Dalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak bisa dipungkiri bahwa partisipasi masyarakat dalam membangun bangsa yang maju dan berperadaban sangatlah penting. Masyarakat harus mendapatkan ruang untuk menyalurkan aspirasi dan menyuarakan gagasan-gagasan demi kemaslahatan bersama.
Maka dari itu, selain prinsip kesetaraan dan keadilan, ada prinsip-prinsip bernegara lain yang perlu diperhatikan dan diterapkan menurut ajaran Islam. Perinsip tersebut adalah al-syura (musyawarah), al-hurriyah (kebebasan), dan riqabah al ummah (pengawasan rakyat).
Al-Syura (Musyawarah)
Dalam Alquran, setidaknya ada dua ayat yang dapat dijadikan landasan normatif untuk melaksanakan musyawarah. Dalam Q.S. Ali imran ayat 159 terkantung perintah bermusyawarah dan Q.S. Al-Syura ayat 38 berisi pujian terhadap budaya musyawarah. Allah Swt. berfirman:
{فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ} [آل عمران: 159]
Maka berkat rahmat Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal (Q.S. Ali Imran [03]: 159).
{وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ} [الشورى: 38]
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka (Q.S. Al-Syura [42]: 38).
Menurut Quraish Shihab, secara redaksional perintah bermusyawarah pada ayat pertama di atas tertuju kepada Nabi saw. agar senantiasa mendiskusikan hal-hal tertentu bersama para sahabatnya. Akan tetapi, ayat ini juga menjadi petunjuk bagi setiap muslim agar bermusyawarah bersama kolega atau para ahli terkait berbagai persoalan [Wawasan Alquran, hal. 470]
Baca juga: Prinsip-Prinsip Bernegara dalam Islam (Bagian 1)
Mengutip perkataan Ibnu ‘Atiyah, Imam al-Qurthubi menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa musyawarah merupakan salah satu pondasi agama dan pilar dalam penetapan hukum. Tidak bermusyawarah dengan para ahli mengenai suatu perkara adalah sebuah kesalahan besar, dan ia seyogyanya dilepas dari jabatan (jika yang bersangkutan memiliki jabatan) [Al-Jami li Ahkam al-Quran, juz 4, hal. 249].
Muhammad Sayyid Thantawi menjelaskan bahwa orang bijak yang berjalan dalam rel kebenaran dan keadilan adalah mereka yang senantiasa mendasarkan keputusannya berdasarkan prinsip musyawarah. Lebih lanjut lagi, beliau memaparkan bahwa orang yang tidak mau bermusyawarah dalam mengambil keputusan atau bahkan menolak hasil keputusan musyawarah disebabkan karena dua faktor.
Pertama, adakalanya ia tidak mau bermusyawarah karena terjangkit penyakit sombong sehingga mengira bahwa pendapat pribadinya adalah kebenaran mutlak. Pada akhirnya, ia merasa tidak perlu melakukan musyawarah dengan orang lain.
Baca Juga: Tujuh Prinsip Politik Islam dalam Alquran
Kedua, seseorang menolak musyawarah bisa jadi karena ia adalah orang zalim. Jika ia punya kuasa, ia berniat menerapkan aturan sekehendak hatinya dan berupaya sebisa mungkin menghindari musyawarah. Sebab jika ia mengundang orang lain untuk musyawarah barangkali kezalimannya akan terungkap [Tafsir al-Wasith, juz 2, hal. 319].
Dalam konteks kenegaraan, penerapan prinsip musyawarah dapat terbaca sejak masa pemilihan pemimpin. Model pemilihan langsung yang dilakukan oleh seluruh rakyat atau pemilihan dengan sistem perwakilan merupakan ejawantah dari prinsip musyawarah.
