Keberadaan iluminasi dalam mushaf Al-Quran Nusantara tentu dimulai dengan adanya penyalinan mushaf di kalangan kesultanan. Layaknya simbol, iluminasi dalam mushaf acap kali digunakan oleh kalangan ‘berpunya’ karena menunjukkan kemegahan dan kewibawaan. Berbeda dengan mushaf yang digunakan oleh para santri atau pelajar, mushaf mereka cenderung sederhana dan apa adanya. Dalam rentetan masa, potret pembuatan iluminasi mushaf Al-Quran yang dimotori oleh pihak ‘berpunya’ ternyata tidak hanya dilakukan tempo dulu, melainkan juga masa kini.
Kegiatan pembuatan iluminasi dalam mushaf Al-Qur’an tempo dulu biasa dikerjakan oleh seniman illuminator/juru hias naskah. Pekerjaan ini pun berbeda dengan kaligrafer, yang mana ia hanya fokus pada penulisan ayat Al-Qur’an. Dalam salah satu catatan Ali Akbar peneliti Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Nusantara, yang berjudul Iluminasi menyebutnya demikian. Profesi kaligrafer/juru tulis dan illuminator/juru hias naskah memang berbeda.
Ali Akbar pun mencontohkan ada salah satu mushaf koleksi Museum Negeri Aceh dengan kode No.4028 yang belum sempat ditulisi ayat Al-Quran. Dalam naskah ini, bagian awal mushaf hanya ada ornamennya saja dan masih dalam keadaan kosong. Dari analisanya, Ali Akbar menyimpulkan bahwa tradisi pembuatan iluminasi dalam mushaf Nusantara tidak jauh beda dengan apa yang terjadi di Turki. Dalam tradisi penyalinan mushaf, Turki sejak lama memang membedakan profesi kaligrafer dan illuminator.
Baca juga: Perspektif Al-Quran terhadap Penyandang Disabilitas: Tafsir Surat An-Nur Ayat 61
Setelah berabad-abad pembuatan iluminasi dilakukan secara manual, hadirnya percetakan batu mulai mengurangi aktivitas seni ini. Lajnah pentashihan Al-Quran pun mencatat bahwa semarak pembuatan iluminasi di Indonesia hanya bertahan hingga akhir abad ke-19. Baru pada tahun 1995, tepatnya dalam rangka peringatan 50 tahun Indonesia merdeka Mushaf Istiqlal diresmikan. Mushaf ini menjadi salah satu titik balik munculnya mushaf-mushaf indah dengan terobosan iluminasi khas. Kemudian disusul beberapa mushaf kontemporer lainnya seperti Mushaf Sundawi (1997), Mushaf at-Tin (2000), Mushaf Jakarta (2002), Mushaf Kalimantan Barat (2003), dan Mushaf al-Bantani (2010).
Termasuk juga yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta. Pada tahun 2011, Keraton merujuk mushaf kuno Kanjeng Kiai Al-Qur’an, telah berhasil membuat mushaf baru dengan nama “Mushaf Karaton Yogyakarta Hadiningrat”. Pada masa-masa kontemporer inilah pembuatan iluminasi semakin berkembang dan bertransformasi melalui teknologi digital.
Semarak Iluminasi Mushaf Al-Qur’an Digital Se-Nasional
Bulan lalu, Lajnah Pentashihan Al-Quran resmi mengumumkan pemenang Lomba Nasional Iluminasi Mushaf Al-Quran. Dari segi penyelenggaraan, lomba ini sangat berbeda dari lomba pada umumnya. Biasanya perlombaan iluminasi sepaket dengan lomba kaligrafi dalam perhelatan MTQ. Atau dalam ajang perlombaan lain, lomba iluminasi/ornamen seperti ini dikerjakan secara manual. Sementara lomba ini digelar secara digital dan hanya mengirim file saja.
Lomba ini meliputi kesatuan paket karya iluminasi yang terdiri atas konsep karya, sampul/kulit mushaf (depan, punggung, dan belakang), iluminasi awal mushaf (Surah al-Fatihah dan awal Surah al-Baqarah), bingkai halaman teks Al-Qur’an, menghiasi tanda ‘ain ruku’, hizb, juz, manzil, waqaf lazim, dan sajdah, kemudian kepala surah, serta tanda ayat.
Tentu penyelenggaraan lomba seperti ini membawa angin segar bagi para illuminator mushaf. Pemerintah sebagai pihak yang ‘berpunya’ memfasilitasi dan membuka kembali tradisi luhur tempo dulu. Lomba yang dibuka selama 2,5 bulan akhirnya berhasil mengumpulkan 146 karya. Menarik memang, karena dewan juri pun terdiri dari kalangan profesional dengan berbagai kehalian seperti seni mushaf, seni kriya, dan desain grafis. Dari sekian karya itu, ada 6 juara dan 10 nominasi favorit. Di antara pemenang itu, dua di antaranya dari para pembelajar kaligrafi Ahaly Hamidi.
Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 30: Agama Sebagai Fitrah Manusia
Ahaly Hamidi merupakan komunitas kaligrafer yang belajar kaligrafi dengan metode Hamidi. Komunitas ini telah tersebar di beberapa kota Indonesia, bahkan di Asia. Dua karya dari komunitas ini berhasil menyabet juara 2 dan juara 3. Mengutip dari hamidionline.net, kedua karya ini menampilkan ornamen yang terinspirasi dari mushaf Jawa kuno, dan mushaf Jombang. Ornamen yang digunakan dalam iluminasi juara dua mengusung adat Jogja, serta ukiran khas Jawa. Sementara iluminasi juara tiga mengangkat khazanah Jombang yakni Candi Rimbi, bunga cengkeh, bunga sepatu, dan bunga kopi.
Iluminasi dengan mengadopsi gaya Jogja
Iluminasi mengadopsi mushaf Jombang
Dari sampel dua karya ini nampaknya upaya Lajnah Pentashihan Al-Qur’an untuk menyemarakkan kembali pembuatan iluminasi pun berhasil. Tentu, apresiasi dan pencarian karya iluminasi terbaik di negeri ini patut kita banggakan. Terlebih, melalui kesenian mushaf seperti inilah wajah Islam sesungguhnya akan nampak indah, dan menjadi oase dari gersangnya praktik keagamaan berbasis politik. Wallahu a’lam[]