengenai bertanya dengan tujuan imtiān (mencari tahu kemampuan yang ditanya), al-Ḥaddād hanya memperbolehkannya dalam dua hal. Pertama, ditujukan kepada orang yang merasa pintar hingga enggan belajar lagi dan tidak menghormati orang lain. Kedua, ditujukan kepada orang munafik yang hanya pandai menyampaikan materi saja.

Orang semacam ini, biasanya berani menyampaikan sesuatu tanpa ilmu. Untuk menghindari merebaknya materi keagamaan yang tidak benar, orang tersebut boleh dikasih pertanyaan di hadapan jamaahnya. Tujuannya tidak lain sebagai bentuk nasihat baginya dan pemberitahuan kepada jamaahnya akan kekeliruan dan kebodohan orang tersebut.

Baca Juga: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 43-44

Pesan untuk Orang Alim

Pesan al-Haddad ditujukan pula untuk orang yang ditanya, karena hal ini juga dianggap berpengaruh pada jawaban yang diberikan. orang yang ditanya biasanya dianggap sebagai orang alim, yakni orang yang mempunyai ilmu tentang suatu perkara.

  1. Deklarasikan dirimu sebagai ahli ilmu

Seorang dokter biasanya mendeklarasikan diri sebagai dokter dengan memasang plang. Tujuannya agar masyarkat tahu harus ke mana ketika akan berobat. Jika yang berkaitan dengan penyakit fisik saja demikian adanya, bagaimana dengan penyakit batin dan bodoh? Dari sini, al-Ḥaddād menghimbau orang yang faham agama untuk mendeklarasikan diri sebagai orang alim. Tujuannya agar dikenal masyarakat dan menjadi rujukan mereka dalam bertanya. Hal ini sudah lazim dilakukan ulama salaf dan khalaf. Sebagaimana dikisahkan oleh sahabat Ali, Ibn Mas’ūd, Ibn ‘Abbās, Ibn ‘Umar, Abu Hurairah, dan lainnya.

  1. Jawab pertanyaan sesuai kemampuan

Setelah mendeklarasikan diri sebagai ahli ilmu, hendaknya seseorang tidak menyembunyikan ilmunya dari orang lain. Selain sebagai bentuk pertanggungjawaban, hal ini juga dalam rangka menghindari ancaman yang tidak diinginkan nanti. Al-Ḥaddād mengutip hadis Nabi yang artinya kurang lebih “orang yang ditanya kemudian dia menyembunyikannya, pada hari kiamat mulutnya akan dikekang dengan kekangan yang terbuat dari api”.

Namun demikian, hendaknya orang alim tadi tidak berlebihan dalam memberikan jawaban, termasuk ketika orang alim tersebut tidak menguasai perihal pertanyaan yang diajukan. Sekelas sahabat Abu Bakar (atau dalam riwayat yang lain sahabat Umar bin Khattab) dengan jelas mengatakan ketidaktahuannya tentang makna kata أبّا dalam ayat وفاكهة و أبّا. Oleh karena itu, dalam hal ini, dia harus menjunjung tinggi kejujuran.

  1. Perhatikan kondisi penanya

Tidak semua pertanyaan harus direspon sesuai apa adanya, karena adakalanya yang bertanya akan kesulitan memahami jawabannya, atau bahkan sebuah jawaban bisa membahayakan bagi penanya. Jawaban harus ditakar dan disesuaikan dengan kemampuan dan kesiapan yang bertanya. Rasulullah saw. memberi jawaban yang berbeda untuk pertanyaan yang sama dari beberapa sahabat, karena mempertimbangkan keadaan sahabat yang bertanya. Seorang guru ibarat ayah yang sangat sayang kepada anaknya. Dia akan senantiasa berkomunikasi berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan yang akan diperoleh putranya.

Demikian pandangan al-Ḥaddād terhadap pesan moral surah an-Nahl [16]: 43. Etika bertanya hendaknya selalu dipraktikkan, seperti menjaga adab, menggunakan kalimat yang efisien, dan tidak ada maksud lain selain ingin tahu. Adapun bagi orang alim –terlebih di era digital yang segala informasi bisa diketahui dengan mudah– hendaknya mendeklarasikan diri sebagai ‘dokter agama’ yang menjunjung tinggi kejujuran dan memahami kondisi orang yang bertanya. Wallāhu a’lam.

Syafiul Huda
Syafiul Huda
Musyrif dan mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU