Polemik dan Contoh Tafsir Nabi

Polemik dan Contoh Tafsir Nabi
Polemik dan Contoh Tafsir Nabi

Nabi Muhammad saw. adalah manusia yang menerima wahyu Tuhan, yang kemudian beliau sampaikan kepada umatnya (Muhammad, Tafsir Nabi, 2001: 15). Sebagaimana yang tertuang dalam QS. Al-Maidah [5]: 67,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغْ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُۥ ۚ وَٱللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ ٱلنَّاسِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْكَٰفِرِينَ

“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

Tentunya, beliau sebagai penerima wahyu (audiens pertama), turut menafsirkan Alquran. Sebab, kita telah pahami bersama, bahwa apa yang ada dalam Alquran, tidak semuanya adalah ayat muhkam (jelas, yang tidak memerlukan penafsiran). Ada sebagian ayat yang muskil. Lantas, yang menjadi sebuah persoalan adalah apakah Nabi menafsirkan Alquran, dan berapa banyak ayat yang ditafsirkan oleh Nabi saw.?

Terdapat tiga argumen mengenai apakah Nabi Muhammad saw. menafsirkan sedikit atau seluruh Alquran. Imam al-Zahabi dalam kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun menyebutkan, ada dua kelompok yang memiliki argumen berbeda mengenai jumlah ayat yang ditafsirkan oleh Nabi saw..

Pertama, kelompok yang memahami bahwa Nabi saw. menafsirkan sedikit dari Alquran. Salah satu tokoh yang berargumen demikian adalah al-Khaubi dan al-Suyuthi (al-Zahabi, Tafsir wa al-Mufasirun, 2010; Abdurrahim Muhammad, Tafsir Nabi, 2001). Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menafsirkan seluruh ayat dalam Alquran.

Baca juga: Tafsir Surah Annasr: Pembebasan Kota Makkah dan Isyarat Wafatnya Nabi

Nabi saw. hanya menafsirkan sedikit dari Alquran. Hal ini dipahami dari beberapa argumen berikut: Pertama, dilandasi dengan hadis yang datang dari Aisyah r.a., yang mengatakan bahwa Nabi saw. hanya menafsirkan sedikit dari Alquran, yakni atas apa yang beliau peroleh dari malaikat Jibril a.s.. Kedua, mustahil bagi Nabi saw. untuk menafsirkan seluruh ayat Alquran, kecuali sedikit saja (al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, 2010: 45; Muhammad, Tafsir Nabi, 2001: 21). Demikian ini dimaksudkan agar manusia memiliki kesempatan untuk mengkaji, merenungkan, dan bahkan ber-istinbath atas ayat-ayat Alquran. Bahkan, kelompok ini berpendapat mengenai tidak adanya nas atau teks yang menyatakan bahwa Allah memerintahkan Rasulullah untuk menjelaskan seluruh makna dalam Alquran. Kedua, doa Nabi saw. untuk Ibnu Abbas—Ya Allah, jadikanlah dia orang yang paham masalah agama dan ajarilah ia takwil (H.R. Ahmad, No. 2879) (Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad Bin Hanbal, 2013)—tentu saja tidak berguna, sebab harusnya seluruh sahabat tidak akan mendapati ikhtilaf (perbedaan) dalam hal penafsiran Alquran.

Argumen dari kelompok yang memahami bahwa Rasulullah telah menafsirkan seluruh ayat dalam Alquran. Salah satu tokoh yang berpendapat demikian adalah Ibn Taimiyah. Dia menyatakan bahwa Rasulullah telah menjelaskan seluruh makna dalam Alquran kepada para sahabat, sebagaimana beliau menerangkan pengertian lafaznya. Beliau juga mengutip Surah Annahl ayat 44 tentang perintah menerangkan apa yang telah diturunkan kepada beliau.

