BerandaUlumul QuranKH. Afifuddin Muhajir: Peran Alquran Terhadap Karakterisasi Syariat Islam

KH. Afifuddin Muhajir: Peran Alquran Terhadap Karakterisasi Syariat Islam

Sebagai agama samawi terakhir yang membawa misi menebar maslahat di setiap zaman, syariat Islam harus memiliki karakter yang dapat membuatnya bisa diterima dalam lintas waktu. Pasalnya, ajaran agama atau keyakinan apapun akan lekas ditinggalkan jika tidak ramah terhadap perubahan dan dinamisasi peradaban.

Dalam salah satu tulisannya, KH. Afifuddin Muhajir menjelaskan bahwa syariat Islam tampil dengan dua dimensi yang saling bersinergi, yakni antara ketegaran dan kelenturan. (Fikih Tata Negara, 169) Artinya, syariat Islam merupakan perpaduan dari sejumlah aturan yang rigid/kaku dengan aturan-aturan yang bersifat lentur/fleksibel.

Baca Juga: Kandungan Alquran Perspektif Ilmu Fikih

Aturan yang tidak bisa berubah dalam Islam biasanya merepresentasikan aturan-aturan dalam hal peribadatan atau aturan-aturan yang sifatnya asasi, dan yang berperan menjaga keautentikan ajaran Islam itu sendiri. Sedangkan kelenturan atau fleksibelitas ajaran Islam dapat dilihat dari hukum-hukum muamalah, yang seyogianya harus terus berubah dan berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan manusia.

Perpaduan inilah yang menurut Kiai Afif menjadikan syariat Islam sebagai ajaran yang unik, tidak seperti benda cair yang bisa hanyut dan mengalir begitu saja namun juga tidak kaku karena menentang arus dan dinamika zaman.

Kiai Afifuddin menyebutkan bahwa ketegasan syariat Islam tersebut disamping fleksibelitasnya tidak bisa dilepaskan dari alquran sebagai sumber utamanya. Seperti diketahui bahwa Alquran tidak monoton dalam menjelaskan satu keputusan atau postulat hukum. Ada yang dijelaskan dengan tegas sehingga menafikan segala macam penafsiran, tetapi ada juga yang dijelaskan dengan redaksi-redaksi yang relatif, multitafsir bahkan tentatif.

Baca Juga: Alquran dan Ilmu Ushul Fikih

Dalam term ushul fikih, teks-teks alquran atau hadis yang menjelaskan hukum dengan tegas disebut dengan qath’i al-dalalah. Sedangkan teks atau nas yang masih mengandung berbagai pemahaman dan penafsiran diistilahkan dengan zhanni al-dalalah.

Menurut Kiai Afif, hukum Islam yang bersifat kaku dan anti terhadap perubahan lahir dari dalil-dalil juz’i-qath’i (partikular-monotafsir). Sedangkan aturan-aturan dalam Islam yang fleksibel dan dapat berdialog dengan perubahan situasi dan kondisi lahir dari teks-teks kulli (universal) dan zhanni (multitafsir).

Beliau mengklasifikasi dalil-dalil yang dapat mengukuhkan eksistensi syariat Islam sebagai ajaran yang lentur dan fleksibel sebagai berikut.

Pertama, nas atau teks yang masih ambigu (mujmal). Seperti ayat-ayat yang memberikan aturan langsung terkait sebuah persoalan tetapi tidak menjelaskan rincian aplikatifnya. Sehingga, hal tersebut memberi ruang kepada ayat lain atau Hadis untuk menjelaskan aturan aplikatifnya.

Kedua, ayat-ayat atau nas Alquran yang mengandung legitimasi terhadap dalil-dalil sekunder (al-adillah al-far’iyah), seperti ayat yang menjelaskan legitimasi ‘urf, istihsan, maslahat dan lain sebagainya. Kehadiran dalil-dalil sekunder tersebut dapat memberikan tawaran perspektif yang beragam dalam menghukumi sebuah peristiwa, sehingga ia dinilai lebih terbuka terhadap perubahan dan dinamika kehidupan manusia.

Ketiga, nas-nas Alquran yang berisi penjelasan tentang tujuan syariat Islam (maqasid syariah), seperti misalnya ayat-ayat tentang keadilan, kesetaraan, rahmat dan sebagainya. Dari ayat-aat tersebut, ulama kemudian berhasil merumuskan suatu kesimpulan bahwa syariat Islam diproyeksikan untuk memberikan maslahat dan kemanfaatan bagi manusia dan menolak bahaya dan mafsadat terhadap mereka. Sehingga pada tahap selanjutnya, tujuan-tujuan syariat tersebut dapat menjadi persektif dalam menentukan hukum Islam dari berbagai kasus baru yang belum ditemukan kepastian hukumnya dalam nash Alquran maupun hadis.

Baca Juga: Gus Baha: Belajar Tafsir Harus Berbasis Fikih

Keempat, nas-nas yang berperan sebagai kaidah universal yang membawahi banyak kasus-kasus parsial, baik yang sudah ada kejelasan hukumnya maupun kasus baru yang identik. Sebagai contoh ayat-ayat yang masuk kategori keempat ini adalah Q.S. Alhajj [22]: 78,

   {وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ}

Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. Q.S. Alhajj [22]: 78.

Contoh lain, firman Allah swt dalam surah Albaqarah,

{لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا}

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Q.S. Albaqarah [02]: 286.

Dengan demikian, Alquran sebagai sumber asasi dalam perumusan hukum Islam telah berperan besar menentukan karakter hukum Islam itu sendiri. Dari klasifikasi di atas, dapat dikatakan bahwa Alquran memang telah men-setting hukum Islam sebagai syariat yang akan selalu kokoh dengan prinsip-prinsipnya, tetapi tidak abai terhadap dinamika dan perubahan.

Wallahu a‘lam.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tiga Kunci Menjaga Keharmonisan Antar Sesama Manusia

0
Dalam hidup berbangsa dan bernegara, setiap manusia wajib merasakan keharmonisaan. Dengan keharmonisan, maka akan tercipta kehidupan yang penuh dengan kenyamanan dan perdamaian. Untuk menciptakan...