BerandaTafsir TematikProklamasi Tauhid: La Ilaha illa Allah sebagai Pernyataan Kemerdekaan Personal

Proklamasi Tauhid: La Ilaha illa Allah sebagai Pernyataan Kemerdekaan Personal

Bagi seorang muslim, proklamasi kemerdekaan yang paling hakiki bukanlah yang diperingati setahun sekali, melainkan yang diikrarkan setiap hari. Inilah Proklamasi Tauhid, suatu pernyataan kemerdekaan personal yang terangkum dalam kalimat agung: La ilaha illa Allah. Di tengah semarak perayaan kemerdekaan bangsa di bulan Agustus ini, menjadi momen yang sangat tepat untuk merenungkan kembali makna kebebasan ini, yakni kemerdekaan jiwa yang melampaui sekadar bebas dari penjajahan fisik, yang fondasinya adalah kalimat tauhid itu sendiri.

Baca Juga: Refleksi Makna Kemerdekaan: Mensyukuri Keamanan dan Kenyamanan Bernegara

Misi Universal Para Rasul

Sebelum kalimat tauhid menjadi pernyataan personal bagi seorang individu, ia adalah misi universal bagi seluruh umat manusia. Allah Swt. menegaskan hakikat ini dengan berfirman dalam Surah Al-Anbiya, ayat 25:

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.”

Menurut Ibn Ashur (18/38–39), ayat ini adalah penegasan bahwa tauhid merupakan inti ajaran yang diemban oleh seluruh rasul tanpa terkecuali, baik yang kitabnya masih ada maupun yang sudah tiada. Ini menunjukkan betapa besar perhatian Allah untuk membebaskan akal manusia dari kesesatan syirik. Perintah “sembahlah Aku” (fa’budun) yang langsung mengikuti deklarasi tauhid menegaskan bahwa kemerdekaan dari tuhan-tuhan palsu harus berujung pada penghambaan kepada Tuhan yang sejati.

Menariknya, Fakhruddin Ar-Razi (7/5) memberikan sebuah analogi indah tentang gaya Alquran dalam menyajikan pesan. Menurutnya, Alquran sengaja mencampurkan tema tauhid, hukum, dan kisah agar pembaca tidak merasa jenuh. Perpindahan antar tema ini ibarat “berpindah dari satu taman ke taman lainnya”, yang menyegarkan hati dan melapangkan dada. Demikian pula, setelah merenungi kisah para nabi, kita diajak kembali ke taman tauhid sebagai inti dari segala ajaran.

Baca Juga: Tafsir Surah al-‘Araf Ayat 172: Hakikat Kemerdekaan Diri

Fase Pertama: La Ilaha

Proklamasi personal seorang hamba dimulai dengan meniru seruan universal para rasul: La ilaha (Tidak ada Tuhan). Ini adalah fase pembebasan. Alquran dalam Surah Al-Baqarah ayat 256 mengistilahkannya sebagai tindakan “ingkar kepada Thaghut”. Menurut Ibn Ashur (3/29), kata ini berasal dari akar kata thughyan, yang berarti melampaui batas dan kesombongan. Kemerdekaan sejati dimulai dengan penolakan terhadapnya, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah, ayat 256:

“…Karena itu, barang siapa ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, ia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus…”

Menurut Imam Ibnu Katsir (1/522), “ingkar kepada Thaghut” berarti “melepaskan diri dari segala tandingan, berhala, dan segala seruan setan untuk menyembah apa pun selain Allah.” Di zaman modern, Thaghut ini mungkin tidak lagi berwujud berhala dari batu. Mereka menjelma dalam bentuk-bentuk yang lebih halus: materi, jabatan, hawa nafsu, hingga validasi dan penilaian manusia.

Proses pembebasan ini menuntut keberanian dan introspeksi. Manusia harus jujur mengidentifikasi “berhala-berhala” modern yang bersemayam di dalam hatinya. Tanpa penolakan tegas terhadap ilah-ilah palsu ini, kemerdekaan yang sesungguhnya tidak akan pernah tercapai. Mengucapkan La ilaha dengan kesadaran penuh adalah sebuah deklarasi untuk
“ingkar kepada Thaghut” dalam segala bentuknya.