Baca juga: Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Nabi dan Sahabat (1)

Dari kedua pendapat di atas, Imam al-Zahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun memilih jalan tengah. Pada pendapat pertama yang memahami Nabi saw. menafsirkan sedikit dari Alquran adalah kurang tepat. Imam al-Zahabi berkomentar bahwa hadis dari Aisyah riwayat Bazzar tidaklah sah. Hadis tersebut bahkan dinilai munkar ghorib, serta menurut al-Thabari hadis tersebut tidak dikenal dikalangan Ahli hadis. Argumen kedua yang juga tidak dapat diterima, bahwa Nabi tidak diperintahkan menerangkan semua ayat, karena dalam Surah Annahl ayat 44 Allah memerintahkan Nabi saw., untuk menerangkan apa yang telah diturunkan kepada beliau.

Argumen dari kelompok kedua, yang menyatakan bahwa Nabi menafsirkan seluruh makna dari setiap lafaz dalam Alquran juga dinilai kurang tepat. Imam al-Zahabi memahami, bahwa apa yang diterangkan oleh Nabi adalah menjelaskan yang muskil. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan merujuk kitab induk hadis, seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Jami’ al-Tirmidzi, dan Sunan al-Darimi, bahwa Nabi telah menafsirkan ayat-ayat Alquran yang jumlahnya tidak dapat dikatakan sedikit, walaupun tidak seluruh ayat beliau tafsirkan.

Sebagaimana kita ketahui, tidak semua hal diuraikan dengan rinci dalam tafsir Nabi. Ada beberapa penafsiran sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sahabat mengenai ayat tertentu (misal ayat-ayat yang terdapat kata-kata muskil). Misal adalah firman Allah dalam Surah Albaqarah ayat 187,

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ

 “Dan makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.”

Sebelum ayat “min al-fajri” (yaitu malam), beberapa orang memahami ayat secara literal. Diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad, bahwa salah seorang lelaki ketika hendak berpuasa, mereka akan mengikat benang putih dan benang hitam di kedua kakinya. Lantas ia akan terus makan sampai benang itu tanpak olehnya. Sebagaimana hadis berikut,

“Ketika turun ayat (“Dan makan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam”) dan belum diturunkan ayat lanjutannya yaitu (min al-fajr), ada diantara orang-orang apabila hendak puasa seseorang yang mengikat seutas benang putih dan benang hitam pada kakinya yang dia senantiasa meneruskan makannya hingga jelas terlihat perbedaan benang-benang itu. Maka Allah Ta’ala kemudian menurunkan ayat lanjutannya (“minal fajr”). Dari situ mereka mengetahui bahwa yang dimaksud (dengan benang hitam dan putih) adalah malam dan siang”. (HR. Bukhari no. 1917)

Begitu juga ketika Abu ‘Adi ibn Hatim bertanya mengenai kata al-Khaithan (benang putih dan hitam), maka Nabi saw., menjawab, bahwa benang itu masing-masing bermakna siang—yakni benang putih (khayţ al-abyaḍ)—dan malam—yakni benang hitam (khayţ al-aswad).

Baca juga: Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Madinah

Prof. Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menguarikan bahwa maksud dari benang putih adalah gambaran dari cerahnya siang (terang) (khayţ al-abyaḍ)—beliau menggambarkan, bahwa benang putih itu minirp atau serupa dengan pancaran cahaya fajr shodiq yang baru muncul. Kilatan itu menyerupai benang yang menyebar atau membentang—begitupun benang hitam (khayţ al-aswad) (al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, 2013).

Ibn al-Asqalaini menyebutkan, bahwa al-Karmani menjelaskan, mengenai bagaimana penafsiran umat kala itu. Para sahabat memahami ayat secara literal saja, menuruti zahir ayat. Oleh sebab itu, mereka hanya makan satu kali, yakni pada waktu berbuka. Kemudian ketika mereka telah tertidur—adapun yang datang dari Ibn Jarir, waktu berhenti makan adalah setelah shalat Isya’—maka mereka akan berpuasa—yakni menahan makan, minum, serta keinginan bercampur dengan pasangan—sampai waktu berbuka keesokan harinya (al-Asqalani 2002).

Nabi Muhammad telah menafsirkan Alquran, walaupun tidak selurunya. Hal ini juga apa yang diuraikan oleh Abdullah Syahatah, bahwa Nabi saw. telah menerangkan banyak makna dari lafaz Alquran, tetapi beliau tidaklah menjelaskan seluruh makna dalam Alquran. hal ini dapat dilihat dalam kitab-kitab hadis (Muhammad, Tafsir Nabi, 2001).