Setiap interpretasi manusia selalu menuai pro kontra, tidak terkecuali Tafsir Ilmi. Tafsir ilmi sebagaimana diketahui bersama ialah tafsir Al-Quran yang mengulas ayat-ayat Al-Quran dipadukan dengan teori ilmu pengetahuan atau penafsiran yang concern pada menyingkap rahasia ilmiah di dalam Al-Quran, seperti keajaiban alam, penciptaan manusia, hewan, tumbuhan, kesehatann dan sebagainya. Tulisan ini akan membahas tentang argumentasi ulama yang kontra tafsir ilmi
Sejatinya tafsir ilmi ini bukanlah sesuatu yang baru dalam konteks substansi, namun sebagai model penafsiran ia cukup menuai beberapa kritik pedas bahkan penolakan di antara ulama. Al-Syatibi misalnya, ia menentang keras penafsiran Al-Quran model seperti ini. Selain itu ada tokoh lain yang serupa, misalnya Mahmud Syaltut, Amin al-Khulli dan ‘Abbas Aqqad.
Baca Juga: Pro Kontra Tafsir Ilmi dan Cara Menyikapinya (1): Ulama yang Pro
Ulama Kontra Tafsir Ilmi
Ambil contoh, Mahmud Syaltut (mantan Rektor Universitas al-Azhar Mesir) misalnya yang menolak kehadiran tafsir ilmi. Di dalam muqaddimahnya, Tafsir al-Quran al-Karim al-Ajza’ al-Asyarah al-‘Ula sebagaimana disitir oleh Muchlis Hanafi dalam Tafsir Ilmi Kemenag, Mahmud mengemukakan berbagai corak tafsir yang berkembang, ada yang bercorak gramatikal (kebahasaan), balaghah, i’jaz, ahkam, bahkan corak ilmiah atau tafsir bil ‘ilmi.
Dari sini, ia memberikan catatan penting terhadap model penafsiran bil ‘ilmi sekaligus dapat kita lihat legal position and opinion-nya dalam menafsirkan Al-Quran.
Pertama, mufasir hendaknya sebisa mungkin menjauhkan diri dari penakwilan Al-Quran menurut pendirian berbagai aliran. Sebab bagi Syaltut akan menimbulkan interpretasi yang represif terhadap Al-Quran, misalnya mufassir yang cenderung mengikuti mazhab tertentu, ia akan condong menafsirkannya sesuai dengan mazhabnya atau muncul fanatisme penafsiran.
Kedua, jauhilah penafsiran Al-Quran dengan teori-teori ilmiah. Statemen ini sebenarnya cukup kontradiktif terhadap substansi ayat kauniyah Al-Quran itu sendiri. Tidak sedikit pula yang menyangkal bahwa tanpa sains dan teknologi, makna Al-Quran hanya sebatas pada teks, tidak pada ilmiah. Karena itu kehadiran sains dan penemuan ilmiah menjadi begitu penting dalam mengungkap makna Al-Quran.
Misal Al-Quran berbicara tentang alam, halilintar, molekul udara, dan semacamnya, maka saat itu juga Al-Quran berbicara tentang kosmologi. Demikian pula tatkala Al-Quran menyitir matahari, bulan, bintang, antariksa, galaksi, dan sejenisnya, saat itu juga Al-Quran berfirman tentang astronomi, dan seterusnya.
Guna memperkuat pendapatnya, Syaltut menyitir istilah al-Kitab al-Mubin dan al-Imam al-Mubin, yang kemudian ditafsirkan oleh mereka (mufassir ilmi) sebagai pencatatan elektronik untuk perekaman suara. Alat-alat tersebut memang dapat difungsikan demikian, namun menurut mereka tidak dapat dipungkiri juga mampu merekam keinginan yang terbesit di dalam hati.
Padahal, menurut Syaltut, kedua istilah tersebut konteksnya adalah mencatat segala amal kebaikan dan keburukan manusia di hari kiamat nanti. Tak pelak, Syaltut sampai pada satu kesimpulan bahwa penafsiran mereka merupakan bentuk dari penafsiran yang terlalu represif dan bertentangan dengan i’jaz Al-Quran. Padahal Al-Quran diwahyukan tidak secara spesifik berbicara teori-teori ilmiah, serta berbagai macam pengetahuan.