Fase Kedua: illa Allah

Kemerdekaan sejati bukanlah kebebasan tanpa tujuan. Setelah ingkar kepada Thaghut, langkah selanjutnya adalah “beriman kepada Allah”. Di sinilah bagian kedua dari kalimat tauhid memainkan perannya: illa Allah (kecuali Allah). Inilah momen di mana seseorang yang telah merdeka “berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus” atau al-‘urwah al-wutsqa.

Frasa ‘urwah al-wutsqa menurut Ibnu Ashur (3/29) secara harfiah berarti “gagang” atau “pegangan” yang paling kokoh dan kuat, yang tidak akan pernah putus atau terlepas. Sedang Ibnu Katsir (1/522), orang yang telah berpegang padanya adalah orang yang “telah teguh dalam urusannya dan lurus di atas jalan terbaik”. Setelah melepaskan semua pegangan yang rapuh, seseorang menemukan satu-satunya pegangan yang tidak akan pernah putus.

Penghambaan (‘ubudiyyah) kepada Allah adalah puncak dari kemerdekaan, karena ini adalah satu-satunya bentuk “keterikatan” yang justru membebaskan manusia dari segala keterikatan lain yang merendahkan. Di sinilah seorang hamba menemukan kemuliaan (‘izzah) dan tujuan hidup yang jelas.

Baca Juga: Tiga Kemerdekaan Dasar dalam Al-Quran

Buah Kemerdekaan Tauhid dalam Kehidupan

Ketika jiwa seorang muslim telah merdeka dengan kalimat tauhid, maka kemerdekaan itu akan termanifestasi dalam rasa dan sikapnya sehari-hari. Ia akan merasakan apa yang oleh Rasulullah Saw. disebut sebagai “manisnya iman” (halawatul iman). Beliau bersabda:

“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan merasakan manisnya iman: (1) Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. (2) Hendaklah ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah. (3) Hendaklah ia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Para ulama menjelaskan bahwa “manisnya iman” adalah “kenikmatan dalam melakukan ketaatan, menanggung kesulitan dalam beragama, dan lebih memilih hal tersebut daripada kesenangan dunia.”

Ini adalah buah psikologis dari jiwa yang merdeka. Rasa “benci untuk kembali pada kekafiran” adalah cerminan dari seorang mantan tawanan yang tidak akan pernah mau kembali ke dalam penjara kekufuran. Cinta utamanya hanya untuk Allah dan Rasul-Nya, menunjukkan kemerdekaannya dari ketergantungan emosional pada makhluk. Inilah buah dari kemerdekaan tauhid, sebuah kehidupan yang proaktif, bertujuan, dan dipenuhi rasa manisnya iman yang menenangkan.

Penutup

Kemerdekaan bangsa adalah nikmat lahiriah yang membuka gerbang bagi kemerdekaan yang lebih esensial. Kalimat La ilaha illa Allah adalah proklamasi kemerdekaan batin yang gema-nya telah diserukan oleh seluruh nabi dan rasul. Dengan membebaskan diri dari segala Thaghut dan berpegang teguh hanya pada al-‘urwah al-wutsqa, seorang manusia akan menemukan arti kemerdekaan yang paling hakiki, yakni menjadi hamba Allah yang merdeka dari segala sesuatu selain-Nya. Wallahu a’lam.

Muhammad Arsyad
Muhammad Arsyad
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Antasari Banjarmasin. Akun Ig: @arsyadmodh.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Mengenal Kitab At-Tafsirat Al-Ahmadiyah Karya Mulla Jiwan

0
Kitab at-Tafsirat al-Ahmadiyah merupakan salah satu karya tafsir penting yang ditulis oleh ulama asal India, Mulla Jiwan. Dalam kitab ini, Mulla Jiwan membahas ayat-ayat...