Alquran merupakan sumber hukum utama dan paling asasi dalam proses istinbath al-ahkam yang dilakukan oleh para mujtahid. Sebagai kitab suci terakhir, diksi dan redaksi yang berisi hukum dan aturan yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan fleksibel. Hal ini bertujuan agar postulat-postulat hukum yang disarikan darinya mampu berdialog dengan perkembangan zaman (shalih li kulli zaman wa makan) sehingga tetap eksis menebar maslahat.
Para ulama dan cendikiawan muslim bisa dikatakan sebagai pihak yang punya tanggung jawab mendakwahkan syariat Islam. Selain harus memahami sumber-sumber hukum, para ulama tersebut juga dituntut untuk peka terhadap kondisi sekitar. Hal ini bertujuan agar hasil rumusan hukum yang diperoleh dari proses pembacaan teks tidak acuh terhadap konteks sosial masyarakat.
Untuk mewujudkan tujuan, menghadirkan hukum yang fleksibel dan membawa maslahat tersebut, Alquran menggariskan beberapa prinsip dalam pensyariatan hukum sebagai pedoman bagi para mujtahid. Setidaknya, ada lima prinsip yang menjadi pedoman dalam pensyariatan hukum dalam Islam, yaitu; ‘Adam al-haraj, taqlil al-takalif, al-tadrij fi al-tasyri’, al-maslahah dan al-musawat wa al-‘adalah.
Baca Juga: Mengenal Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam Perspektif Para Mufasir
‘Adam al-Haraj (Tidak Menyulitkan)
Prinsip pensyariatan hukum Islam yang pertama adalah ‘tidak menyulitkan’. Kemampuan manusia sebagai mukalaf menjadi salah satu pertimbangan penting dalam penetapan hukum syariat. Artinya hukum-hukum yang ditetapkan pasti tidak keluar dari batas kesanggupan yang dimiliki manusia. Prinsip untuk memberikan melonggarkan dan tidak menyulitkan ini ditegaskan misalnya dalam surah Al-Baqarah [02]: 286:
{لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا}
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Q.S. Al-Baqarah [2]: 286.
Dari ayat diatas, dapat dipahami bahwa seluruh keputusan hukum dalam syariat Islam, baik berupa perintah maupun larangan, semuanya tidak keluar dari batas kemampuan manusia. Ketiadaan pembebanan yang melebihi kapasitas kemampuan manusia merupakan salah satu wujud keadilan dan kasih sayang Allah swt. kepada makhlukNya. [Tafsir al-Wasith li al-Thanthawi, juz 1, hal.660].
Selain ayat di atas, ada banyak ayat lain yang menegaskan bahwa Islam memang agama yang menghendaki kemudahan. Di antaranya, Allah swt. berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 185:
{يُرِيدُ اللَّه بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” Q.S. Al-Baqarah [2]: 185
Dalam ayat lain, Allah swt. berfirman:
{وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ}
“dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” Q.S. Al-Hajj [22]: 78
Imam Fakhruddin al-Razi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ayat di atas adalah tersedianya dispensasi-dispensasi dalam agama. Misalnya, manakala seseorang tidak mampu solat berdiri maka syariat membolehkannya solat dalam kondisi duduk. Apabila seseorang tidak mampu berpuasa dikarenakan sedang musafir atau sakit misalnya, maka dia boleh tidak berpuasa di hari itu dan diganti dengan puasa di hari lain. [Mafatih al-Ghaib, juz 23, hal. 255]
Akan tetapi, jangan disalahpahami bahwa syariat Islam sama sekali menegasikan beban hukum taklif bagi manusia. Pasalnya, kewajiban dan larangan yang ada, seperti salat, puasa, larangan zina dan lain sebagainya berisi beban taklif juga. Hanya saja, beban-beban seperti itu masih berada dalam kesanggupan manusia, yang dinegasikan dalam syariat adalah hal-hal yang tingkat kesulitannya tidak wajar menurut kebiasaan umum.
Baca Juga: Mengenal Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam Perspektif Al Quran
Taqlil al-Takalif (Mengurangi Beban)
Prinsip pensyariatan hukum Islam yang kedua ini pada dasarnya identik dengan yang pertama. Keduanya sama-sama menghendaki adanya kemudahan, akan tetapi, prinsip taqlil al-takalif ini lebih berorientasi pada pemberian kelonggaran atas beban taklif yang terlalu banyak. Dalam hal ini syariat lebih memilih memberikan beban taklif minimalis agar tidak terlalu memberatkan objek yang diberi ‘beban’.
Terkait hal ini, Allah swt. melarang umatNya untuk mempertanyakan sesuatu yang berpotensi menyusahkan diri mereka sendiri. Dalam surah al-Maidah ayat 101, Allah swt. berfirman:
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ}
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” Q.S. Al-Maidah [5]: 101.
Ada beberapa riwayat yang menerangkan terkait sebab turunnya ayat tersebut. Salah satu riwayat tersebut, mengatakan bahwa ayat di atas turun ketika beberapa orang mendatangi Nabi Muhammad saw. untuk mengajukan beberapa pertanyaan dngan tujuan mengolok-olok. Di antara mereka ada yang bertanya, “Dimana ayah saya?”, ada pula yang bertanya, “Dimana unta saya”, maka turunlah ayat ini untuk melarang umat Islam agar tidak menanyakan hal-hal yang tidak perlu.
Dalam riwayat lain, dari Sahabat Abu Hurairah ra., bahwa suatu ketika Rasulullah saw. pernah bersabda di hadapan para sahabat mengenai kewajiban haji. Lantas ada seorang sahabat yang bertanya, “Apakah di setiap tahun?”. Tiga kali sahabat tersebut bertanya namun tidak mendapat respon dari Nabi saw. Kemudian Rasulullah saw. bersabda
فَقَالَ: “وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ قُلْتُ: نَعَمْ لوَجَبَتْ، وَلَوْ وَجَبَتْ عَلَيْكُمْ مَا أَطَقْتُمُوهُ، وَلَوْ تَرَكْتُمُوهُ لَكَفَرْتُمْ”، فَأَنْزَلَ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ} حَتَّى خَتَمَ الْآيَةَ
“Demi jiwaku yang ada dalam genggamannya, andai aku katakan “iya”, niscaya haji akan diwajibkan (setiap tahun). dan apabila sudh wajib, maka kalian tidak akan mampu melaksanakannya. Dan jika kalian meninggalkannya maka kalian telah akan telah kafir. Lalu kemudian turun surah al-Maidah ayat 101 hingga akhir ayat. [Tafsir Ibnu Katsir, juz 03, hal. 205].
Ayat di atas memberi pemahaman bahwa orang yang beriman dilarang untuk menanyakan hal-hal terkait beban taklif yang belum ada hukumnya. Pasalnya, mengajukan banyak pertanyaan akan berpotensi memperbanyak beban taklif, dan itu akan memberatkan umat Islam itu sendiri.
Terkait hal ini, Rasulullah saw. bersabda,
إن الله تعالى فرض فرائض فلا تضيّعوها، وحدّ حدوداً فلا تعتدوها، وحرّم أشياء فلا تنتهكوها، وسكت عن أشياء رحمة لكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها
Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban maka janganlah engkau menyepelekannya, dan Dia telah menentukan batasan-batasan maka janganlah engkau melanggarnya, dan Dia telah pula mengharamkan beberapa hal maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal–karena kasih sayangnya kepada kalian bukannya lupa–, maka janganlah engkau membahasnya.” H.R al-Daruquthni.
Dengan demikian, Islam tidak menghendaki adanya beban taklif yang terlalu banyak, sebab itu akan menyusahkan bagi manusia. Meski demikian, Islam tetap tegas dengan aturan-aturan yang ada. Islam adalah agama yang mudah, tetapi jangan pernah dipermudah.