Lebih jauh lagi, prinsip musyawarah penting diformalisasikan dalam sistem pemerintahan demi menampung gagasan-gagasan yang diproyeksikan untuk menyejahterakan rakyat. Dalam konteks ini, sistem demokrasi dapat dinilai lebih apresiatif terhadap nilai-nilai syariat daripada sistem lain semisal monarki dengan kekuasaan absolut di tangan raja.
Al-Hurriyah (Kebebasan)
Kebebasan merupakan hak yang dimiliki setiap orang sejak ia lahir. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dalam segala hal termasuk kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, dan kekebaasan dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri.
Terkait hal ini, Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. berpesan kepada putranya, Sayyidina Hasan r.a. Beliau berkata:
وَلَا تَكُنْ عَبْدَ غَيْرِك وَقَدْ جَعَلَك اللَّهُ حُرًّا
Janganlah kamu menjadi budak orang lain. Sebab, Allah telah menciptakan kamu dalam keadaan merdeka [Adab al-Dunya wa al-Din, hal 330 https://waqfeya.net/book.php?bid=12212 ].
Baca Juga: Ragam Bentuk Keadilan Sosial dalam Pandangan Alquran
Dalam bingkai kehidupan negara, rakyat harus diberikan kebebasan bereskpresi dan berpendapat. Rakyat harus diberikan jaminan kebebasan terutama ketika menyampaikan gagasan atau bahkan kritikan terhadap pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah tidak boleh mengintervensi atau bahkan memasung kebebasan yang dimiliki oleh setiap warga negaranya.
Akan tetapi, kebebasan yang dimaksud tidaklah bersifat mutlak. Dalam bukunya, KH. Afifuddin Muhajir menjelaskan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh setiap individu harus dibatasi dengan beberapa hal. Pertama, kebebasan itu tidak menodai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk mulia. Kedua, tidak menggangu hak orang lain. Ketiga, tidak melawan aturan, baik aturan syariat atau hasil kesepakatan bersama [Fikih Tata Negara, hal. 57].
Riqabah Al-Ummah (Pengawasan Rakyat)
Prinsip ini dapat dinilai sebagai pengejawantahan dari dua prinsip di atas. Artinya, wewenang rakyat untuk melakukan kegiatan evaluasi berawal dari penerimaan asas musyawarah dan kebebasan dalam sistem tata kelola negara. Rakyat berhak dan bahkan berkewajiban melakukan pemantauan untuk selanjutnya memberikan masukan kepada pemerintah manakala ada beberapa kebijakan yang dinilai merugikan.
Dalam sebuah hadis disebutkan:
عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «الدِّينُ النَّصِيحَةُ» قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: «لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ»
Dari Tamim al-Dariy bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami (sahabat) bertanya, “Bagi siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, kitab Allah, utusan Allah, bagi para pemimpin muslim, dan semua orang.” (H.R. Muslim).
Baca juga: Surah Al-Maidah Ayat 8: Dalil Sila Kelima Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Nasihat kepada pemimpin umat muslim dapat diimplementasikan dengan memberikan kontribusi untuk meringankan tugas pemerintah, tentunya sesuai kapasitas masing-masing. Di samping itu, nasihat kepada pemimpin juga dilakukan dengan selalu mengingatkan mereka agar tetap berada dalam koridor kebenaran. Tentunya nasihat ini harus dilakukan dengan tetap memperhatikan etika dan mengedepankan kelemahlembutan [Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz 2, hal. 38].
Demikianlah prinsip-prinsip bernegara yang utama dalam syariat Islam yang dapat dijadikan pedoman dalam membangun harmoni kehidupan bernegara. Islam memang tidak menetapkan secara tegas seperti apa format negara dan bagaimana relasi antara negara dan masyarakaat harus terjalin. Hal ini dimaksudkan agar manusia bebas berkreasi dalam merumuskan tata kelola negara sesuai dengan kemaslahatan bersama. Dengan prinsip-prinsip tersebut, Islam memberikan semacam pemantik seperti apa ketatanegaaraan dan kehidupan bernegara terealisasi. Sekian.