Allah swt melalui Al-Qur’an telah memberitahukan kewajiban puasa bagi orang-orang yang beriman, baik umat nabi Muhammad saw maupun umat nabi terdahulu. Kewajiban puasa bahkan menempati posisi ketiga setelah syahadat dan shalat lima waktu. Kendati demikian, ada beberapa golongan yang diberi kemudahan pelaksanaan puasa, yakni orang yang sakit, musafir, orang tua, ibu hamil dan menyusui.
Padas dasarnya, kewajiban puasa berlaku atas seluruh umat Islam yang mukallaf, yakni muslim dewasa yang sehat akalnya (al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh). Hal ini telah disebutkan oleh Allah swt dalam surah al-Baqarah [2] ayat 183 yang bermakna, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Syarat, Rukun Puasa Ramadan, dan Alasan Niat di Malam Hari
Namun pada ayat setelahnya, yakni surah al-Baqarah [2] ayat 183, Allah swt memberikan kemudahan pelaksanaan puasa bagi orang yang sakit dan musafir dengan firman-Nya:
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ١٨٤
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Menurut Quraish Shihab, surah al-Baqarah [2] ayat 183 berisi tentang kemudahan pelaksanaan puasa bagi dua golongan, yakni orang yang sakit dengan sakitnya tersebut menjadi berat melaksanakan puasa atau orang yang khawatir (dengan keyakinan) kesehatannya akan terganggu jika ia berpuasa dan orang yang sedang dalam perjalanan (musafir).
Keduanya boleh tidak melaksanakan puasa selama berada pada kesulitannya tersebut dan wajib menggantinya di hari lain, baik berturut-turut maupun tidak, sebanyak hari yang ditinggalkan. Misalnya, jika seseorang sakit atau bepergian selama 7 hari tertentu dan ia tidak melaksanakan puasa kala itu, maka ia wajib mengganti puasa sebanyak 7 hari pula secara berturut turut ataupun tidak (Tafsir al-Misbah [1]: 402).
Pandangan serupa disampaikan oleh al-Sa’adi dalam tafsirnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan. Menurutnya, melalui ayat ini Allah swt ingin memberi kemudahan pelaksanaan puasa bagi orang yang sakit dan musafir dengan menggantinya di lain waktu, karena pada saat tersebut keduanya sedang mengalami kesulitan. Alasan inilah yang menjadi dasar diberikannya kemudahan atau rukhsah.
Kemudian, apabila seseorang mengalami kesulitan untuk berpuasa, baik karena usia lanjut maupun alasan lain seperti penyakit yang membuatnya tidak mampu berpuasa, maka ia boleh menggantikan puasanya dengan membayar fidyah, yakni memberi makan seorang miskin sebanyak satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya (al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhi).
Ada hal menarik terkait pembahasan ini di mana Quraish Shihab memasukkan kategori orang yang kesulitan dalam melaksanakan puasa akibat pekerjaan berat yang harus atau mesti dilakukan dan bila itu ditinggalkan akan menyulitkan keluarganya. Bagi Quraish Shihab, orang semacam ini boleh mengganti puasanya dengan fidyah (Tafsir al-Misbah [1]: 402).
Menurut Syekh Nawawi dalam kitabnya, Tafsir Marah Labid, bagian surah al-Baqarah [2] ayat 183 berkenaan fidyah bermakna, “dan orang-orang yang mampu melaksanakan puasa namun disertai kesulitan boleh membayar fidyah.” Ia juga menegaskan barang siapa membayar fidyah lebih dari kewajibannya atau puasa disertai fidyah, maka ia akan mendapatkan pahala yang lebih.
Berkenaan kewajiban puasa pada ayat ini, Imam al-Syaukani berpendapat bahwa kemudahan pelaksanaan puasa diberikan atas dasar al-masyaqat atau kesulitan. Karena hal itulah, ibu hamil dan menyusui juga dibolehkan untuk mengganti puasanya di lain hari atau membayar fidyah sebagai tebusan atas puasa yang ditinggalkan (Nail al-Authar [2]: 384).
Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis yang bermakna, “Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa.” (HR. Ahmad). Berdasarkan hadis ini pula para ulama berpendapat ibu hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa dan mereka wajib menggantinya di lain waktu atau membayar fidyah.
Baca Juga: Mengulik Makna Puasa Ramadhan: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183
Namun ulama berbeda pendapat berkenaan dengan apakah ibu hamil dan menyusui cukup membayar fidyah saja atau tetap mengganti puasa. Setidaknya ada tiga pendapat terkait masalah ini, yakni: pertama, keduanya wajib mengganti puasa tanpa harus membayar fidyah (al-Mabshut [3]: 99). Kedua, membayar fidyah tanpa mengganti puasa sebagaimana pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Ketiga, mengganti puasa dan membayar fidyah (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab [6]: 275).
Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama, kewajiban puasa ditanggung oleh seluruh umat Islam. Namun ada beberapa golongan yang diberi kemudahan pelaksanaan puasa, yakni orang sakit, musafir, orang tua, ibu hamil dan menyusui. Keringanan ini ada dua bentuk: pertama, mengganti puasa di lain hari bila mampu. Kedua, jika tidak mampu berpuasa (diketahui dengan yakin), khususnya bagi orang tua, orang sakit dan ibu hamil, maka boleh diganti dengan fidyah. Wallahu a’lam.