Alasan Puasa Enam Hari di Bulan Syawal Bernilai Puasa Setahun

Alasan Puasa Enam Hari di Bulan Syawal Bernilai Puasa Setahun
Puasa Enam Hari di Bulan Syawal Bernilai Puasa Setahun

Puasa merupakan ritual umat Islam-bahkan juga umat sebelumnya-untuk mencapai derajat yang baik lagi. Puasa juga memiliki ketentuan hukum yang berbeda-beda, ada yang wajib, sunah, makruh, bahkan haram. Salah satu puasa yang status hukumnya sunah adalah puasa enam hari di bulan Syawal.

Puasa enam hari di bulan Syawal dilaksanakan selama enam hari, baik berturut-turut atau bisa juga secara terputus, di bulan Syawal. Sama halnya dengan puasa lain, puasa enam hari di bulan Syawal ini juga memiliki tingkatannya. Hal ini perlu diketahui untuk melihat sampai mana kualitas puasa kita.

Salah satu ikhtiar untuk meningkatkan kualitas puasa adalah dengan mengetahui ketentuan hukum dan dalilnya. Sebab, dengan mengetahuinya keyakinan kita akan bertambah bahwa amal tersebut memiliki dasar dan dianjurkan oleh agama.

Selain itu, pengetahuan tentang keutamaan amal ibadah juga tidak bisa dinafikan dalam proses meningkatkan kualitas amal tersebut. Karena mengetahui “keutamaan” akan mendorong seseorang untuk terus memperbaiki kualitas ibadanya dan berusaha supaya amalnya diterima.

Oleh karena itu, dua unsur itu (anjuran dan keutamaan) penting ditelusuri dan diketahui supaya puasa enam hari di bulan Syawal memiliki nilai dan efek baik bagi yang melaksanakannya.

Dalil hukum puasa enam hari di bulan Syawal

Secara eksplisit, anjuran disunahkannya puasa di bulan Syawal termaktub dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub al-Anshari, Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ ‌صَامَ ‌رَمَضَانَ ‌ثُمَ ‌أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan kemudian dilanjutkan dengan enam hari di bulan Syawal, maka puasanya seperti puasa setahun” (H.R. Muslim) (Shahih Muslim, no. 1164; juz 2, hal. 822).

Walaupun hadis di atas masih dalam ranah perdebatan, tetapi bagi mazhab Syafii, Ahmad bin Hanbal, dan Dawud sudah jelas bahwa hadis itu merupakan hadis sahih dan bisa dijadikan legitimasi kesunahan puasa enam hari di bulan Syawal.

Pendapat tersebut berbeda dengan mazhab imam Malik dan Abu Hanifah yang berpendapat bahwa puasa enam hari di bulan Syawal itu makruh. Sebab, menurut mereka tidak ada seorang pun dari ahli ilmu melaksanakan puasa tersebut; dan dikhawatirkan masyarakat umum menganggap wajib puasa enam hari di bulan Syawal itu.

Keragaman pendapat tersebut telah ditulis oleh Imam Nawawi (w. 676 H) dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (8: 56).

Masih dalam rujukan yang sama, Imam Nawawi berpendapat bahwa jika puasa enam hari di bulan Syawal dianggap wajib, maka tidak akan berbeda dengan puasa Arafah, ‘Asyura, dan puasa sunah lainnya. Pendapat ini juga, sekaligus memperkuat bahwa status hukum puasa enam hari di bulan Syawal adalah sunah.

Adanya perdebatan tersebut bukan untuk dibenturkan, namun harus disikapi sebagai khazanah intelektual ulama terdahulu. Ini juga sebagai bentuk rahmat bagi umat.

Baca juga: Surah Albaqarah [2] Ayat 185: Anjuran Bertakbir di Hari Raya dan Bacaannya

Rasionalisasi keutamaan puasa enam hari di bulan Syawal

Di samping mengandung anjuran untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal, hadis tersebut juga mengisyaratkan keutamaannya, yaitu setara dengan puasa setahun. Hal ini didukung dengan dalil yang termaktub dalam Q.S. Alan’am [6]: 160:

مَنْ جَاۤءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهٗ عَشْرُ اَمْثَالِهَا ۚوَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزٰٓى اِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ

“Siapa yang berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipatnya. Siapa yang berbuat keburukan, dia tidak akan diberi balasan melainkan yang seimbang dengannya. Mereka (sedikit pun) tidak dizalimi (dirugikan)”.

Secara umum, ayat tersebut berlaku untuk semua perbuatan baik, termasuk beriman dan amal saleh. Semua itu akan mendapatkan kebaikan hingga sepuluh kali lipat.

Menurut Musthafa al-Maraghi (w. 1371 H), siapa yang datang kepada Tuhannya di hari kiamat dengan berbagai kebaikan (ketaatan) dan hatinya penuh ketenangan karena keimanannya, maka dia akan dibalas pahala sepuluh kali lipat (Tafsir al-Maraghi, 8: 86).

Selanjutnya, al-Maraghi menyebutkan bahwa pahala sepuluh kali lipat itu tidak termasuk balasan yang berlipat ganda dari Allah Swt. sebagaimana yang telah dijanjikan dalam Q.S. Albaqarah [2]: 245 dan 261.

Jika menelusuri ayat di atas, maka kita akan memahami bahwa ada keterkaitannya dengan hadis di atas. Dapat kita katakan bahwa ayat itu sebagai “penegasan” pada kalimat “seperti puasa setahun”. Lantas bagaimana rasionalisasinya?

Jumlah hari dalam satu tahun itu sekitar 360 hari. Sebelum melaksanakan puasa sunah enam hari di bulan Syawal, kita berpuasa di bulan Ramadan selama 30 hari (1 bulan). Berdasarkan Q.S. Alan’am [5]: 160 di atas, kita akan mendapatkan 300 kebaikan.

Kemudian, ditambah dengan puasa sunah enam hari di bulan Syawal, jika dilipat gandakan sepuluh kali lipat, akan bernilai 60 kebaikan. Dengan demikian, orang yang berpuasa di bulan Ramadan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka nilainya setara dengan satu tahun (360 hari).

Walaupun dapat dipahami dengan akal, tetapi kita harus meyakini bahwa balasan kebaikan dari Allah Swt. tidak terbatas. Hal ini seharusnya menjadi stimulus bagi kita untuk lebih berusaha dan bersungguh-sungguh dalam beramal baik, termasuk puasa enam hari di bulan Syawal ini. Wallahu a’alam.

Baca juga: Makna Salat Id pada Hari Raya Idul Fitri