Dalam konteks ini, Syaltut berujar cukuplah kita meyakini bahwa Al-Quran tidak bertentangan dengan kebenaran apapun, termasuk kebenaran ilmiah yang dapat diterima akal sehat alias logis. Tampaknya, legal position Syaltut dalam hal ini, lebih kepada sikap hati-hati dalam menafsirkan Al-Quran meskipun secara tersurat ia menolak tafsir ilmi, tapi tidak menampik ia menerima kebenaran ilmiah jika sesuai dengan substansi ayat Al-Quran.
Baca Juga: Mengenal Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura): Tafsir Ilmi Pertama di Madura
Beberapa Argumentasi
Mengutip Muchlis Hanafi dalam Tafsir Ilmi Kemenag, bahwa mereka yang kontra tafsir ilmi sebenarnya berargumentasi antara lain dengan melihat.
Kerapuhan Filologisnya
Dalam konteks kebahasaan, tentu para sahabat yang lebih otoritatif mengetahui Al-Quran beserta apa yang terkandung di dalamnya, namun tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan bahwa Al-Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.
Kerapuhan Teologisnya
Sebagai hudan (petunjuk), Al-Quran bukanlah memuat teori-teori ilmiah. Ia berkaitan dengan way of life (pandangan hidup) manusia. Adapun isyarat-isyarat ilmiah yang terkandung di dalamnya dipaparkan dalam konteks petunjuk, bukan melahirkan teori-teori baru yang mudah dipatahkan atau dimentahkan.
Kerapuhan Logikanya
Kebenaran ilmu itu bersifat tentatif. Artinya, kebenaran sekarang belum tentu benar nanti. Kebenaran nanti belum tentu benar menurut esok hari, dan seterusnya. Jadi kebenaran ilmu tidak mengenal “mutlak”. Ia senantiasa berubah sesuai konteks dan dinamika zaman. Nah jika Al-Quran ditafsirkan melalui model ini, sama saja “mengerdilkan” kekekalan Al-Quran, Bukankah Al-Quran itu shalih li kulli zaman wa makan? Patutkan seseorang menafsirkan yang kekal dan absolut dengan sesuatu yang relatif? Kira-kira begitu argumentasi mereka yang kontra.
Baca Juga: Dinamika Perkembangan Tafsir Ilmi di Indonesia
Jalan Tengah
Masih tetap Muchlis Hanafi, ia berargumen sungguh sangat kontraproduktif jika kita terus memperdebatkan benar salah, elok tidaknya kehadiran model penafsiran bil ilmi. Keduanya boleh jadi benar. Maka, dalam konteks ini yang dibutuhkan sebenarnya ialah formula kompromistik guna lebih mengembangkan syiar Islam di tengah kemajuan ilmu pengetahuan.
Memang diakui bahwa kebenaran ilmu pengetahuan bersifat relatif. Ia mengandaikan satu kebenaran yang dinamis, bukan statis. Ini bisa dipahami karena kebenaran ilmu adalah produk ijtihad manusia berupa acquired knowledge (ilmu yang dicari) yang juga mempunyai karakteristik akumulatif. Dalam arti, dari masa ke masa, dari zaman ke zaman, kebenaran ilmu akan saling melengkapi sehingga ia akan selalu berubah.
Jadi, fuqaha, mufassir, teolog, filosof, ilmuwan dan cendekiawan di era klasik dalam memahami ayat-ayat Al-Quran harus kita pandang sebagai ijtihad baik, sama halnya dengan usaha memahami isyarat-isyarat ilmiah dengan penemuan modern. Kita tidak dapat membayangkan, kemajuan yang kita rasakan saat ini adalah buah manis ijtihad mereka.
Karenanya, yang diperlukan adalah sikap kerendahan hati dan kehati-hatian. Tafsir, apapun bentuknya, hanyalah sebuah upaya manusia (hamba Allah) yang memiliki kemampuan terbatas dalam memahami firman Tuhan yang transendental. Kekeliruan dalam penafsiran sangat mungkin terjadi. Tetapi, kekeliruan itu dapat diminimalisir dengan memperhatikan serangkaian kaidah dan prosedur kerja penafsiran yang telah ditetapkan para ulama. Wallahu A’lam.