BerandaTafsir TematikPrinsip-Prinsip Bernegara dalam Islam (Bagian 1)

Prinsip-Prinsip Bernegara dalam Islam (Bagian 1)

Salah satu perbincangan yang meletihkan adalah ketika memperdebatkan mengenai sistem negara perspektif Islam. Bahkan konon, perdebatan seputar politik dan sistem negara ini menjadi salah satu faktor penyebab terkotak-kotaknya umat Islam menjadi beberapa aliran dan sekte. Sampai detik ini masih ada kelompok muslim yang mengusung sistem khilafah dan menolak keras sistem demokrasi yang sudah diterapkan sejak sekian lama di negara ini.

Pada dasarnya, perdebatan mengenai format sistem bernegara merupakan ranah ijtihadi yang sangat berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat. Hanya saja, umat Islam sepakat bahwa eksistensi sebuah negara amatlah penting untuk memperoleh berbagai pelayanan-pelayanan. Tanpa negara, bukan hanya kehidupan manusia yang chaos, tapi ajaran-ajaran agama juga tidak akan terimplementasikan dengan baik oleh pemeluknya. Sehingga, eksistensi suatu negara menurut pandangan Islam diproyeksikan untuk melayani agama dan kemaslahatan dunia.

Baca Juga: Tujuh Prinsip Politik Islam dalam Al-Quran

Dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah (hal.3), Imam al-Mawardi mengatakan;

الْإِمَامَةُ: مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا، وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ

Imamah (kepemimpinan) dibuat untuk meneruskan menggantikan tugas kenabian dalam melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia. mengangkat pemimpin yang bertugas mengurusi kepentingan umat hukunya wajib.

Meski demikian, harus diakui bahwa tidak dijumai teks yang secara eksplisit mengarahkan manusia untuk membentuk negara dengan format tertentu atau aturan ketatanegaraan tertentu . Masalah ketatanegaraan menjadi ranah ijtihad yang membuka peluang kreatifitas ulama di setiap zaman. Meskipun tidak diatur secara eksplisit, Islam tetap memberikan nilai-nilai universal yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bernegara.

Dalam buku fikih tata negara, K.H Afifuddin Muhajir merumuskan setidaknya ada lima nilai-nilai universal yang menjadi dasar kehidupan bernegara menurut Islam. (Fikih Tata Negara, 43-57)

Baca Juga: Keberislaman Ratu Saba dan Nilai Kesetaraan Hamba Allah

Al-Musawah (Kesetaraan)

Dalam Islam, manusia memiliki kedudukan yang sama antara yang satu dengan yang lain, yang membedakannya adalah tingkat ketakwaan sebagaimana tercantum dalam Q.S. Alhujurat [49]: 18. Prinsip kesetaraan ini muncul dari keyakinan bahwa kita semua merupakan anak keturunan Nabi Adam as. Hal ini sebagaimana tercermin dalam Q.S. Alnisa’ [4]: 1,

{يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Artinya: Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.

Menurut Sayyid Thantawi, setidaknya ada dua pelajaran yang diperoleh dari ayat tersebut. Pertama; manusia sejatinya berada pada satu keyakinan, yakni bahwa Allah Swt. adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Dia yang telah menciptakan manusia berikut segala fasilitas kehidupan di dunia. Kedua; secara asal muasal manusia semuanya setara.

Meskipun berbeda suku, bahasa dan etnis, tidak dapat dipungkiri bahwa semua manusia berawal dari satu entitas, yakni merupakan anak keturunan Nabi Adam as. Karena itulah pada dasarnya manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama, tidak ada yang lebih unggul antara satu individu lain kecuali berdasarkan ketakwaan dan kedekatan dengan Allah Swt. sang pencipta alam. (Tafsir al-Wasit, Juz 3, 20)

Menurut Ibnu Asyur, al-musawah merupakan salah satu prinsip paling dasar syariat Islam yang memungkinkan semua pemeluknya memperoleh kedudukan yang sama dalam hak dan kewajiban. Prinsip ini lahir dengan mempertimbangkan unsur kemanusiaan yang dimiliki oleh semua individu di dunia tanpa terkecuali. Tidak ada yang lebih manusia antara satu individe dengan indiidu lain. dari sini, islam mengakui hak hidup, hak berafiliasi kepada agama islam tanpa terkecuali. (Maqashid Syari’ah al-Islamiyah, 108)

Nilai-nilai al-musawah (kesetaraan) ini juga telah disinggung oleh Nabi Muhammad Saw. dalam sabda beliau;

الناس مستوون كأسنان المشط ليس لأحد على أحد فضل إلا بتقوى الله

Manusia itu bagaikan gigi sisir, tidak ada keutamaan satu orang atas orang lain melainkan dengan ketakwaan. HR. Al-Dailami

Islam mengajarkan umatnya unttuk tidak membeda-bedakan satu individu dengan individu yang lain berdasarkan suku, etnis dan warna kulit. Akan tetapi yang menjadi tolok ukur kemuliaan seseorang adalah ketakwaan yang terpatri dalam hati.

Prinsip ini sangat penting diterapkan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam urusan kenegaraan. Dengan menerapkan prinsip ini, seorang pejabat dengan kedudukan yang lebih tinggi secara struktural belum tentu lebih baik daripada bawahannya. Demikian pula, pemangku kekuasaan tidaklah lebih baik daripada rakyat biasa. Standar baik tidaknya mereka dalam konteks kenegaraan adalah tergantung kontribusi dan prestasi yang diperoleh demi kemajuan bersama. Dengan prinsip ini, keadilan di setiap lapisan masyarakat akan mudah terealisasi.

Baca Juga: Ragam Bentuk Keadilan Sosial dalam Pandangan Al-Quran

Al-‘adalah (Keadilan)

Islam adalah agama yang sangat mempertimbangkan aspek keadilan dalam setiap hukum atau aturan yang disyariatkan. Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa Islam seluruhnya adalah keadilan, rahmat dan maslahat. Sehingga apabila ada sebuah persoalan hukum keluar dari tiga hal tersebut maka sesungguhnya ia bukanlah syariat. (I’lam al-Muwaqqi’in, Juz 3, 111 )

Selain prinsip kesetaraan, salah satu nilai universal lain yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bernegara adalag prinsip keadilan. Wacana mengenai keadilan sering kali muncul terutama terkait proses penegakan hukum. Dalam hal ini, pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus berusaha berlaku adil dalam setiap kebijakan dan keputusannya.

Ada banyak ayat dalam alquran maupun hadis yang menerangkan keharusan berlaku adil dalam setiap keputusan dan tindakan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (Q.S Alnisa’ [4]: 58)

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, adalah sebuah keharusan untuk menerapkan prinsip keadilan dalam berbagai aspek. Dalam aspek peradilan, seorang pemimpin harus berupaya bagaimana supaya semua orang diperlakukan sama di depan huku. Jangan sampai ada istilah hukum tumpul ke atas tajam kebawah. Dalam ranah sosial kemasyarakatan, bagaimana rakyat mendapatkan akses yang sama dalam hal pemerataan ekonomi, pendidikan dan akses lainnya sehingga diharapkan terwujud kemaslahatan secara menyeluruh di tengah-tengah masyarakat.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU