Klaim bahwa Alquran merupakan jiplakan dari kitab-kitab terdahulu, atau dari sumber-sumber kuno lainnya, merupakan di antara tema sentral dalam diskursus orientalis. Apabila melihat dari coraknya, setidaknya ada tiga kritik orientalis terhadap Alquran.
Pertama. Kritik terhadap autentisitas sumber. Corak ini sering disebut dengan behind the text. Salah satu pionirnya adalah Montgomery Watt.
Kedua. Kritik terhadap autentisitas kandungan Alquran. Adapun terhadap sumber Alquran, orientalisme dengan corak ini menerima bahwa Alquran adalah otentik berasal dari Nabi dengan tetap memandang ia bukanlah wahyu (divine revelation).
Ketiga. Corak ketiga adalah gabungan dari keduanya.
Simak satu “kaidah” yang melandasi teori plagiarisme Alquran ini;
“Jika ada kesamaan antara teks yang datang kemudian dengan yang telah ada sebelumnya, maka, teks yang datang kemudian menjiplak dari teks yang telah ada sebelumnya.”
Berpijak dari “kaidah” di atas, sementara orientalis sampai pada kesimpulan bahwa kesamaan antara Bibel dan Alquran menandakan Alquran “meminjam” kandungan Bibel. Apabila hendak menguji konsistensi dari kaidah di atas, hal itu tidak terlampau sulit. Misalnya, ia dapat diterapkan terhadap Bibel itu sendiri.
Contohnya, terdapat hukum yang serupa dengan qisas dalam Perjanjian Baru (bibel Nasrani). Matius 5:38 menyebutkan bahwa ganjaran mata diganti dengan mata. Ternyata ia ada di dalam Tanakh atau Bibel Yahudi, yakni Keluaran 21:24 disebutkan hal serupa, bahwasanya bahwa ayin tachat ayin; balasan mata adalah mata. Ada beberapa ayat serupa di dalam Perjanjian Lama.
Usut punya usut, dalam undang-undang Hammurabi pun terdapat “hukum” semisal. Dalam poin 196 tertera; 𝘶𝘮𝘢-𝘮𝘢 𝘢-𝘸𝘪-𝘭𝘶𝘮, 𝘪-𝘪𝘯 𝘮𝘢𝘳 𝘢-𝘸𝘪-𝘭𝘪𝘮… [Jika seseorang mengambil mata orang lain, maka mata orang itu harus diambil].
Dalam runutan timeline, Hammurabi hidup di abad 18 SM. Adapun biblikal Musa konon hidup konon di abad 14-13 SM. Sementara “Taurat” menurut cendekiawan barat ditulis pada abad 6 SM.
Apabila konsisten menggunakan kaidah plagiarisme di atas, konsekuensinya bukan saja Perjanjian Baru dipandang menjiplak dari Tanakh, bibel Yahudi itu sendiri pun menjiplak dari undang-undang Babilonia Kuno yang notabene bukan menganut agama Abrahamik.
Meski bisa jadi banyak orientalis tidak keberatan dengan konklusi di atas, tentu tidak sedikit dari cendekiawan ahli kitab yang akan menolak kesimpulan ini dengan mengajukan beragam apologetika bahwa bibel itu otentik, tidak seperti Alquran.
Tampak adanya nuansa standar ganda dalam klaim plagiarisme Alquran ini. Pertama, jika ada persamaan dengan Bibel, Alquran disebut menjiplak. Kedua, Jika ada perbedaan antara keduanya, Alquran disebut heresy atau bidat dari tradisi Abrahamik. Sehingga bagaimanapun keadaannya, Alquran akan selalu keliru dalam tashawur plagiarisme Alquran ini.
Tampaknya memang, inkonsistensi dan standar ganda ini akan selalu lestari, sebab; Wa lan tarḍho ‘an kal-yahụdu wa lan naṣhoro ḥatta tattabi’a millatahum.
Baca Juga: Inilah Beberapa Argumentasi Orientalis dalam Mematahkan Autentisitas Al-Quran
Rekaman Alquran tentang gugatan terhadapnya
Jangan dikira hal yang baru, gugatan terhadap autentisitas sumber Alquran (behind the text) ini sudah bergulir di fase-fase awal dakwah Nabi, jauh sebelum kajian barat menginisiasi kajian orientalisme.
Dalam banyak tempat di dalam Al Qur’an, Allah mengabarkan bahwa ketika orang-orang tidak beriman itu dibacakan kepada mereka Alquran, mereka mengatakan:
إِنْ هَٰذَآ إِلَّآ أَسَٰطِيرُ ٱلْأَوَّلِينَ
Ini tidak lain hanyalah dongeng-dongengan orang-orang purbakala. [Q.S. Al-Anfal: 3]
Juga dalam Firman Allah lainnya:
وَقَالُوٓا۟ أَسَٰطِيرُ ٱلْأَوَّلِينَ ٱكْتَتَبَهَا فَهِىَ تُمْلَىٰ عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
Dan mereka berkata: “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakan-lah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang” [Q.S. Al-Furqan: 5]
Imam At-Tabari menguraikan di antara makna ayat di atas adalah: Alquran bagi sementara musyrikin Makkah merupakan jiplakan kisah-kisah kuno umat terdahulu. Mereka juga menduga, masih dari ahli tafsir yang lahir dii Tabaristan itu, bahwa Rasulullah mendapatkannya dari kaum Yahudi; At-Thabari mengatakan; aktatabaha Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam ‘an Yahudi.
Senada, Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan, Ibnu Abbas memandang kaum muyrik menuduh Rasulullah “menjiplaknya” dari tiga orang yang semuanya adalah ahli kitab; Abu Fukaihah maula Bani al Hadramiy, ‘Addas, dan Jabir. Demikian penjelasan Tafsir Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an.
Baca Juga: Pandangan W. Montgomery Watt Tentang Pengumpulan Al-Quran dan Kritik Atasnya
Kajian orientalis mengulang kembali keraguan terhadap Alquran
Belasan abad berselang, argumen penganut paganisme di Makkah dahulu kembali menggema melalui kajian orientalisme.
Melalui karyanya Islam and the West: A Historical Survey, Philip K Hitti mengatakan,
“The sources of the Qur’ân are unmistakable: Christian, Jewish and Arab heathen.” (Sumber-sumber Alquran tidak syak lagi berasal dari Kristen, Yahudi dan tradisi pagan Arab)
Hitti berspekulasi, di Hijaz dahulu terdapat komunitas saudagar dan budak-budak beragama Nasrani. Dari mereka itu-lah Rasulullah, mafhum dari perkataan Hitti, “meminjam” tradisi Nasrani.
Tetapi pandangan Hitti ini bukanlah “ijma” di kalangan orientalis. Richard Bell misalnya dalam The Origin of Islam in Its Christian Environment, hal. 24 mengatakan,
“There is no good evidence of any seats of Christianity in the Hijaz or in the near neighbourhood of Mecca or even of Medina” (Tidak terdapat bukti cukup yang menunjukkan adanya pondasi [komunitas] Nasrani di Hijaz, atau di wilayah sekitar Mekkah dan juga sekitar Madinah)
Tidak hanya itu, orientalis lainnya bernama Christy Wilson dalam karyanya Introducing Islam mengatakan bukan Nasrani, tapi tradisi Judaisme, yang merupakan sumber jiplakan Alquran. Perkataan Wilson diamini oleh Charles Torrey dalam karyanya The Jewish Foundation of Islam.
Terlepas dari kesimpangsiuran pengkaji oriental dengan klaim-klaim “besar” yang seringkali dinilai minim bukti empirik, kecuali presuposisi dan asumsi, klaim plagiarisme Alquran selalu muncul dalam kemasan inovatif yang masih “menarik”.
Baca Juga: Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan Al-Quran Terhadap Yahudi dan Nasrani
Sebenarnya, dan juga semestinya, kesamaan tidak melazimkan plagiarisme. Ada tiga poin yang layak untuk dipertimbangkan. Penyebutan jumlah tiga poin di atas tidaklah membatasi.
Pertama. Kesamaan antara satu teks dengan teks yang lain menunjukkan mereka bermuara pada sumber yang sama.
Kedua. Teks yang datang kemudian meluruskan distorsi pada teks sebelumnya. Hal ini termasuk menegaskan apa yang dihilangkan dan mengingatkan kembali apa yang (sengaja) dilupakan.
Ketiga. Ia menjadi bukti kebenaran teks yang datang kemudian. Poin ketiga ini membutuhkan uraian historis. Karenanya saya akan mengurainya dalam artikel lanjutan di kemudian hari, Insya Allah.
Poin pertama di atas kita dapati di dalam Alquran.
إِنَّ هَٰذَا لَفِى ٱلصُّحُفِ ٱلْأُولَىٰ
Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, [Q.S. Al-A’la: 18]
نَزَّلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنزَلَ ٱلتَّوْرَىٰةَ وَٱلْإِنجِيلَ
Dia menurunkan Al Kitab (Alquran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. [Q.S. Ali Imran: 3]
وَمَا كَانَ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانُ أَن يُفْتَرَىٰ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَٰكِن تَصْدِيقَ ٱلَّذِى بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ ٱلْكِتَٰبِ
Tidaklah mungkin Alquran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, [Q.S. Yunus: 37]
Cukup banyak ayat-ayat semisal yang dapat kita temui di dalam Alquran.
Poin kedua, “kesamaan” itu bermanfaat untuk pengingat bagi Ahli Kitab, bahwa banyak dari kandungan kitab yang ada di sisi mereka telah dirubah, baik tahrif bil ma’na (interpretasi) maupun tahrif bil nash (redaksi).
Dalam artikel selanjutnya, saya akan membawa Pembaca Budiman menelusuri lebih dalam mengenai klaim plagiarisme Alquran ini dari aspek historis. Insyaallah.
Wallahu a’lam.