BerandaTafsir TematikTafsir Surah al-‘Araf Ayat 172: Hakikat Kemerdekaan Diri

Tafsir Surah al-‘Araf Ayat 172: Hakikat Kemerdekaan Diri

Dalam UUD 45 disebutkan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Ini mengisyaratkan bahwa tidak boleh ada lagi yang namanya penjajahan. Sehingga siapapun yang berada di dalamnya dapat menjalankan aktifitasnya dengan tenang, nyaman dan damai. Sejalan dengan hal tersebut, terhadap diri sendiri juga harus merdeka. Dalam banyak tempat, Al-Qur’an mengafirmasi hal tersebut. Seperti setiap manusia adalah khalifah (Al-Baqarah [2]: 35),  kebebasan dalam beragama (Al-Baqarah [2]: 256), dan lain-lain.

Jika kita telisik lebih jauh, kemerdekaan diri tidak saja sebatas kita berada di dunia. Hakikat kemerdekaan diri itu ada sejak kita berada dalam kandungan. Hal tersebut dikonfirmasi oleh QS. Al-‘Araf [7]: 172.

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ  اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar di hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini.” (Terjemah Kemenag 2019)

Tafsir QS. Al-‘Araf [7]: 172

Dalam Tafsir al-Wajiz, Syekh Wahbah al-Zuhaili berkomentar ingatlah bahwa ketika Tuhanmu telah mengeluarkan dari sulbi anak-anak adam keluarga mereka, dan mereka berada di dalam alam dzar. Kemudian diambil janjinya untuk berikrar tentang keberadaan Allah dan keesaannya. Tujuan pengambilan janji terebut adalah bahwa Allah menciptakan manusia, serta untuk mencapai kebenaran dan mengenali pencipta alam semesta. Mereka dipersaksikan dan diampil janji setia dihadapan Tuhannya: “Bukankah aku Tuhanmu?. Mereka menjawab: “Ya, kami bersaksi bahwa engkau adalah Tuhan kami yang layak disembah. Ini untuk mencegah agar di hari kiamat mereka yang telah diambil sumpahnya tidak mengatakan: tidak ada yang memperingatkan kami kejalan-Mu dan kami tidak tahu bahwa engkau adalah Tuhan kami. (al-Wajiz, juz 7,hlm.174)

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 263: Etika Memberi dan Meminta Bantuan

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menejlaskan bahwa Ayat di atas mengandung dua sebab mengapa persaksian tersebut diambil Allah. Yang pertama adalah agar manusia di Hari Kiamat nanti tidak berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” Yakni kalau Kami tidak melakukan hal tersebut, mereka akan berkata: “Kami tidak tahu atau kami lengah karena tidak ada petunjuk yang kami peroleh menyangkut wujud dan keesaan Allah. Tidaklah wajar orang yang tidak tahu atau lengah dimintai pertanggungjawaban.” Nah, supaya tidak ada dalih semacam ini, Allah mengambil dari mereka kesaksian dalam arti memberikan kepada setiap insan potensi dan kemampuan untuk menyaksikan keesaan Allah bahkan menciptakan mereka dalam keadaan memiliki fitrah kesucian dan pengakuan akan keesaan itu. (Tafsir al-Mishbah, vol.4, hlm. 370-371)

Alasan kedua, lanjut Shihab, agar mereka tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan, kami hanya anak keturunan mereka.” Yakni agar mereka tidak mengatakan: “Kami sebenarnya hanya mengikut saja karena kami tidak mampu dan tidak mengetahui hakikat yang dituntut ini, apalagi orangtua kami yang mengajar kami dan kami menerimanya seperti itu. Jika demikian yang salah adalah orangtua kami bukan kami karena itu, wahai Tuhan, apakah wajar Engkau menyiksa kami karena perbuatan orang lain yang sesat, walaupun mereka itu adalah orangtua kami?” Nah, untuk menampik dalih ini, Allah mempersaksikan setiap insan sehingga ia dapat menolak siapa pun, walau orangtuanya sendiri, bila mereka mengajak kepada kedurhakaan dan persekutuan Allah.

Dalam Tafsir Kementrian Agama disebutkan bahwa ayat-ayat yang lalu berbicara tentang kisah Nabi Musa dan Bani Israil dengan mengingatkan mereka tentang perjanjian yang bersifat khusus, di sini Allah menjelaskan perjanjian yang bersifat umum, untuk Bani Israil dan manusia secara keseluruhan, yaitu dalam bentuk penghambaan. Allah berfirman, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi, yakni tulang belakang anak cucu Adam, keturunan mereka yang melahirkan generasi-generasi selanjutnya.

Dan kemudian Dia memberi mereka bukti-bukti ketuhanan melalui alam raya ciptaanNya, sehingga-dengan adanya bukti-bukti itu-secara fitrah akal dan hati nurani mereka mengetahui dan mengakui kemahaesaan Tuhan. Karena begitu banyak dan jelasnya bukti-bukti keesaan Tuhan di alam raya ini, seakan-akan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka seraya berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhan Pemelihara-mu dan sudah berbuat baik kepadamu?” Mereka menjawab, “Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi bahwa Engkau Maha Esa.” Dengan demikian, pengetahuan mereka akan bukti-bukti tersebut menjadi suatu bentuk penegasan dan, dalam waktu yang sama, pengakuan akan kemahaesaan Tuhan. Kami lakukan yang demikian itu agar di hari Kiamat kamu tidak lagi beralasan dengan mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini, tidak tahu apa-apa mengenai keesaan Tuhan.”

Refleksi Ayat

Dari penjelasan beberapa tafsir di atas, kemerdekaan diri yang sesungguhnya adalah jika kita sudah meng-Esakan Allah dalam hati kita. Tidak hanya dengan hati (bilqolbi), tapi juga dengan ucapan (billisan) dan perbutan (bil’amal). Ini terbukti dari sejak jauh sebelum kita dilahirkan ikrar untuk menyaksikan Allah sebagai Tuhan telah kita lakukan. Ialah Allah yang mengatur, memelihara, dan menjaga segala gerak, tata surya yang ada dibumi.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat Tentang Tata Cara Bertayamum Yang benar

Selanjutnya, setelah melakukan pengikraran, dan ini yang terpenting, adalah menghilangkan ‘berhala-berhala’ yang dapat menghalangi jalan kita menuju Tuhan. Artinya, bahwa segala kekuatan dan kemampuan harus kita kerahkan untuk menghalangi ‘berhala-berhala’ kehidupan yang dapat membuat hati kita jauh dari jalan Tuhannya. Berhala-berhala itu dapat berupa uang, pangkat, jabatan, popularistas, dan berbagai aneka ragamnya. Semoga kita terlindungi dan dijauhkan dari apapun yang dapat menghalangi jalan kita menuju yang Haq. Sehingga

Robbana arinal haqqa-haqqa warzuqnattib’ah, wa arinal bathila-bathila warzuqnaj tinabah. Wahai Tuhankami tunjukanlah kepada kami yang benar itu benar dan bantulah kami untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami yang batil itu batil dan bantulah kami menjauhinya. Wallahu’alam.

Abdus Salam
Abdus Salam
Alumni STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta. Penikmat kopi dan kisah nabi-nabi.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...