BerandaKhazanah Al-QuranTradisi Al-QuranPrinsip Molimo Sunan Ampel dalam Perspektif Alquran

Prinsip Molimo Sunan Ampel dalam Perspektif Alquran

Walisongo merupakan sosok penting yang memerankan tugas dakwah di tanah Jawa secara pada masa-masa awal. Aneka cara unik dan kreatif mereka lakukan dalam rangka melancarkan dakwahnya, seperti mengintegrasikan budaya Jawa ke dalam nilai-nilai keislaman. Dengan begitu, mempermudah bagi Walisongo untuk menyebarkan Islam ke beberapa penjuru wilayah Jawa. Ada yang menggunakan gamelan, syair, tembang, dan lain sebagainya.

Sunan Ampel, salah satu anggota Walisongo menggaungkan satu prinsip hidup bagi masyarakat Jawa dengan istilah unik. Prinsip tersebut berbunyi: molimo. Istilah berbahasa Jawa ini dapat diartikan dengan “tidak mau melakukan lima perkara yang terlarang”, di antaranya: emoh main (tidak mau main judi), emoh ngombe (tidak mau minum minuman yang memabukkan), emoh madat (tidak mau minum atau mengisap candu atau ganja), emoh maling (tidak mau mencuri), dan emoh madon (tidak mau berzina).

Apabila ditelisik secara saksama, prinsip molimo Sunan Ampel ternyata berasal dari ajaran Islam dan disebutkan dalam beberapa ayat-ayat Alquran, sebagai berikut.

Emoh Main, Emoh Ngombe, dan Emoh Madat: Q.S. al-Maidah Ayat 90

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.

Ayat ini mengandung larangan Allah untuk melakukan perbuatan keji seperti minum minuman keras, berjudi, menyembah berhala, dan mengundi dengan anak panah. Terdapat tiga poin di ayat ini yang termasuk dalam prinsip molimo, yaitu emoh main (tidak mau main judi), emoh ngombe (tidak mau minum minuman memabukkan), dan emoh madat (tidak mau mengonsumsi zat-zat adiktif).

Baca juga: Mengenal Mushaf Sunan Ampel di Museum Al-Quran PTIQ Jakarta

Dijelaskan dalam Tafsir Jalālayn [154], al-khamru atau khamr merupakan minuman memabukkan yang menumpulkan akal pikiran. al-Zuhaili menuturkan dalam Tafsīr al-Munīr [7/38], jumhur ulama bersepakat bahwasanya khamr merujuk pada setiap minuman yang memabukkan yang mengaburkan dan menutupi akal.

Khamr tidak hanya sebatas mentahan air anggur yang direbus, mengeras, dan berbusa, sebagaimana pengertian khamr secara historis. Hal ini merujuk pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, dan lainnya: Kullu muskirin khomrun, wa kullu khamrin ḥarāmun (Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram).

Maka dari itu, meminum minuman memabukkan seperti arak, wiski, dan semacamnya, serta mengonsumsi narkoba merupakan perbuatan yang keji dan diharamkan. Sebab kesemuanya itu disebut dengan khamr, yang ‘illat-nya ialah sama-sama menghilangkan akal. Menjauhi perkara ini adalah menerapkan dua dari prinsip Sunan Ampel, yakni emoh ngombe dan emoh madat.

Baca juga: Judi yang Merusak, Sejak Dulu hingga Sekarang

Al-Zuhaili menambahkan, khamr atau minuman/zat memabukkan dan menghilangkan akal memiliki banyak madarat, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Selain berbahaya bagi kesehatan dan merugi sebab membuang-buang harta untuk hal yang membahayakan, juga berdampak pada kerugian sosial yang dimunculkan dari akibat khamr itu sendiri (Tafsīr al-Munīr, 7/40).

Seperti halnya khamr, perjudian juga memiliki banyak bahaya, mulai dari aspek neuropsikologis dengan menyebabkan ketegangan saraf, kecemasan, bahaya sosial, agama, hingga keuangan. Inilah wujud dari prinsip emoh main, menghindari segala bentuk perjudian.

Emoh Maling: Q.S. al-Baqarah 188

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.

Baca juga: Kisah Nabi Syu’aib dan Jihad Melawan Korupsi

Al-Baghawi menuturkan, memakan harta dengan jalan batil tidak hanya berupa hasil merampok dan merampas; bisa jadi dengan cara hiburan seperti perjudian; serta bisa jadi dengan cara suap yang diberikan kepada penguasa maupun hakim [Tafsīr al-Baghawī, 1/233].

Mencuri ialah salah satu bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Entah mencuri dengan cara merampas, merampok, mengambil barang diam-diam, atau cara lainnya. Mencuri tergolong sebagai perbuatan keji yang dicela oleh Allah, serta dikutuk dan dihina oleh masyarakat. Maka, seseorang yang menghindari perbuatan mencuri, telah menerapkan prinsip emoh maling (tidak mau mencuri).

Emoh Madon: Q.S. al-Isra’ Ayat 32

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاءَ سَبِيْلًا

Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.

Dijelaskan dalam Mukhtatsar Tafsīr Ibnu Kathīr [2/376], Allah melarang hamba-Nya untuk mendekati zina, yaitu dengan sebab-sebab dan motif-motif yang mengantarkan pada zina. Demikian karena berzina merupakan perbuatan keji yang mendapatkan dosa amat besar. Seseorang yang memegang prinsip menjauhi zina, adalah orang-orang yang menerapkan prinsip emoh madon.

Kesimpulan

Prinsip molimo yang digagas oleh Sunan Ampel merupakan bentuk nyata dari upaya dakwah yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal Jawa. Melalui larangan untuk tidak berjudi (emoh main), tidak minum minuman memabukkan (emoh ngombe), tidak mengonsumsi zat adiktif (emoh madat), tidak mencuri (emoh maling), dan tidak berzina (emoh madon), Sunan Ampel sebenarnya mengajak masyarakat untuk menjauhi perilaku-perilaku terlarang yang telah jelas disebutkan dalam Alquran.

Setiap poin dalam molimo merujuk kepada perintah dan larangan yang termaktub dalam ayat-ayat suci, seperti dalam Q.S. al-Maidah ayat 90, al-Baqarah ayat 188, dan al-Isra’ ayat 32. Dengan demikian, molimo tidak hanya sekadar pedoman moral bagi masyarakat Jawa, tetapi juga merupakan cerminan dari upaya penegakan nilai-nilai Islam yang berlandaskan Alquran dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip ini membuktikan bahwa ajaran Islam dapat disampaikan dengan cara yang kontekstual dan relevan dengan budaya setempat tanpa mengurangi esensi dan kemurnian ajaran tersebut.

Wallāhu a’lamu.

 

Fatia Salma Fiddaroyni
Fatia Salma Fiddaroyni
Alumni jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri; santri PP. Al-Amien, Ngasinan, Kediri.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU