Sebagai tokoh tafsir feminis, Husein Muhammad memiliki bangunan metodologis yang mapan dalam memaknai ayat relasi laki-laki dan perempuan. Mengutip Eni Zulaikha dalam Analisa Gender Dan Prinsip Prinsip Penafsiran Husein Muhammad, setidaknya ada beberapa prinsip tafsir yang digunakan Husein. Berikut ini ulasannya.
Al-Quran kitab petunjuk dan bermuatan rahmat
Prinsip tafsir ini ia pegang berdasarkan pemahamannya terhadap ayat yang menyatakan bahwa Al-Quran merupakan kitab petunjuk (hudan linnas: Al-Baqarah ayat 185), dan kitab yang berisi ajaran kasih dan sayang untuk semesta (rahmah: Al-Anbiya ayat 107).
Dari prinsip ini kemudian, tokoh yang akrab dipanggil Buya Husein ini berpendapat bahwa Al-Quran senantiasa dapat berkembang kapan pun dan di mana pun, sesuai dengan tuntutan kehidupan yang berperikeadilan, sejahtera, dan setara. Pada dasarnya, nilai-nilai humanisme ini ia landaskan pada asas utama Islam, yakni tauhid. Bagi Husein, tauhid merupakan asas paling dasar untuk dapat memahami kesetaraan laki-laki dengan perempuan. Artinya, seseorang tidak akan merasa lebih unggul, pun terungguli jikalau keesaan Allah telah tertancap dalam benaknya. Karena, adalah keniscayaan bagi seseorang yang menghayati arti ketauhidan Tuhan itu, bahwa selain-Nya pastilah setara.
Baca juga: Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender
Asas tauhid ini relatif sama dengan hermeunitika tauhid Amina Wadud, yang kemudian menginspirasi Faqihuddin Abdul Kodir dalam Qira’ah Mubaadalah-nya. Dua tokoh terakhir ini juga membangun penafsiran feminisnya dengan prinsip tauhid sebagai pondasinya.
Pemahamanan aspek historis
Pemahaman terhadap aspek historis Al-Quran urgen bagi Husein untuk menentukan substansi ayat. Dan dalam hal ini, Husein lebih menekankan pada penelusuran konteks makro –meminjam istilah Fazlur Rahman-, dibanding mikro. Hal ini karena, untuk menentukan substansi ayat, tidak bisa cukup berhenti pada sebab nuzul mikro yang sifatnya partikular-temporer.
Analisis ini dapat kita cermati saat Buya Husein memaknai tafsir Surat An-Nisa ayat 34. Ia menyebut ayat ini termasuk dalam kelompok ayat partikular, yang menurutnya identik dengan ayat Madaniyyah. Sehingga, kandungannya sangat kontekstual dan karena itu dapat berkembang penafsirannya. Kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam ayat itu mempertimbangkan sistem sosial waktu ayat turun. Dan, yang juga perlu digarisbawahi, kepemimpinan tersebut atas pertimbangan yang dapat diusahakan (nurture), tidak atas faktor kodrati (nature).
Baca juga: Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan
Husein kemudian, mengarahkan ayat tersebut pada ayat universal, yakti Surat Al-Hujurat ayat 13. Ayat ini menunjukkan prinsip kesetaraan manusia, dan hanya ketakwaan yang menjadi barometer kabaikan. Dengan alur demikian, baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi yang setara untuk menjadi pemimpin.
Pemahaman konteks bahasa
Selain berpatokan pada aspek historis, Husein juga menekankan analisis konteks bahasa. Dari tulisan Eni Zulaikha, tampaknya, analisis konteks bahasa yang dilakukan Husein pada akan berpengaruh pada ketentuan hukum dari ayat yang ditafsirkan. Misalnya, terkait apakah ayat itu berkonsekuensi pada kewajiban berdasarkan pertimbangan susunan kalimatnya berupa perintah, atau sekedar kalimat khabar, yang menunjukkan bahwa isi ayat itu sekedar informasi, tidak ada pembebanan kewajiban atau larangan.
Baca juga: Amina Wadud dan Hermeunitika Tauhid dalam Tafsir Berkeadilan Gender
Pemahaman atas konteks bahasa sekaligus menjadi kekhasan Buya Husein, karena dari situ terlihat usahanya untuk memadukan prinsip hermeunitis yang identik dengan khazanah keilmuan Barat dengan khazanah keilmuan Islam berupa Ushul Fiqh. Salah satu contoh ialah saat Husein berpendapat dalam Fiqh Peremouan, bahwa An-Nisa ayat 34 ini –tepatnya pada frasa arrijalu qawwamuna– tidak menunjukkan perintah, karena konteks bahasanya berupa kalam khabar (kalimat informatif). Sehingga, berdampak pada pemaknaan ayat tersebut bukanlah tuntutan bagi laki-laki untuk menjadi pemimpin.
Pembedaan ayat universal dengan partikular
Seperti yang disinggung di muka, Husein membedakan mana ayat yang bersifat partikular dan mana yang universal. Tapi pembedaan ini tidak berujung pada pengunggulan salah satunya. Bagi Husein, bila dua ayat ini seakan bertentangan, ayat partikular tidak dapat menganulir ayat universal, begitu pun sebaliknya. Ia lebih memilih untuk memberlakukan dua-duanya, dengan jalan konsentrasi pada analisis historis, sebagaimana pada Surat An-Nisa ayat 34 tentang kepemimpinan. Dalam hal ini, Husein ittiba’ kepada As-Shathibi yang berpendapat bahwa setiap teks agama mengandung nilai dan tujuan. Wallahu a’lam[]